Bab 4

451 96 19
                                    

Radit melangkah keluar dari lift apartemennya, kepalanya tertunduk sebentar sebelum kemudian diangkat dengan mata setengah terpejam. Tangan kanannya naik dan mengusap-usap tengkuknya yang terasa kaku. Astaga, betapa tubuhnya saat ini dilanda kelelahan yang teramat sangat setelah seharian beraktifitas. Langkah kakinya tak bertenaga, rasanya berat sekali membawa diri untuk sekedar berjalan menyusuri lorong apartemen yang begitu sepi ini. Dikejauhan Radit melihat bungkus plastik berwarna putih tergeletak tepat di depan pintu apartemennya, seketika ia mengembuskan napas keras. Saat langkahnya sampai di depan unit apartemennya, Radit pun mengambil bungkusan plastik tersebut dan mencoba mencari nama pengirimnya. Lagi-lagi tidak ada. Sudah sebulan terakhir ia rutin menerima kiriman anonim seperti ini, dari mulai kiriman makanan, kopi hingga cemilan. Sebenarnya ia suka-suka saja menerima kiriman seperti ini, terutama di saat-saat seperti ini, ketika ia sibuk seharian dan perutnya belum terisi makanan sama sekali. Rasanya cukup 'terselamatkan', tetapi di sisi lain, ia juga merasa tidak nyaman bila terus menerima kiriman-kiriman serupa seperti ini.

Radit menarik napas perlahan sambil mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, diketikkan nama seseorang yang selama ini ia duga sebagai pengirim anonim tersebut lalu menekan tombol memanggil. Nada sambung pribadi terdengar di telinganya. Tak perlu menunggu lama, teleponnya pun diterima, suara ramah nan lembut terdengar ramah menyapanya di seberang.

"Lo nggak perlu kirim beginian ke gue," ucap Radit tegas.

"Seenggak-enggaknya, nanya kabar dulu lah, Dit. 'Apa kabar Keyra?'. Gitu dong,"

"Key, gue serius. Lo bisa berenti kirimin gue makanan atau yang lainnya. Gue nggak nyaman terimanya."

Suara tawa renyah Keyra terdengar di seberang. Terlihat jelas dia adalah seorang penyanyi profesional, bahkan suara tawanya saja merdu.

"Kalo dikirimin sesuatu bersyukur, Dit. Bukannya malah ngomong gini."

Radit diam tak menyahut.

"Suka nggak?"

Ia menarik napas dalam. Ternyata benar dia. "Lain kali nggak perlu kirim-kirim," tegasnya lagi.

"Radit, gue tanya lo suka apa nggak?"

"Nggak."

"Kalo gitu, bukan gue yang kirim."

Dahi Radit berkerut seketika. Sekalipun otaknya penuh dengan pertanyaan dan bibirnya ingin menyindir dengan sarkas, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh. Ia tidak ingin meladeni tingkah absurd Keyra dan memberikan kesempatan bagi wanita itu untuk berbicara dengannya lebih lama lagi. Mari sudahi secepatnya.

"Ya, terserah lo. Yang jelas nggak perlu kirim-kirim lagi," balasnya tak peduli. Ia sudah bersiap mematikan sambungan teleponnya saat suara Keyra kembali terdengar di seberang.

"Dit, gue kepo. Kalo gue bukan artis apa kita bakal punya ending yang beda?"

Radit menarik napas. "Gue tutup dulu."

"Dit, wait." Hening sejenak. Tak ada suara yang terdengar selain tarikan napas pelan Keyra di seberang telepon. "Seenggak-enggaknya kasih gue a clear closure."

Halu.

"How can there be a closure when there's no beginning," sindir Radit.

Suara dengkusan keras Keyra terdengar. "Waah ... gosip tentang lo ternyata bener, ya."

Radit tak menjawab. Ia tidak merasa perlu meluruskan pandangan Keyra tersebut, ia bahkan merasa bersyukur kalau sampai Keyra berpandangan negatif tentangnya.

"Tapi gimana ya, Dit. Tipe bad boy modelan lo gini ... malah bikin gue tertantang."

Lagi-lagi Radit diam tak menyahut.

The Unwanted PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang