Sepulang sekolah, Naya langsung mengurung diri di kamar. Ia bahkan melewatkan makan siangnya. Mengabaikan panggilan ibunya untuk makan siang yang entah sudah keberapa kalinya.
"Nay, ini untuk yang terakhir kalinya ibu ingetin kamu untuk makan siang. Naya ingat kata ayah kan, kalau kita melewatkan jadwal makan itu bisa menimbulkan penyakit." Sepertinya ibu Naya sudah mulai bosan memanggil Naya untuk makan.
"Bu', maaf ya. Tapi, saat ini Naya mau sendiri dulu." Naya berusaha menstabilkan suaranya agar tidak ketahuan kalau dia sedang menangis.
"Oke. Tapi jangan lama-lama ya." kata ibu.
"Mm, hiks, hiks..." Naya menutup mulutnya agar suara tangisannya tidak didengar oleh ibu. Dan ternyata benar, ibunya sudah pergi dan tidak mendengar suara tangisannya.
Kurang lebih sejam Naya menangis. Kini matanya terlihat memerah dan bengkak. Ia sesekali masih terlihat sesegukan. Ia benar-benar tidak mengerti mengapa dirinya seperti itu. Naya seperti ingin berteriak sekeras mungkin. Entah apa tujuannya. Ia hanya merasa ingin berteriak. Tapi, tidak mungkin ia melakukannya di rumah. Hal itu pasti akan membuat seisi rumah panik mendengar suaranya yang bahkan bersuara sedikit keras saja tidak pernah Naya lakukan selama ini.
Naya akhirnya keluar dari kamar setelah ayah membujuknya dan mengajaknya ngobrol di taman depan rumah setelah Naya selesai makan siang.
"Naya kenapa? Kok matanya sembab begini?" tanya ayah setelah Naya duduk di sampingnya.
"Naya habis nangis, yah."
"Iya, ayah tau kamu habis nangis. Maksud ayah itu, ada masalah apa yang bikin kamu nangis sampai bengkak itu mata." Ayah mengusap pelan punggung Naya.
"Naya bingung. Tidak tau harus berbuat apa. Ibu guru memberikan tugas drama dan nanti akan dipraktekkan di depan teman-teman. Ayah kan tau kalau Naya tidak bisa berbicara banyak di depan orang. Naya harus gimana, yah?" Naya kembali menangis di depan ayahnya.
"Nay, udahan ya, nangisnya. Kan, tadi udah dipuas-puasin. Kalau nangis terus kayak gini, gimana cara nyelesaiin masalahnya? Udah, ya. Ayah mau ngasih solusi nih untuk masalah yang sedang Naya hadapi." Ayah mengusap air mata Naya.
"Serius, yah? Secepat itu ayah punya solusi? Padahal ayah baru tahu masalahnya apa. Naya aja udah mikir dari tadi, nggak ketemu tuh solusinya." Naya tak habis pikir dengan ayahnya yang dengan mudah menemukan solusi dari masalah yang dia hadapi. "Jadi, gimana yah? Apa yang harus Naya lakukan?" tanya Naya yang sudah tak sabar mendengar kata ayahnya.
"Coba Naya ceritakan nama dan karakter yang akan Naya perankan nanti." Kata ayah.
"Naya jadi Devi, yah. Karakternya jahat dan suka marah-marah." Naya mencoba mengingat-ingat karakter yang akan dia perankan.
"Jadi gini, menurut ayah, supaya Naya bisa dengan mudah memerankan karakter Devi, Naya harus memahami karakternya dulu. Nah, setelah faham, barulah Naya praktekkan gaya kehidupan dari Devi." Ayah menjelaskan.
"Mm, gitu ya, yah." Naya faham maksud ayah.
"Ketika Naya melakukan drama itu artinya Naya memerankan karakter orang lain. Jadi, Naya harus berusaha untuk totalitas dalam memerankan karakter tersebut, faham?" tanya ayah.
"Faham, yah." Naya mengerti apa yang ayahnya sampaikan.
"Nah, gimana kalau sekarang Naya praktekin karakter Devi. Ayah bantuin, deh." Ayah siap membantu Naya.
"Nggak, ah. Naya nggak mau membentak ayah. Dialog Devi kan, cuma membentak dan marah-marah." Naya menggelengkan kepalanya.
"Ya sudah, kalau gitu praktekin sendiri gih di dalam kamar, di depan cermin sekalian, biar bisa liat wajah kamu kalau lagi marah-marah tuh kayak gimana. Semangat, cantik!!!" Ayah melangkah masuk ke dalam rumah lebih dulu meninggalkan Naya yang masih bingung harus berbuat apa. Setelah beberapa menit, akhirnya Naya masuk ke dalam rumah dan mempraktekkan apa yang ayahnya katakan.
"Ternyata ayah benar. Aku hanya perlu memerankan karakter dari Devi dengan totalitas. Tidak perlu memikirkan siapa aku yang sebenarnya. Dengan begitu aku akan dengan mudah melakukan drama ini." Gumam Naya.
Selama seminggu Naya latihan bersama teman-temannya. Naya benar-benar memerankan karakter Devi dengan sangat memukau. Bahkan teman-temannya heran melihat perubahan besar yang ada pada diri Naya.
Saat yang dinanti-nantikan pun tiba. Melakukan drama di depan guru dan teman-teman lainnya. Di awal kemunculan, Naya sempat gugup. Ini pertama kalinya dia akan tampil di depan banyak orang. Meski hanya di depan teman sekelasnya yang berjumlah lebih dari dua puluh orang dan yang selalu ia temui di setiap hari. Namun, setelah dia action, sikapnya seratus delapan puluh derajat berbanding terbalik dengan sikap Naya yang teman-temannya kenal selama ini. Semua pandangan tertuju padanya. Mereka terpukau dan tidak menyangka Naya bisa melakukannya dengan sangat baik. Setelah tugas drama selesai, tepuk tangan bergemuruh di dalam ruang kelas. Bahkan sebagian teman-temannya ada yang berteriak, "Naya, kamu hebat!!!" sambil mengangkat kedua jempol mereka.
Naya menangis haru di saat teman-teman yang melakukan drama bersamanya merangkulnya dan berkata, "Naya, kamu berhasil melakukannya dengan sangat baik."
"Terima kasih, ini berkat usaha dari kita semua." Naya membalas rangkulan mereka. Naya teringat kata-kata ayahnya yang kini menjadi nyata, "siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan berhasil."
Ana
-1 Oktober 2023-
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Remaja
Cerita PendekKumpulan Cerpen Remaja "Jadi Keren Tanpa Boyfriend" "Untuk kesan yang saya dapat selama sekolah di sini itu beragam. Namun, salah satu yang paling berkesan adalah ketika ada teman kami yang mengatakan bahwa punya boyfriend itu keren. Nyatanya itu sa...