Satu bulan yang lalu.
Lavinia LàFramboise, sudah lebih dari setahun sejak dia lulus sekolah tanpa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Bukan hal tabu, tapi masih menjadi bintik hitam di hatinya.
Dengan latar belakang yang cukup rumit untuk diceritakan dalam selembar kertas, Lavinia sudah melewati satu tahun sebagai pekerja paruh waktu alih-alih mempersiapkan karirnya di masa depan. Sederhananya, dia tidak memiliki waktu untuk berharap lebih.
Saat ini, Lavinia berhasil mempertahankan pekerjaannya di kafe sederhana yang terletak di depan sebuah universitas. Menghabiskan kesehariannya dikelilingi mahasiswa dan hal-hal berbau perkuliahan.
Meski terdapat rasa iri, dia masih senang atas apresiasi yang dia dapatkan.
"Livie, kau harus berjanji untuk bekerja denganku seumur hidupmu! Lihat semua pelanggan ini, mereka rela mengeluarkan 20 dollars setiap hari hanya untuk melihatmu!" Bisik Phoebe, manajer kafe tersebut.
Dikarenakan rentang usia yang mirip, Phoebe dapat dikatakan berteman baik dengan Lavinia. Perilaku di antara mereka tidak begitu canggung untuk dibatasi status atasan dan bawahan. Terkadang, Phoebe bahkan mengajak Lavinia agar ikut serta dalam kencan buta.
Lavinia tersenyum lemah, menggelengkan kepalanya dengan lelah akan kalimat Phoebe yang dianggap omong kosong. "Feebs, kau merawat kafe ini dengan baik. Mereka adalah hasil keringatmu."
"Omong kosong! Mereka melirikmu secara terang-terangan!" Phoebe menyelipkan benda berbentuk kubus kecil ke dalam saku apron Lavinia. "Rias dirimu, jangan sampai kau tampak pucat sehingga mereka mengecamku karena memperlakukanmu dengan tidak layak."
"Noo! Tidak lagi, Feebs. Aku tidak akan memakainya." Keluh Lavinia. Alasan dia tidak ingin menyentuh benda di sakunya adalah label angka dua digit yang membuatnya merasa nyeri tiap bernapas.
"Anggap saja aku sedang menghias boneka keberuntunganku!" Putus Phoebe lantas berlari ke ruang staf.
Lavinia kehilangan kata-kata menatap punggung wanita yang dia hargai sebagai kakak perempuan. Tidak ada pilihan lain, Lavinia merogoh saku di depan perutnya untuk menemukan benda mahal berukuran kecil.
"Yah, ini mungkin setara dengan berpuasa beberapa hari."
Lavinia melihat situasi kafe sedang cukup terkendali, seharusnya tidak akan ada pelanggan baru untuk sementara. Dia segera berjongkok untuk menggunakan kosmetik yang tidak familiar di bibirnya.
Warna yang dipilih Phoebe tampak natural di wajah Lavinia, melihat bagaimana kemerahan itu menyatu dengan bibirnya yang lembab. Sementara itu, kulit Lavinia seperti telur rebus yang baru saja dikupas. Putih dan mulus.
"Bisakah aku memesan?"
Lavinia terlalu terkejut hingga menjatuhkan pewarna bibir di tangannya ketika menengadah. Dia terburu-buru berdiri untuk melayani pelanggan di seberang meja kasir.
"Kau bisa memesan sekarang, Sir." Lavinia mengumpati dirinya dalam hati. Hal yang paling memalukan adalah pelanggan itu seorang pria dengan postur proposional, menjulang cukup tinggi untuk melihat semua yang dia lakukan saat berjongkok di balik meja kasir.
Di luar dari bayangan Lavinia seribu langkah ke masa depan, pria itu tertawa ramah dengan mata tersenyum.
"Kau bisa mengambil pesananku lalu melanjutkannya."
Dukunganmu bahkan lebih memalukan! Lavinia mempertahankan senyum profesional yang berkedut.
"Ice caramel macchiato. Lalu rekomendasikan aku satu menu dessert."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seamus: 99 (The Imperfect Points)
Romance"Who knew love could be so violent?" Seamus berani menipu, menjebak, bahkan memerkosa Lavinia demi memiliki gadis itu dalam genggamannya. *** Berbeda dengan penampilannya yang tajam dan dingin, Sea...