08 Batu Tulis Nadpis

21 9 1
                                    

"Sarapannya sudah siap Sina...Ayah..." itu suara ibuku dari dapur. Ini hari ke duaku di semester kedua. Aku telah siap untuk menghadapi hari ini, seragam Hijau Muda dengan garis Merah sudah terpasang rapi.

"Iya bu..." aku melangkah menuju pintu kamarku dengan membawa ransel abu-abu yang sudah ku siapkan sejak tadi malam.

Pagi ini hujan deras, suaranya sudah cukup membisingkan telinga dan membuat seisi rumah bangun lebih awal. Hujan menggantikan alarmku yang berisik untuk membangunkanku. Terlihat dari jendela rumahku langit meneteskan ribuan air dan mengirim beberapa guntur yang mengagetkan dibarengi kilatan-kilatan yang menyilaukan mata. Tapi suasana pagi ini cukup menenangkan meskipun di luar hujan turun tak tahu sampai kapan. Suara tetes air yang jatuh ke tanah meresonansi ingatan-ingatan di masa lalu.

Aku jadi ingat saat aku masih duduk di bangku SMP. Saat itu, temanku tidaklah banyak, mereka juga bukan siswa-siswa berbakat seperti di SMA Hutan Hujan. Terhitung hanya ada tiga teman dekat yang aku dapatkan.

Satu hal yang ku ingat, aku memiliki guru yang amat sangat baik. Namanya Mr. Pho, dia guru mata pelajaran Fisika, gaya mengajarnya cukup menarik dan komunikatif. Mr. Pho adalah lelaki yang cukup tinggi, usianya cukup muda mungkin sekitar 35 tahunan, potongan rambutnya bergaya undercut dilengkapi dengan jambang di janggutnya. Dia adalah orang yang selalu bersemangat dan penuh dengan kegembiraan.

Aku tidak pernah bosan ataupun membenci Pelajaran Fisika pada saat itu karena memang Mr. Pho sangat ahli dalam menguasai dan merubah suasana kelas menjadi lebih bersemangat dan tentunya menyenangkan. Dia bisa menjelaskan banyak hal rumit menjadi lebih sederhana. Cukup waktu 10 menit, aku sudah bisa memahami apa yang dimaksud Hukum Newton.

Meskipun fasilitas sekolahnya tidak selengkap dan semutakhir SMA Hutan Hujan. Mr.Pho selalu mampu memperagakan banyak fenomena fisika dengan begitu sederhana dan tentunya dengan alat atau benda yang sederhana pula.

"Sina... ayo segera ke meja makan, jangan melamun pagi-pagi" suara ibu menyadarkanku dari lamunan itu dan melanjutkan langkahku menuju meja makan.

Seperti biasa, aku duduk di sebelah ayah yang sedang membaca koran dan tak lupa rokok yang menempel di sela bibirnya. Hari ini ibu memasak makanan yang cukup membuat perut keroncongan meski hanya mencium aromanya. Ibu hari ini masak Ayam Hutan Lada Hitam, penampakannya sangat menggugah selera, dengan warna hitamnya dan aromanya yang sangat harum.

"Ibu memang selalu bisa membuatku kelaparan tiap pagi" aku langsung mengambil beberapa sendok Ayam Hutan Lada Hitam itu dan meletakannya ke mangkuk putihku yang sudah terisi nasi hangat.

"Kamu ini bisa saja Sina" ibu tersenyum sambil mengambilkan bagian untuk ayah.

"Bagaimana sekolahmu nak?" ayah melipat korannya dan meletakannya di meja yang tidak di isi oleh makanan.

"Baik, berjalan lancar seperti biasanya" aku masih melanjutkan kegiatan mengunyahku sambil sesekali berbicara.

Ayah dan ibu kini juga sudah mulai menyendok makanan yang ada di depan mereka. Sarapan pagi ini sungguh spesial, makan dengan Ayam Hutan Lada Hitam diiringi hutan deras yang sesekali mengirimkan suara guntur.

"Oh iya yah, aku kemarin melihat sesuatu yang tak biasa" aku teringat pada pot yang berisi tanaman yang tiba-tiba hangus menjadi abu.

"Apa itu nak?" ayah mengambil gelasnya yang berisi air putih dengan tangan kanannya lalu meneguknya.

"Kemarin pagi aku melihat sebuah tanaman di depan kelasku yang tiba-tiba berubah jadi abu" aku juga mengambil gelasku yang berisi air putih.

RisawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang