"Ge, udah terima novelnya?"
Gea menutup pintu apartemennya lalu berjalan kembali memasuki ruang tengah, mendudukkan dirinya di sofa dan menatap tas kertas coklat di tangannya.
"He-em. Barusan gue terima, Mas," ucapnya sambil mengeluarkan novel yang dimaksud Pramana—sutradara ternama yang akan bekerja sama dengannya.
Namun, gerakannya terhenti sejenak, matanya tertuju pada kotak makan plastik dengan lambang salah satu resto favoritnya. Dikeluarkannya perlahan kotak plastik tersebut lalu membuka tutupnya, untuk melihat isinya lebih jelas. Sudut bibir Gea tertarik ke atas kala melihat nasi goreng spesial di hadapannya ini. Wangi aroma rempah yang begitu menggoda. Astaga, tanpa sadar ia menelan salivanya sendiri.
"Sori, tim gue kelupaan kirim tempo hari. Makanya baru kirim sekarang."
Gea tersenyum mendengar celotehan Pram di seberang. Ia lalu mengaktifkan mode speaker di ponselnya, meletakkan benda mungil tersebut ke atas pangkuannya sebelum kemudian mengeluarkan alat makan yang telah disediakan oleh pihak resto.
"No worries, Mas. Sejujurnya gue juga sempet lupa. Mungkin kalau kemaren lo nggak nelpon nanyain itu novel, gue juga bakalan completely lupa," ucapnya lalu menyuap sesendok nasi goreng.
Gea mengangguk puas di suapan pertamanya. Lupakan soal karbohidrat dan berapa banyak gula yang ada dalam satu kotak nasi goreng ini. Malam ini ia akan membahagiakan perut dan lidahnya.
"Iya-iya, Si paling sibuk. Percaya gue."
Gea menelan habis suapan pertamanya. "Sama juga kayak lo, Mas. Sok sibuk mulu. Mentang-mentang udah jadi sutradara gaji tiga digit," sahutnya.
Dengkusan Pramana terdengar di seberang. "Ngawur. Kalo sampe ada sutradara lain yang denger bisa panjang urusannya."
Gea tertawa senang. "Iih, nggak usah bo'ong kali, Mas. Sekali terima proyek, bayaran lo segitu kan. Kasarannya nih, penghasilan dari satu film yang lo buat itu setara sama berapa puluh tahun budak korporat modelan gue kerja."
Tawa kelakar Pramana terdengar di telinga. "Itu kenapa susah banget buat sekedar nyocokin jadwal, duduk bareng, ngobrol di luar kerjaan ya, Ge."
Gea tak menyahut. Hanya tersenyum simpul seperti yang selalu ia lakukan sebelumnya. "Btw, makasih nasi gorengnya, Mas."
"Udah gue duga. Pasti belum makan."
Gea mendengkus. "Bukan belum makan. Tapi emang gue nggak makan malem sebenernya."
"Lo udah cantik. Nggak usahlah diet-dietan segala. Inget asam lambung lo. Kalau sampe kumat di saat lo sendirian gimana. Nggak usah diet-dietan. Ngerti, Ge?"
Gea mengangguk mengiyakan nasihat Pram.
"Ge? Hallo?"
Gea membuat gerakan 'Time Out' dengan kedua tangannya sementara mulutnya terus mengunyah cepat nasi gorengnya.
"Gea?"
Gea mempercepat proses mengunyahnya kala Pram kembali memanggil namanya. Saat makanan berhasil ditelan sempurna, ia pun baru menyahut.
"Ya ampun. Sabar, Mas. Keseretan kan gue jadinya gara-gara lo buru-buru gini. Wait, gue minum dulu," sahutnya cepat sebelum Pram semakin panik sendiri.
"Lo tiba-tiba nggak nyaut diajakin ngomong. Gue pikir kenapa-napa kan."
Gea tersenyum mendengarnya. Terkadang Pram bisa sangat berlebihan memang. Ia melangkah menuju dapur untuk mengambil air putih. Setelah mengisi gelasnya, ia berjalan kembali ke ruang televisi sambil meneguk hingga setengah dari isi gelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unwanted Partner
RomanceGea Arimbi Hadinata, wanita berparas ayu, karir cemerlang dan pekerja keras. Di usia yang terbilang muda, Gea mampu membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia sanggup mandiri dan menjalani dua pekerjaan sekaligus. Pertama sebagai manajer marketing...