04 Distrik Hutan Hujan

34 13 0
                                    

Bintang Sol mulai beranjak naik, cahayanya menembus celah-celah hutan yang rimbun. Hujan rintik masih terdengar menetes ke daun-daun pepohonan. Lebatnya pepohonan menjadikan air hujan tertahan, kadang juga terjun bersama kalau ada angin bertiup.

Jalanan dari batu yang disusun rapi menjadi jalan utama menuju SMA Hutan Hujan. Pastinya bebatuan yang anti licin yang menjadi penyusunnya. Jarak sekolah dengan rumahku kira-kira 15 menit berjalan kaki. Cara yang cukup kuno untuk pergi kesekolah.

Di Distrik Hutan Hujan, kebanyakan warga berpergian dengan Mesin Pemindah. Bentuknya ruangan kotak kecil yang muat 1-2 orang, di dalamnya ada semacam tombol-tombol yang fungsinya untuk memilih mesin pemindah tujuan. Alat itu mempermudah penduduk Distrik Hutan Hujan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Mengingat Distrik tempat ku dibesarkan ini selalu diterpa hujan setiap harinya dan orang cenderung malas untuk berjalan.

Mesin Pemindah atau yang biasa disebut Ruang Teleport itu alat paling tepat jika digunakan di tempat seperti ini karena menghindarkan penggunanya dari hujan. Tapi biaya untuk menggunakan mesin pemindah tidaklah murah, cukup untuk menghabiskan uang sakuku selama satu hari untuk sekali pindah.

Toh tidak ada ruginya bagiku jika aku berjalan kaki. Justru tubuhku lebih sehat dan mataku bisa kesana kemari menikmati rapatnnya pepohonan di Distrik Hutan Hujan.

Di sepanjang jalan bebatuan ini banyak hewan-hewan unik berkeliaran. Mulai dari hewan melata, mamalia, hingga burung sering berlalu lalang di rapatnya hutan. Pastinya semua hewan di Distrik Hutan Hujan tahan dengan curah hujan yang cukup tinggi. Mereka sudah berevolusi dan beradaptasi dengan iklim distrik yang sepanjang tahunnya dihiasi dengan jutaan tetes hujan yang terjun dari langit.

Beberapa monyet berkulit putih berloncatan kesana kemari, bergelantungan di cabang-cabang pohon. Tinggi mereka hampir setengah manusia normal. Mereka hewan yang selalu berkelompok. Tepat di atasku ada seekor induk kera yang sedang menyusui anak-anaknya. Kera Putih bukan hewan pengganggu sama seperti hampir keseluruhan hewan yang ada di dalam hutan, mereka jinak dan bersahabat dengan manusia.

Di Kerajaan Rimba Selatan ekosistem masih sangat terjaga, rantai makanan tetap stabil dan berimbang, isi hutan ini sudah cukup untuk mengisi kebutuhan perut-perut singa yang saat ini sedang meringkuk di dalam goa.

Para kera juga masih terbiasa mencari makanan bukan meminta seperti yang telah aku baca dari buku sejarah "kera di Bumi terlalu manja dengan kehidupannya yang selalu diberi makan oleh manusia" akhirnya para kera di Bumi itu bersikap seenaknya dan makin lama makin mengganggu manusia. Oleh karena itu kami penduduk Kerajaan Rimba Selatan tidak ingin mengulangi apa yang telah menjadi kegagalan pendahulu kami sewaktu di Bumi.

Sudah lima menit aku berjalan menyusuri hutan ini dan gerimis masih saja setia menemani perjalananku. Tentunya dengan beberapa kawanan Kera Putih yang masih asyik melompat kesana kemari. Beberapa singa juga tampak malu dengan kehadiranku. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di dalam goa-goa kecil. Kadangkala ketika malam tiba, mata mereka sering mengagetkan para manusia, bulat dan bersinar diantara gelapnya malam.

Pepohonan yang cukup tinggi membuat para burung bersarang dengan damai. Burung-burung dengan aneka warna itu membuat sarang di celah-celah pepohonan. Strategi yang cukup ampuh buat menghadapi derasnya hujan Distrik Hutan Hujan.

Di Kerajaan Rimba Selatan memang masih penuh dengan banyak hutan meskipun di distrik-distrik maju sekalipun. Kerajaan tidak ingin mengulang kejadian dua belas abad yang lalu. Manusia harus pindah dari Planet Bumi dan menetap di Planet Risawa ini karena kebodohannya. Eksploitasi Alam, Penggundulan Hutan dan Ekspansi Industri penuh polusi juga turut serta merusak seluruh ekosistem yang ada di Bumi. Alhasil, kehancuran planet tidak dapat terhindarkan lagi.

Kakiku sudah merasakan sedikit pegal. Sepertinya beberapa butir keringat sudah menghiasi kulit hitam di balik pakaianku. Berhenti sejenak juga bukan hal yang buruk.

Oh iya, aku baru ingat bahwa Distrik Hutan Hujan juga salah satu distrik penyumbang energi bagi Kerajaan Rimba Selatan. Beberapa meter di depan ku ada sedikit ruang terbuka. Tidak terlalu luas tapi nampak mencolok diantara rapatnya pepohonan yang mengitarinya. Aku rasa cukup sudah waktu buat melemaskan kaki. Sudah tiga minggu aku tidak melihat tempat itu.

"Pagi Ran" seorang wanita penjaga Pos Pantau Energi (PPE) menyapaku. Bajunya berwarna hijau gelap, bersepatu Be khusus Tim Energi pastinya, meskipun kakinya tersembunyi dibalik tembok pos jaganya. Dia wanita yang cukup ramah untuk seorang penjaga PPE.

"Pagi juga Rin, lama ga ketemu" aku tersenyum ke arahnya sambil melanjutkan langkahku. Cahaya Bintang Sol lebih terang dari sebelumnya, wajar saja ini tempat terbuka meskipun tetap saja awan-awan masih sering menutupinya.

"Iya Ran, sepertinya sudah berminggu-minggu ini kamu tidak melintasi PPE" wanita itu melanjutkan percakapan kami.

Di Kerajaan Rimba Selatan, kami biasa memanggil seorang laki-laki dengan sebutan Ran dan perempuan dengan sebutan Rin. Anak-anak, remaja, bahkan orang tua bisa saja dipanggil Rin atau Ran, biasanya diucapkan kepada orang-orang yang tidak cukup dekat dengan maksud menghormati orang tersebut.

"Kemarin libur sekolah Rin, jadi ga pernah lewat sini deh" aku masi melangkah sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Oh iya, sekarang semester baru ya. Semangat sekolah Ran" wanita penjaga PPE itu melambaikan tangannya sambil tersenyum.

"Terima Kasih Rin" aku membalas senyuman itu.

PPE, bangunan kubus itu selalu ada di setiap titik-titik Pengambilan Energi. Tidak hanya di jalan yang menghubungkan rumahku dengan SMA Hutan Hujan. Hampir setiap jalan di Distrik Hutan Hujan selalu terdapat bangunan kubus itu. Pastinya lengkap dengan bangunan Pengambilan Energi yang berada di sekelilingnya.

Kini aku berdiri di tengah wilayah Pengambilan Energi. Di sini rintik hujan lebih terasa karena wilayah ini sangat terbuka. Hujan yang tadinya terhalang dedaunan pohon kini terjun bebas ke tanah dan Jaket Anti Hujanku. Beberapa tiang-tiang menjulang tinggi ke langit. Mungkin ada 15 tiang di wilayah Pengambilan Energi itu.

Tiang-tiang inilah yang menjadi alasan adanya PPE. Tingginya mungkin 100 meter, berwarna hijau muda dengan bentuk puncak yang cukup unik. Bentuknya seperti corong sangat besar. Bentuk seperti itu bukan tanpa alasan. Kalau kata Guru Mata Pelajaran Energi Hijau, corong itu adalah tadah hujan yang bertujuan mengumpulkan dan memusatkan air hujan untuk mendapatkan aliran air yang sangat deras. Dengan adanya gaya gravitasi, aliran itu menjadi sangat kuat dan cukup untuk diambil energinya. Bisa dibilang, semakin deras hujan di Distrik Hutan Hujan, semakin banyak pasokan energi yang terkumpul.

RisawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang