Chapter 5 : Extreamly obsessed

439 32 0
                                    

Sederhana dan nyaman. Dua kata yang akan mendeskripsikan kamar Lavinia secara garis besar. Tidak terdapat dekorasi yang bertele-tele, hanya mengandalkan kebersihan yang rapih untuk menonjolkan estetika.

Selimut tebal yang dilentangkan menutupi sebagian besar permukaan ranjang, sebuah bantal bermotif kuno terbaring tepat di tengah kepala tempat tidur.

Seamus melangkah perlahan dengan tangan terlentang ke samping, menyentuh hal-hal yang dapat diraih dari jaraknya.

"Benda dengan aroma Livie..." gumam Seamus dengan rona tipis di sekitar matanya.

"Aroma tubuh yang kuat, tapi tidak pernah diperhatikan olehnya." Memikirkan jawaban dari teka-teki ini, Seamus tertawa sampai menutupi wajahnya.

Seolah kegilaan menguasai pikirannya, Seamus membuka lemari Lavinia dan segera menarik napas dengan rakus.

"Akan kuanggap sebagai balasan dari gigitan kecil ini." Seamus meraih salah satu bra Lavinia yang tampak paling tua. Menghirupnya dengan lambat sebelum mengorek sobekan kecil untuk mengeluarkan busa dari bagian depan bra.

Seamus mengeluarkan busa lain yang dilipat sekecil mungkin dari kantong celananya. Menukar pasangan busa tua bra Lavinia, selayaknya hal itu wajar tanpa jejak keraguan. Saat melakukannya, dia bahkan menyempatkan dirinya untuk bersenandung.

Seamus mengambil kotak benang di atas lemari. Dengan itu mulai menjahit sobekan kecil yang dia buat dengan lincah, seperti hal yang sudah biasa dilakukannya.

Seamus melirik jam tangan di pergelangannya, menghitung kecepatan langkah normal Lavinia, dia akan kembali dalam satu menit. Segera jahitan itu diikat dan Seamus memutuskannya dalam satu tarikan.

Keluar dari kamar tidur bersama sepasang busa tua di kantongnya, Seamus mulai berbaring pada sofa sempit di ruang tengah tepat ketika pintu apartemen didorong.

"Mobilmu agak jauh, kau pasti sudah lama menunggu." Lavinia mendekati Seamus yang mengerjapkan matanya, memberikan ekspresi kantuk dengan malas.

"Aku hanya mendapatkan parkiran kosong di sana." Keluh Seamus yang hanya ditanggapi oleh lirikan belaka.

"Kenakan bajumu di sini. Aku akan menunggu di dalam kamar." Titah Lavinia memasuki kamarnya usai menaruh sebuah paperbag di meja rendah. Pergerakannya agak terburu-buru dan terkesan cuek.

Kenyataannya, Lavinia menyembunyikan debaran sejak melihat tubuh tegap Seamus berbaring malas di atas sofanya.

"Apa semua profesor terlihat sangat memikat?" Lavinia menyentuh dadanya yang berisik.

Debaran ini bukan berwarna merah muda atau ambigu. Sepenuhnya hanya kikuk dan malu karena kepolosan remaja. Ini pertama kalinya Lavinia berduaan bersama pria dewasa, bahkan pria itu tidak mengenakan baju di tubuhnya!

Dan sebagai seorang wanita normal, Lavinia dapat hilang akal jika terlalu lama berhadapan dengan visual Seamus. Dari wajah, tinggi badan, dan postur tubuh. Bila segala aspek dikatakan sempurna, Lavinia mungkin akan melindur berkata bahwa Seamus seorang peri.

Terlebih, pria itu manis dan baik hati!

Lavinia menenangkan pikirannya. Berusaha bersikap rasional, mengingat dua hari pertama mereka berkenalan. Dia tidak terima menghadapi dirinya sebagai remaja labil yang haus afeksi, mudah terbujuk oleh tampang semata.

"Tapi, setiap remaja merasakan yang sama." Lirih Lavinia.

Selama sembilan belas tahun hidupnya, bukankah dia tidak pernah diizinkan untuk bertingkah sesuai dengan usianya. Masa-masa santai penuh asmara sepeleh, bermain pagi dan malam menciptakan cerita untuk generasi berikutnya.

Lavinia mengejek dirinya sendiri. Menghentikan pikiran bodoh yang telah berlari terlalu jauh.

Saat itu tatapannya jatuh pada bahan mengkilap di dekat kaki meja. Menemukan benda itu ialah jarum jahit, Lavinia mengerutkan alisnya. Bukankah dia sudah menyapu kamarnya pagi ini?

Lavinia ingin mengembalikan jarum ke dalam kotak, tapi pergerakan tangannya terhenti melihat warna gulungan benang yang berada paling atas.

"Cokelat?"

Terakhir kali Lavinia menjahit yaitu beberapa hari yang lalu. Bahan jahitannya selimut putih dengan benang senada. Sementara itu, benang putih berada sedikit di bawah tumpukan warna lain.

Lavinia menaruh kotak benang kembali ke atas lemari. Dia keluar kamar dengan keraguan, menatap Seamus yang sedang mengancing kemeja cokelatnya.

"Apa kau sudah sarapan?"

"Belum." Seamus tersenyum melirik Lavinia.

"Ada roti di dalam kulkas. Seharusnya kau memakannya saja selagi aku pergi mengambil bajumu."

Seamus kelihatan heran. Dia menjawab Lavinia dengan sangat wajar, dan wajahnya berkata bahwa itu sungguh-sungguh. "Apa yang harus kulakukan di rumah orang lain ketika orang itu sedang meninggalkan rumahnya? Kurasa berbaring di sofamu sudah cukup jauh."

Lavinia tertegun dengan jawaban Seamus. Dia merasa tidak nyaman dengan prasangkanya, tapi Seamus sangat masuk akal.

"Kau seharusnya menawarkan roti itu sebelum pergi." Seamus terlihat kecewa. Tapi dia tidak menyimpannya dalam hati, senyuman kembali menghiasi wajahnya.

"Kau bisa memberiku roti lain kali. Akan kuanggap balasan dari keterlambatanmu hari ini."

Lavinia berakhir terpisah dari kecurigaannya. Ketegangannya meleleh hingga senyum lemah bertengker di sana. "Ya. Aku akan membalasnya lain kali."

"Kalau begitu, haruskah kita berangkat sekarang?" Seamus duluan berjalan ke arah pintu dan ingin meraih tangan Lavinia.

Lavinia tidak merespon dengan ramah, tapi jarinya mencubit kemeja Seamus. "Bagaimana sepasang 'kenalan' bergandengan di hari ketiga mereka bertemu?" Lavinia sarkas, tapi nadanya ringan seperti menyampaikan lelucon.

Seamus menarik tangannya tanpa merasa tersinggung. "Kalau begitu berapa waktu yang diperlukan agar 'kenalan' itu bisa bergandengan?"

Lavinia mencibir. Mereka tetap lanjut bergerak dan mengunci pintu sambil mengobrol. "Omong kosong. Apa hanya ada bergandengan dalam pikiran seorang profesor? Berapa usiamu untuk menghitung hari demi sebuah tangan?"

"Aku tidak berkata akan menghitung hari demi itu. Mungkinkah kau memikirkannya?" Goda Seamus.

Lavinia memerah karena malu, tapi gengsinya dengan cepat menjawab. "Aku hanya berkata dua hari, dan kau bertanya berapa yang diperlukan. Bukankah seorang profesor secara otomatis akan menghitung?"

"Aku tidak sedang mengajar atau meneliti. Aku hanya pria biasa di hari libur. Mengatur pola hidup itu penting."

Karena Seamus tidak menunjukkan tanda-tanda mengalah, Lavinia membuang mukanya begitu saja.

Seamus tertawa lalu mengacak rambut Lavinia di puncak kepalanya. Di detik yang sama, keduanya terkejut dan membeku.

"Ah," Seamus mengangkat tangannya. Dengan canggung merapikan surai Lavinia yang masih termangu. "Aku mengacaukannya."

Seamus hanya memilah beberapa pemilihan kata, dan kata maaf terdengar sangat kaku bagi dirinya yang ingin mendekati Lavina. Sebagai pria, Seamus mencoret opsi dengan penuh tekanan. Dia berjanji akan bersikap lebih sopan lain kali.

Karena terbawa suasana, Lavinia mengikuti jalur yang dibuka Seamus. "Ya, ya. Kau bertanggung jawab dan rapikan kembali."

Dengan itu, pasangan pria dewasa dan wanita hendak dewasa tersipu di bawah langit cerah Los Angeles.

Masing-masing merasakan getaran yang sama, dengan sudut pandang dan paradigma yang bertolak belakang.

Seamus yang berada satu kepala di atas Lavinia, melilit helai rambut yang rontok di jari panjangnya. Merona memikirkan betapa indah DNA Lavinia akan terlihat.

15 Oktober 2023

Seamus: 99 (The Imperfect Points)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang