Chapter 1 : Don't trust him

1K 45 3
                                    

"Livie, ini pamanku, Seamus. Paman, dia temanku, Lavinia." Phoebe berdiri di tengah tatapan intens dua orang yang berhadapan.

Lavinia nyaris meneteskan keringat dingin di telapak tangannya, sementara orang lain menyeringai dengan sirat nakal.

Pria itu, Seamus, sepanjang hari memelihara lengkungan di bibirnya. Namun Lavinia yang telah berinteraksi dengannya selama beberapa waktu mengenali perbedaan hanya dalam sekali pandang.

"Paman?" Beo Lavinia. Tangannya tidak bergerak dari layar mesin kas.

"Ya! Dia terlihat muda, tapi masih berpaut sepuluh tahun denganku! Kau bisa ikut memanggilnya 'Paman' bersamaku, walau kurasa dia tidak akan menerimanya." Phoebe mengejek Seamus dengan menyikut lengannya.

Seamus mengabaikan Phoebe, maju selangkah kemudian sedikit menundukkan wajahnya. "Dia terbiasa memanggil namaku. Kami saling mengenal, Bee."

Berdirinya rambut halus di tengkuk Lavinia menyadarkannya untuk mengambil langkah mundur. Dia tertawa ramah kepada Phoebe, lantas mengklarifikasi jejak ambigu yang ditinggalkan Seamus.

"Pamanmu sering berkunjung di sini. Sekitar satu bulan, tapi kalian tidak pernah bertemu." Lavinia melirik Seamus yang mengamatinya dengan sepasang mata sabit. Dia selalu mengagumi senyuman Seamus, tapi di beberapa kesempatan, pria itu terkadang memancarkan suasana yang berbeda. Tidak dapat dijelaskan secara detail. Yang pasti, Lavinia dapat merinding dibuatnya.

"Pamanmu sangat baik, dia biasa mengajariku beberapa hal saat waktu makan siang." Lavinia menunduk sopan. Mempertahankan kesenjangan generasi yang mendadak diungkap.

"Mengajarimu beberapa hal?" Phoebe tidak mengerti. Kalimat itu cukup mengganggu akal sehatnya.

"Livie."

Phoebe menoleh ke tempat Seamus berdiri. Mendapati pamannya tidak pernah melepaskan mata dari wajah Lavinia sejak pertama kali memasuki kafe. Ke mana pun Lavinia bergerak, Seamus terus mengincar bola mata Lavinia seakan itu adalah mangsanya.

"Livie." Karena Lavinia tidak menjawab, Seamus kembali memanggil namanya.

"Paman kecil, hentikan. Kau mungkin menakutinya." Phoebe merengut.

Seamus tertawa pelan, tapi masih mengulanginya. "Livie."

Seamus menikmati beberapa detik untuk bernapas, mengamati Lavinia yang menyembunyikan canggung di balik kebingungannya. Dia melirik tangan Lavinia yang meremas apron coklat, akhirnya melepaskan suasana berat di sekitar mereka.

"Tidak apa. Kurasa panggilan itu cukup manis untuk diucapkan. Terasa cocok di lidahku." Seamus meneliti bahu Lavinia, yang menegang sebelum kembali lemas.

"Pesananku seperti biasa, Livie."

Lavinia melanjutkan proses transaksi tanpa berkata banyak. Takut mengeluarkan kata-kata yang akan menimbulkan tanda tanya di kepala Phoebe, manajer sekaligus teman baiknya.

Di sisi lain, Seamus tampak tidak begitu peduli. Dia mengambil tempat yang telah dia tandai selama sebulan ini di tengah ruangan, tidak jauh dari bagian kasir, tempat Lavinia selalu bersedia.

Di luar dari ekspektasi Lavinia, Seamus tidak terus-menerus memperhatikan pergerakannya seperti tadi. Dia fokus dengan ponselnya, duduk dengan kaki terlipat di bawah lampu gantung kekuningan. Karena punggung tegapnya bersandar malas, kakinya tampak semakin panjang dan adil. Bahkan kacamata yang bertengker di tulang hidungnya menambah sepuluh poin lebih bagi penampilannya.

Lavinia meletakkan pesanan Seamus tanpa berbicara. Masih belum meluruskan pikirannya untuk bertindak. Bagaimanapun, dia tidak bisa dengan santai membiarkan Phoebe tahu hubungan di antara mereka.

"Livie." Bisik Seamus.

Pergerakan Lavinia terhenti. Posisi itu di mana dia menunduk, dan jarak kedua wajah mereka secara tidak sengaja dekat.

Dia menelan seluruh kepahitan di lidahnya. Menoleh ke pihak lain, dan hanya menghasilkan dirinya tertegun lama.

Ekspresi yang tidak pernah dibuat Seamus selama waktu singkat mereka saling mengenal. Ketika ujung alis pria itu turun dengan lemah, senyumannya lebih asam dari kebajikan yang selalu dia tampilkan. Nyatanya, ponsel yang dia pegang sedari tadi hanya menampilkan layar hitam.

Mengapa... Seamus begitu rapuh.

"Seamus." Lavinia hampir menyentuh wajah di hadapannya.

Sepasang safir itu kembali memegang cahayanya. Seamus berkejap beberapa kali tanpa kehilangan ketenangan. "Kupikir kau tidak akan memanggil namaku lagi."

Napas Lavinia tertahan, dia sedikit frustasi. "Tidak. Aku tidak bermaksud menjauhimu."

"Apa hubunganku dengan Phoebe membuatmu tidak nyaman?" Seamus meneliti Lavinia begitu dalam untuk mendeteksi kejujuran gadis itu.

Lavinia menggeleng kuat. Tapi matanya berbohong. Dia tidak bisa menyembunyikan keresahannya. Pada akhirnya, Lavinia hanya bisa jujur. "Bagaimana aku bisa nyaman. Kau pamannya, dia keponakanmu. Dan aku..."

Tiba-tiba, Lavinia merasa lidahnya kelu.

Dia?

Siapa dia bagi Seamus?

Apa yang membuatnya harus menjadi tidak nyaman?

"Lalu? Haruskah aku memutuskan hubunganku dengannya?" Suara Seamus di samping telinga Lavinia, membuatnya sontak menarik jarak.

Lavinia tegang dan terkejut. Tapi dia tahu Seamus harus bercanda dengan wajah santainya, bahkan pria itu sekarang tertawa bodoh menyaksikan Lavinia.

"Livie."

"Ada apa? Kau terus memanggil namaku sedari tadi."

"Livie."

"Seamus... hentikan."

Pria itu meraih jemari Lavinia dengan miliknya, tidak lagi memanggil atau menatap Lavinia.

"Entahlah."

"Aku tidak pernah merasakan ini. Perasaan yang aneh. Hanya ada dorongan untuk terus menyebut namamu, tanpa arah atau alasan. Aku hanya ingin memanggilmu, Livie."

"Seolah aku memilikinya."

Dalam diam, keduanya menahan keinginan untuk memeluk satu sama lain.

"Lavinia." Seamus menengadah. "Tidak bisakah kau menjawabku tiap aku memanggilmu?"

Lavinia memberanikan diri untuk menautkan kelingking mereka. "Kau tidak bisa terus memanggilku saat aku bekerja."

"Tapi kita hanya bertemu saat kau sedang bekerja."

Lavinia berkedip. Seamus menikmati saat-saat ini, mengagumi kepakan sayap kupu-kupu dari bawah Lavinia.

"Hari minggu ini. Kau bisa memanggilku sepuasmu." Lavinia menoleh ke arah berlawanan dengan sebagian telinga yang memerah. "Tentu saja jika kau mau."

Kala itu, Lavinia tidak melihat perubahan di wajah Seamus. Pria itu hanya berkata dengan nada yang membunyikan lonceng kebahagiaan. Tanpa tanda-tanda yang menyimpang seperti yang terjadi sebenarnya.

"Tidak ada penolakan di antara pilihanku, Livie."

Dibandingkan Lavinia yang malu-malu, Phoebe menonton mereka sejak awal. Di balik pintu dapur, ekspresi Seamus tampak jelas di mata keponakannya.

Mata dan senyuman itu, sama sekali tidak tampak sehat. Kilatan yang membekas di ujung garis tajam kelopak mata Seamus, dia bahkan tidak berkedip sejak satu menit memandangi Lavinia. Meski gadis itu tidak sadar, tubuh Seamus maju untuk membaui lengan Lavinia dengan satu tarikan napas yang lambat, tanpa berkedip sekalipun.

"Shit." Umpat Phoebe tanpa suara.

10 Oktober 2023

With playlist:
https://open.spotify.com/playlist/1TNPFe0aGoV07Nxktgh8Cs?si=jmmnP72gS0aeimL4YCkzug&utm_source=copy-link

Seamus: 99 (The Imperfect Points)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang