Hari ini, jam makan siang sudah berlalu, kafe tidak lagi ramai. Sudah satu minggu sejak Seamus dan Lavinia pertama kali bertemu. Seperti yang dijanjikan pria itu, dia datang setidaknya sekali tiap jadwal tugas Lavinia berlangsung.
"Apa kau menyelesaikan buku-buku yang kuberikan padamu terakhir kali?" Tanya Seamus dengan senyum.
Seiring kunjungannya, dia membawa buku-buku dasar yang biasa dipelajari di beberapa prodi. Rata-rata dipinjam olehnya dari perpustakaan kampus untuk Lavinia. Meski Seamus menjanjikan pengajaran pada Lavinia, dia tidak pelit terhadap semua ilmu yang dia ketahui.
"Aku hanya belum menyelesaikan 'The Emotional Brain'. Tapi aku membawa yang lainnya untuk dikembalikan lebih cepat." Lavinia mengeluarkan papper bag dan menyerahkannya pada Seamus.
"Kau tidak perlu terburu-buru." Seamus menepuk kepala Lavinia sekali. "Kesuksesan menantikan orang yang tekun dengan dasar yang kokoh, bukan memaksakan diri dan segera roboh."
Lavinia mengangguk halus. Wajah dan hatinya menghangat bersamaan. "Ah, terkadang aku berpikir mengapa kau menguasai begitu banyak hal."
"Aku hanya juga membacanya, tidak menguasai." Seamus mengeluarkan ponselnya untuk membayar tagihan.
"Tapi kau seorang dosen. Apa kau masih memiliki cukup waktu untuk mempelajari banyak hal? Mengapa kau tidak mengajariku mata kuliahmu saja. Tidak perlu mengumpulkan beberapa dan merangkumnya untukku. Bagaimanapun, aku hanya ingin mempelajari sesuatu."
Seamus melirik Lavinia dengan sudut bibir yang tertarik normal. "Kau tidak suka?"
"Oh, tidak-"
"Kupikir juga begitu. Bukankah mengetahui banyak hal lebih bagus? Apa gunanya fokus pada satu kuliah. Adapun seperti itu, aku tetap tidak bisa memaksimalkan kelas pribadiku untukmu. Sejak awal, kupikir kau juga senang melihat hal-hal baru di dunia sepertiku. Jadi aku memberimu buku-buku yang kupikir menarik dan kelas sederhana untukmu."
Ujung jemari Lavinia bereaksi. Ekspresi Seamus tampak terasing dan diam-diam menekan atmosfir. Membuatnya tidak nyaman, tidak bisa untuk tidak berpikir banyak.
"Aku mengerti. Jangan salah paham, ini tidak seperti aku menuntutmu atau merasa tidak cukup untuk ini. Aku hanya takut merepotkanmu, tahu?" Lavinia mencubit kemeja cokelat kayu di lengan Seamus, sedang pria itu menatapnya di balik bingkai kacamata tipis yang ditahtakan pada hidung lurus dan tajam. Seakan mahkota megah dan mahal untuk sosok mulia yang layak.
Sorot pandangnya rendah dan halus, Seamus ingin menyentuh wajah Lavinia namun telapak tangannya tak tahan untuk bersentuh kulit. Di jarak yang nyaris tidak aman, Seamus berhenti dan berkata. "Tidak mungkin. Aku hanya kecewa tidak bisa menuliskan ijazah untukmu bahkan jika aku memberimu kelas penuh. Padahal kau gadis yang sangat cerdas dan berbakat."
Lavinia menelan asam di hatinya. Karena mulutnya terasa kering, dia hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Jadi pipi itu menyentuh telapak Seamus sehingga pria itu tak tahan untuk menyentuh lebih dengan hati-hati.
"Kita sudah membicarakannya. Aku tidak lagi peduli dengan kuliah. Semenjak aku kini mempunyai penghasilan yang cukup."
Melihat Lavinia begitu rapuh seakan kehilangan warnanya, Seamus tergerak untuk memberi Lavinia kesempatan. "Bagaimana jika kau mengikuti ujian perguruan tinggi? Aku yakin kau akan lulus."
"Itu baru saja berakhir."
"Ikuti ujian untuk kampusku. Itu swasta, masih tersisa seminggu sebelum masa pendaftarannya berakhir."
Lavinia menggenggam tangannya sendiri yang sedikit dingin. Dia menatap Seamus dengan canggung. "Itu sulit. Tabunganku masih jauh dari cukup untuk universitas swasta."
Namun Seamus tetap memandangnya dengan penuh keyakinan. Seperti dia tidak pernah memusingkan hal-hal terkait biaya dan siap untuk masalah sepeleh.
Pria itu tersenyum teduh sambil mengelus rambut cerah Lavinia yang terikat kendur di belakang. "Aku mengenal seseorang yang bisa memberikan ujian untukmu. Jika dia menerimamu, jangan pikirkan itu dan biarkan aku mengurusnya. Bagaimana menurutmu?"
Jantung Lavinia berdebar kencang. Dia melihat sepasang mata lembut di balik bingkai yang amat menawan. Lavinia ragu beberapa detik untuk bersuara, tapi pada akhirnya masih bertanya dengan serak.
"Apa maksudmu?"
"Menurutmu itu berlebihan bagi hubungan kita?" Seamus menarik tangannya.
"Itu..." Lavinia pusing hanya memikirkan perdebatan sengit antara harapan dan kenyataan. "Benar. Kau tidak bisa bertindak sejauh itu untukku."
"Tidak bisa? Mengapa tidak bisa?"
Lavinia menelan dengan susah payah, berusaha untuk lebih tegas. "Kau tidak boleh, Seamus."
Seamus sedikit menarik senyumannya, tapi sepasang mata masih penuh kasih sayang pada Lavinia. "Aku bertanya, menurutmu itu berlebihan bagi hubungan kita?"
Itu sudah pasti. Seamus pasti tahu. Tapi Lavinia masih mengangguk sebagai balasan.
"Lalu, bagaimana jika hubungan ini kita jadikan lebih layak?"
"... Hah?"
"Hubungan seperti apa yang kita perlukan agar menguliahkanmu menjadi pantas bagiku?"
Lavinia menelan semua kata-kata di benaknya. Dia bahkan lupa untuk berkedip atau sekedar menghembuskan napasnya.
Lavinia menutup mulutnya yang melongo tanpa sadar karena kalimat ambigu Seamus. Pria itu tampaknya sadar dan hanya tertawa rendah sebelum mengambil pesanannya.
"Aku akan duduk di area terbuka hari ini." Pesan Seamus lalu meninggalkan Lavinia dengan kebingungannya.
Gadis itu terpaksa melayani pelanggan lain dengan keadaan linglung. Wajahnya masih menyisakan berbagai jenis emosi yang bercampur aduk.
Kemudian pemandangan itu semua tak pernah entas dari Seamus yang menonton Lavinia secara terang-terangan. Diam-diam pria itu menyeringai dengan jemari yang menahan dagunya dalam posisi santai.
Hatinya cukup kegirangan memikirkan jawaban Lavinia. Mengingat kepribadian gadis itu yang telah diamati Seamus dalam jangka panjang, Lavinia tidak akan menolaknya dengan mudah.
Seamus keringat dingin hingga menjilat bibirnya. Sesuatu pada dirinya nyaris tegang karena semangat yang menggebu-gebu.
"Sebentar lagi..." bisik Seamus pada dirinya sendiri.
Dia menghela napas berat untuk menenangkan tubuh dan pikirannya. Bayangan mata sembab Lavinia memancing gairah sampai pada ubun-ubun Seamus. Menyebabkan pria itu menertawakan dirinya sendiri.
"Kau akan datang kepadaku dengan tangis cantikmu, lalu aku akan mengganggumu lebih banyak..."
Seamus tersenyum sama cerahnya dengan langit yang dia lihat saat itu.
"Sampai kau memohon belas kasih di bawahku."
11 Mei 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Seamus: 99 (The Imperfect Points)
Romance"Who knew love could be so violent?" Seamus berani menipu, menjebak, bahkan memerkosa Lavinia demi memiliki gadis itu dalam genggamannya. *** Berbeda dengan penampilannya yang tajam dan dingin, Sea...