Bab 7

452 90 21
                                    

Radit duduk tak nyaman di kursi paling belakang dari kereta Argo Semeru yang akan membawanya ke Yogyakarta. Ditariknya napas perlahan lalu tersenyum canggung pada kamera gopro yang sengaja diletakkan oleh kru di atas meja kecil di hadapannya ini. Otaknya berpikir keras tentang apa yang sebaiknya ia sampaikan setelah ini.

Sesaat yang lalu, tepatnya dalam perjalanan menuju stasiun, semuanya terkesan lebih mudah. Fatih—Asisten program director—dan beberapa kru acara yang berada satu mobil dengannya, terus mengajaknya berbicara. Hal tersebut bertahan sampai ia tiba stasiun. Jujur saja, tindakan tersebut membuatnya lebih rileks karena ia ada di posisi menjawab pertanyaan atau merespon pernyataan bukan seperti sekarang, di mana ia harus berpikir ingin berbicara apa.

Radit ingat betul ucapan Sandy—sang PD—yang mengatakan, ia bebas berbicara apapun. Namun masalahnya, bagi Radit yang terbiasa berbicara sesuai dengan skript dan juga arahan, kata 'bebas' ini justru membingungkan dan menyulitkannya.

Sekali lagi ia bertatapan canggung dengan lensa kamera. Buru-buru ia mengalihkan pandangan ke sisi luar jendela. Dan seketika telinganya disambut teriakan samar—yang teredam dengan baik oleh kaca kereta—dari pengunjung stasiun yang berdiri di luar keretanya. Radit menyapa, mengangguk dan tersenyum sekadarnya. Ia melambaikan tangan ke arah—yang ia pikir adalah fansnya—mereka sambil membuat gerakan menjaga jarak aman dengan berdiri di belakang garis kuning. Semua itu ia lakukan hanya melalui gerak bibir, tanpa suara sama sekali.

Mau tahu kenapa ia memilih tak bersuara? Karena keadaan di dalam gerbong keretanya juga tak jauh berbeda. Penumpang gerbongnya didominasi oleh wanita di usia remaja, dewasa dan keluarga. Memang ada beberapa penumpang pria, tetapi sebagian besar adalah kru acara. Sisanya tetap saja lebih banyak wanita dan mereka semua akan kompak berteriak memanggil namanya tiap kali mendengar suaranya atau berkontak mata dengannya. Jadi di sinilah ia, mencoba untuk duduk tenang agar tidak menimbulkan kegaduhan.

"Hmm ..." Ia bergumam sambil menatap kamera. Bermaksud mempersiapkan diri dan nyalinya sendiri.

Rasanya terlalu malu bila harus berbicara seorang diri seperti ini. Sekalipun beberapa bangku di depannya ditempati oleh kru, tetapi tetap saja ada beberapa di antaranya yang merupakan penumpang biasa. Mungkin saja kan mereka sedang menatap ke arahnya dan ikut mendengarkan apapun yang ia katakan nanti. Gosh, bulu kuduknya meremang. Hanya dengan membayangkan kekonyolannya berbicara seorang diri, sudah mampu membuatnya bergidik ngeri.

Tepat saat itu, suara peluit panjang terdengar nyaring, pertanda kereta akan segera diberangkatkan. Tepat jam 06.20, kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun Gambir. Radit kembali melambaikan tangan ke arah fans yang masih setia memanggil-manggil namanya. Beberapa di antaranya bahkan sampai harus ditegur keras karena tampak berusaha berlari sepanjang lorong-mengikuti kereta.

Begitu kereta keluar dari stasiun, pemandangan rumah penduduk dan juga gedung-gedung di sekitar jalur rel yang dilewati, menyapa matanya perlahan. Sampai sejauh ini, Radit masih betah diam tak bersuara. Sesekali ia melirik kamera mungil itu sebelum kemudian secepat kilat mengalihkan pandangannya.

Tak ada yang menegurnya. Semua kru juga diam tak mengatakan apa-apa. Mereka tampaknya lebih sibuk menghalau beberapa penumpang kereta yang terus saja mencuri-curi kesempatan untuk memfoto atau memvideo dirinya.

Radit menengok ke samping kanannya dan matanya bertabrakan pandang dengan mata penumpang wanita berhijab biru navy yang seketika tersenyum cerah ke arahnya. Radit mengangguk sopan sambil tersenyum singkat. Wanita itu kemudian memanggil namanya pelan, membuatnya kembali menengok.

"Kak Radit lagi syuting film?" tanya wanita itu dengan mata berbinar-binar.

Radit tersenyum simpul sambil menempelkan jari telunjuknya ke bibir. "Masih rahasia," jawabnya pelan. Senyum wanita itu semakin merekah.

The Unwanted PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang