Langkah Lavinia terhenti di depan kamar inap ibunya. Pintu geser itu sedikit terbuka, dengan sekilas dapat diketahui keberadaan tamu lain di dalam sana.
Wajah cantik itu sekejap terlihat gelap, tapi langsung berubah saat berbalik ke arah Seamus. "Aku ingin masuk sendiri. Bisakah kau menunggu? Ini tidak akan lama."
"Tidak masalah. Nikmati waktumu." Seamus setuju tanpa basa-basi. Tidak sedikitpun merasa dirugikan setelah luka yang dia alami dan masih diharuskan menunggu.
Lavinia tersenyum pada Seamus sebelum memasuki kamar. Di sana, keberadaan seorang wanita yang paling dia hindari duduk dengan nyaman di sisi ibunya. Hal yang biasa terjadi, dia yang lebih dulu tiba akan bersenang-senang lebih banyak.
Wanita itu, Verbena, kakak satu-satunya yang dia miliki. Di luar dari kebaikannya, kasar, angkuh, keras kepala, dan pendendam. Keempat poin ini yang berhasil memojokkan Lavinia sampai ke titik mati rasa.
"Lama sekali. Aku pikir kau tidak bisa datang." Ibu Lavinia berkata.
Lavinia antara tersenyum dan tidak, sangat hambar dan membosankan. Lengkungan yang dia buat bahkan tidak lebih baik dari sekedar formalitas.
"Ibu sudah melakukan cuci darah?"
"Ya, itu baru saja berakhir." Jawab Ibu Lavinia sebelum kembali membalas obrolan Verbena.
Verbena, kakaknya yang tidak tahu diri. Berusia lima tahun di atas Lavinia, dan telah berselang beberapa tahun sejak mereka mengalami perang dingin. Satu ketika, Lavinia menurunkan egonya demi sang ibu. Nyatanya, Verbena menutup mata akan segala hal kecuali harga dirinya semata.
"Mereka sangat baik. Tak jarang kepala jaksa membawa kita untuk makan siang bersama." Verbena seolah tak peduli akan kedatangan Lavinia, dan terus memaksakan topik pembicaraannya pada ibu mereka.
Pada dasarnya, Ibu Lavinia tak pernah pusing kepada siapa dia mengobrol, atau siapa yang memotong obrolan siapa. Selama dia menikmati dan tidak terganggu, salah satu dari dua bersaudara akan menelan ketidaknyamanan dan ibu mereka bahkan lebih malas untuk memusingkannya.
Lavinia, yang selalu mengalami ini, tidak pernah terbiasa. Hanya saja, kelapangan toleransinya bertumbuh seiring waktu. Sudah berlalu tiga tahun sejak dia memutuskan untuk memasang topeng di depan keluarganya. Sebenarnya, dia hanya lelah untuk menyendiri di sudut sebagai yang bersalah.
Lavinia menghabiskan lebih seperempat jam hanya untuk menguliti jeruk mandarin tanpa mengikuti topik mereka. Sosok ibu yang bukan ibu, tapi di saat bersamaan ibu mereka tak pernah peduli akan keterdiaman salah satu anak. Tak sangkal, Lavinia memendam kekecewaan.
"Aku akan kembali."
"Cepat sekali?" Kejut Ibu Lavinia.
Verbena berdecak dengan tatapan sinisnya yang tajam. Terang-terangan mengkritik disertai sirat ejekan pada si adik. Lavinia selalu mengalami ini, setiap kalinya memiliki niatan untuk menguliti wajah itu.
Verbena mencibir. "Biarkan dia. Bahkan tidak menyisakan otak untuk memikirkan kondisi Ibu."
Lavinia menawarkan jeruk yang sudah ditelanjangi pada ibunya. Setelah menyampaikan salam singkat, dia keluar dengan langkah stabil. Sepanjang langkah yang dia ambil, kata-kata tajam Verbena menjadi latar suasana hatinya yang mendung.
"Tidak tahu malu."
"Dia dibesarkan menjadi anak yang tidak berguna."
"Apa gunanya menjadi orang baik? Bekerja di usia dini? Hah! Dia akan ditenggelamkan di neraka karena dosa-dosanya pada manusia!"
"Ibu seharusnya tidak menunggu dia sejak pagi. Hanya untuk melihat dia pergi usai mengupas jeruk, dia selalu sok menjadi boneka baik yang mati rasa!" Cerca Verbena.
Lavinia sedikit mempercepat langkahnya. Meninggalkan ruangan dengan napas berantakan dan pandangan yang berdenyut. Dia bahkan tidak menyadari Seamus yang berdiri di koridor saat berlari melewatinya.
Seamus terkejut tapi tidak segera mengikutinya. Dia berpikir sebentar, lalu memutuskan untuk mengekori Lavinia dari jarak aman.
Tujuan Lavinia berakhir di ujung koridor yang mempunyai bagian kosong di dekat jendela tinggi, membiarkan orang berdiri untuk melihat pemandangan.
Lavinia bersandar di sudut lantas tubuhnya merosot. Napasnya bertukar kasar dan kedua tangan memukuli kepalanya tanpa kendali. Seamus tidak begitu terkejut, namun masih saja tidak nyaman.
Ekspresi Lavinia yang berantakan menjelaskan kondisi mentalnya. Sepasang mata kecoklatan sangat merah begitu pula wajahnya. Air mata mengalir deras tanpa Lavinia perlu berkedip. Bibirnya terus bergerak mengucapkan beberapa kata.
"Aku juga sakit."
"Aku juga sakit."
"Aku juga sakit."
Lavinia merasakan kepalanya mulai sakit hingga mengganggu pandangannya, berdenyut hingga membuatnya ingin muntah. Namun mata dan dadanya sangat panas seolah terbakar. Dia tidak tahan dan hanya bisa memukuli pahanya yang terlipat.
"Aku akan mati."
"Lebih baik jika gila."
"Aku harus mati dengan menyedihkan lalu mereka akan menyesalinya."
"Kau harus menyesalinya sampai mati."
Karena dagingnya yang tidak begitu tebal, Lavinia merasakan ngilu yang menyentuh tulang setiap kepalannya menghantam.
Lavinia bahkan tidak sadar saat sudut bibirnya beranjak naik seiring pukulannya melambat. Sampai dia duduk diam dengan ekspresi kosong, melihat ke arah yang tidak tentu selama hampir lima menit, Lavinia kembali tersenyum manis.
Lavinia mengeluarkan tisu basah untuk menyeka wajahnya, lalu memakai bedak tipis untuk menutupi sembab di matanya.
Seamus yang mengamati hal ini secara langsung, diam-diam merasa sedikit merinding. Tapi perasaan aneh yang dia simpan hanya bisa dijelaskan dengan sedikit kekaguman.
Seamus menjauh saat yakin Lavinia akan segera selesai berdandan. Dalam langkah panjang yang terburu-buru, luka di lengannya berdenyut cukup kencang bersama jantungnya. Seamus merasa mabuk setiap membayangkan kegilaan Lavinia yang luar biasa, membuatnya jatuh cinta dan bodoh. Sama seperti orang yang dikendalikan ekstasi.
Lavinia berjalan cukup cepat dan segera menarik kemeja Seamus. Pria itu menoleh, menatap wajah cantik Lavinia yang memiliki rona di bawah matanya.
"Kau yakin tidak akan memeriksa lukamu? Mumpung kita berada di rumah sakit." Kalimat Lavinia sangat masuk akal, tidak terdapat bayangan wanita yang menggila sebelumnya.
"Aku sudah memeriksanya saat kau mengunjungi ibumu."
Lavinia mengangguk paham dan tidak lagi memaksa.
Seamus berpikir dalam setiap langkahnya di sisi Lavinia. Tentang apa yang sebenarnya terjadi di dalam kepala kecil itu.
Seamus tanpa sadar merangkul Lavinia, menyebabkan wanita itu menoleh. "Aku berusaha menahan ini karena tidak sopan. Tapi..."
Lavinia berkedip gugup begitu wajah Seamus mendekat beberapa senti.
"Matamu tampak sangat cantik saat merona seperti ini." Seamus sangat tulus.
Kalimat itu sepenuhnya jujur. Suatu alasan yang membuat Seamus tersenyum cemas dengan keringat dingin, takut-takut akan melakukan hal gila demi melihat mata cantik itu kembali sembab di masa depan.
18 Oktober 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Seamus: 99 (The Imperfect Points)
Romance"Who knew love could be so violent?" Seamus berani menipu, menjebak, bahkan memerkosa Lavinia demi memiliki gadis itu dalam genggamannya. *** Berbeda dengan penampilannya yang tajam dan dingin, Sea...