"Kai, d-don't leave me..."
"I- i need you, w-we need you, Kai.."
"Please.... can you come back home?"
"No, no, no, Kaaaaai!"
Suara teriakan dari Jennie mampu membuat Lalisa membuka kedua matanya yang sedang terpejam, wanita jangkung itu dengan cepat beranjak dari sofanya dan berjalan menuju ranjangnya dimana Jennie berada. "Hey, Jennie. Bangunlah." Lalisa membangunnya dengan hati-hati sambil menepuk lembut pipi Jennie, wanita yang sedang tertidur dengan gelisah itu akhirnya membuka kedua matanya, dahinya sudah di penuhi dengan bulir-bulir keringat, dadanya naik turun dengan cepat. "Are you dreaming?" Tanyanya kepada Jennie, namun.. Jennie tidak menjawabnya dan membuang pandangannya.
Lalisa berjalan keluar kamarnya tanpa mengatakan apapun, dan Jennie memandangi punggung Lalisa, tatapannya terlihat sendu, beberapa menit kemudian ia kembali dengan segelas air putih di tangannya. "Minumlah." Ucap Lalisa dengan lembut sambil menyodorkan gelas tersebut dan Jennie menerimanya, dia meneguk air putihnya lalu meletakkannya kembali ke atas nakas.
"Thanks." Gumam Jennie dan Lalisa menganggukan kepalanya, wanita jangkung itu hendak kembali berjalan menuju sofanya.
"About him..."
"Aku selalu memimpikan dirinya hampir di setiap malam, Lalisa." Lanjut Jennie yang membuat langkah Lalisa terhenti, dia akhirnya kembali menoleh ke arah Jennie lalu dengan hati-hati dia duduk di tepi ranjang.
"I know.. aku tahu itu pasti sangat berat dalam hidupmu, kehilangan seseorang yang kita cintai memang sangat tidak mudah, karena aku juga pernah merasakan itu." Kata Lalisa dengan suara yang lembut dan senyum tipisnya.
"Apa dia juga meninggalkanmu karena Tuhan yang memanggilnya?" Tanya Jennie.
Lalisa menatap Jennie dengan lekat-lekat, kedua matanya terlihat berkaca-kaca, dia menggeleng lemah setelahnya. "Bukan, tetapi.. dia pergi tanpa kabar dan melupakanku begitu saja." Jawab Lalisa dengan hembusan napas yang samar.
Jennie menyeringitkan dahinya. "Kau sudah mencoba mencarinya?"
"Sudah, tetapi.. dia sudah menikah dan hidup bahagia bersama seseorang pilihannya, ntahlah, mungkin memang saat itu aku bukanlah pilihannya." Balas Lalisa dengan senyum getirnya.
Jennie menatap wajah Lalisa, untuk pertama kalinya tatapan itu berubah menjadi tatapan iba.
"Tidak perlu mengasihaniku, Jennie. Aku sudah baik-baik saja." Sambungnya dan Jennie segera mengalihkan kembali pandangannya."Aku tidak mengasihanimu." Elaknya sambil berdeham di akhir dan membuat Lalisa terkekeh, dia berdiri dari ranjangnya.
"Kalau begitu, kau bisa lanjut tidur lagi, aku juga akan lanjut tidur karena aku harus bekerja besok pagi."
"L-lalisa..."
"Hm?"
"B-bisakah kau tidur di sebelahku untuk malam ini?"
Lalisa terdiam menatap Jennie, ia memberikan tatapan herannya. "Wae?"
"A-aku hanya.. aku hanya tidak ingin mimpi buruk lagi..."
"Ahh, tetapi.. kalau kau tidak mau tidak apa-apa, kau bisa kembali ke sofa...," ucapan Jennie terhenti karena Lalisa sudah berbaring begitu saja di sisinya dan memejamkan kedua matanya.
"Good night, J."
Jennie terdiam, tenggorokannya naik turun dengan lembat. "J-j?" Gumam Jennie dengan suara yang tertahan.
Lalisa tidak menjawabnya lagi, dia sudah memejamkan kedua matanya dan berpindah ke alam mimpinya.
•••