Chapter 4 : An innocent professor

292 34 0
                                    

"Mengapa kau tidak menelponku? Apa gunanya kita bertukar kontak?" Omel Lavinia melihat tampang Seamus yang berantakan.

"Aku tertidur saat memeriksa jawaban tugas essay dan lupa mengisi daya ponselku." Seamus menjelaskan dengan kepala menunduk.

Lavinia bahkan lebih cemas begitu pandangannya teralih pada lengan kanan Seamus. "Apa ini?"

Lavinia meraih lengan Seamus. Dan benar saja, jaket itu terkoyak dan berlubang, menampakkan luka gigitan yang mengerikan. Bertepatan dengan itu, aliran darah merembes keluar dari balik jaket cokelat Seamus.

"Sebenarnya di mana kau berkeliaran? Apa kau bertemu anjing pemburu?" Suara Lavinia bergetar karena panik. Dia buru-buru menarik Seamus ke dalam apartemen sambil merogoh ponselnya di kantong celana.

Karena jam kerja, saat ini apartemen dan lingkungan sekitarnya sangat sepi. Nyaris kekurangan hawa kehidupan, sejak tempat tinggal Lavinia tidak bisa dikatakan daerah yang baik. Bisa dibilang sedikit kumuh.

Lavinia menyesal, karena itu mereka sekarang kekurangan orang untuk membantu.

"Livie, ini tidak seburuk kelihatannya. Tenanglah." Seamus tampak tidak nyaman melihat keringat dingin Lavinia dan wajahnya yang memucat.

"Apa yang tidak seburuk kelihatannya?! Kau tidak akan menyadarinya sampai kau pingsan kehabisan darah?" Sarkas Lavinia. Dia menatap angka penunjuk lift yang bergerak lambat, kepanikan membuatnya terburu-buru melepaskan jaket tipisnya untuk mengikat lengan Seamus.

"Aku tidak akan mati... mengapa kau menggunakan jaketmu untuk ini, noda darahnya tidak akan hilang."

"Tentu saja kau tidak akan mati di depanku!" Lavinia menarik ikatan jaket sekuat tenaganya, mengakibatkan Seamus meringis dengan wajah pucat.

Mereka berdua pucat. Salah satu panik dan yang lain menahan sakit. Lavinia ingin mengambil panggilan darurat, tapi telapak tangannya basah oleh darah Seamus sehingga layar ponselnya bergerak liar di luar perintah.

Lavinia terus mengumpat sambil menggosokkan tangan ke baju beserta layar ponselnya. Dia melihat pijakan Seamus yang goyah dan segera melupakan kegiatannya. Lavinia buru-buru memeluk pinggang Seamus untuk menahan pria itu.

"Tolong, bertahan sebentar. Kamarku berada di lantai lima." Lavinia hampir menangis. Dia tidak bisa membayangkan harus menyeret badan besar Seamus dengan apa jika pria itu pingsan di lift.

Napas Seamus berat dan berantakan. Dia diam-diam memeluk pundak Lavinia, seolah mencari kekuatan agar mampu mempertahankan posisinya.

"Seamus, jangan mati." Lavinia tidak pernah menghadapi kecelakaan seperti ini. Tapi dia tahu gigitan anjing dapat menyebabkan rabies. Di lingkungan buruk seperti ini, tidakkah anjing liar itu mungkin? Melihat Seamus berhasil melepaskan diri saja sudah merupakan keberuntungan.

Lavinia panik ketika menemukan pria itu berlari dan kebetulan bertemu dengannya yang baru saja keluar dari apartemen. Seamus sangat berantakan dan menjelaskan situasinya secara ringkas. Dan begitulah mereka berakhir dalam lift sekarang.

"Livie, aku tidak akan mati." Tawa rendah Seamus langsung berbunyi di sampin telinga Lavinia. Dia hendak menangis karena cemas, tapi nama panggilan yang keluar dengan santai dari mulut keduanya membuat akal sehat Lavinia singgah sejenak.

Sejak kapan Seamus belajar untuk memanggilnya dengan sangat lembut. Lavinia meremas pelukannya di pinggang Seamus. Ini sungguh bukan saat yang tepat untuk berhayal.

Lavinia segera membantu Seamus berjalan ke arah kamarnya begitu pintu lift terbuka. Ketika melangkah masuk, Seamus nyaris melempar tubuhnya ke dalam. Lavinia berusaha menahannya tapi masih terjatuh bersama tubuh Seamus ke lantai kayu.

"Apa kau tidak apa-apa?" Tanya Lavinia setelah menjerit singkat. Dia tidak merasakan sakit dalam pendaratan mereka, karena tubuhnya jatuh di atas Seamus.

Seamus tidak menjawab. Tapi rambutnya yang lepek oleh keringat menjelaskan kondisinya. Lavinia berlari untuk mengambil sebaskom air dan kotak obat.

Dia berlutut di samping Seamus, menarik tubuh pria itu agar bersandar padanya.

"Bertahanlah.. aku harus menelpon ambulans." Lavinia sudah meneteskan air matanya. Dia mencari ponselnya di saku celana, tapi Seamus menghentikan.

"Bersihkan lukanya dulu."

Lavinia hanya mempercayai profesor yang sedang berbicara. Dia menggunting pakaian Seamus dan membersihkan lengannya dari bekas darah.

Seamus menekan bibirnya untuk menahan keluhan. Lavinia hanya menumpahkan etanol ke lengannya

"Kau tidak boleh mati. Atau orang-orang akan berpikir aku membunuhmu." Lavinia menepuk sekitar luka dengan gumpalan.

"Aku tidak akan mati, Livie." Seamus masih sempat untuk tertawa. Lavinia mendapatkan dorongan untuk menekan lukanya dan menyebabkan pria itu mengggeram.

"Tenanglah. Aku pernah digigit sekali, itu lebih buruk dari ini." Seamus merasa jika dia tidak menjelaskan, dia mungkin mati di tangan Lavinia.

"Anjing apa yang menggigitmu?"

"Chihuahua."

"Omong kosong!" Lavinia menekan perban di lengan Seamus.

"Ah! Itu Rottweiler!!"

Lavinia mencibir. Pria seramah Seamus juga akan berteriak jika lukanya ditekan.

Sesudah Lavinia melilit perban di lengan Seamus, pria itu masih bertahan untuk tidak menelpon ambulans. Lavinia ingin memaksa, tapi melihat kondisi Seamus yang lebih baik, dia akhirnya menyerah.

Mengigat jus delima di kulkas, Lavinia mengeluarkan ketiga kalengnya untuk Seamus. "Minum ini. Kau kehilangan banyak darah."

Seamus berterima kasih lalu menegak keduanya. "Kau tidak minum?"

"? Untuk apa aku meminumnya?"

"Livie, kau begitu pucat sampai aku mengira kau akan mati kehabisan darah."

Mata Lavinia berkilat tajam, penuh ancaman. Seamus refleks menyembunyikan lengan kanannya. "Aku bercanda."

"Berhenti bercanda. Aku tidak pernah menghadapi kecelakaan secara langsung. Darahmu banyak sekali dan aku hanya mengira kau sekarat."

Seamus tersenyum hingga matanya. Amat dimanjakan dengan perhatian Lavinia.

Sesuai rencananya, jarak di antara mereka terbabat habis. Mereka saling memanggil nama satu sama lain, bercanda bersama, Lavinia tidak lagi canggung, bahkan berpelukan secara tidak langsung.

Menyenangkan...

Seamus sangat puas.

"Ayo ke rumah sakit." Seamus berdiri dengan mantap, melihat potongan kain di lantai. "Tapi aku akan menyusahkanmu untuk mengambil baju ganti di mobilku. Itu terparkir di blok sebelah."

"Rumah sakit? Katamu tidak perlu?" Tanya Lavinia retoris.

"Maksudku mengunjungi ibumu. Kecelakaanku tidak bisa menyia-nyiakan cutimu." Seamus memberikan selembar kartu hitam dari dompetnya pada Lavinia. "Warna merah."

Lavinia membeku dengan kartu hitam di tangannya. "Apa..."

"Bergegaslah, ini hampir waktu makan siang. Bibi mungkin sudah menunggumu."

Lavinia didorong keluar dengan kartu hitam di tangannya. Gadis itu memandangi benda tipis itu sambil terheran-heran. Bahkan dengan ketenangan Seamus sekalipun setelah luka parah di lengannya.

Apa seorang profesor menghasilkan begitu banyak uang?

Pada akhirnya, Lavinia hanya mencari mobil Seamus dengan taat. Tanpa khawatir rumahnya telah diisi pria yang baru dikenalnya beberapa hari seorang diri.

Seamus, pria yang sangat baik. Tidak mungkin melakukan hal aneh di rumahnya.

Segala macam tindakan seperti melihat barang pribadi atau meletakkan kamera, tidak mungkin seorang profesor yang ceroboh berpikir sejauh itu.

Benar kan?

Seamus tersenyum di dalam kamar Lavinia.

15 Oktober 2023

Seamus: 99 (The Imperfect Points)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang