"Planet Risawa, planet ini adalah tempat tinggal kedua manusia setelah Planet Bumi. Tekanan atmosfer Planet Risawa hampir sama dengan tekanan atmosfer Planet Bumi. Hal ini juga yang menjadikan poin penting terpilihnya Planet Risawa sebagai tempat tinggal kita setelah Bumi." Dia adalah Mr. Batang, guru mata pelajaran sejarah. Saat ini dia sedang menjelaskan sejarah perpindahan manusia dari Planet Bumi ke Planet Risawa.
Dia adalah guru dengan gaya mengajar yang sangat disiplin. Tidak pernah ada siswa yang tidak pernah merasakan rasanya diusir dari kelas saat pelajaran ini berlangsung. Mr. Batang tidak segan-segan untuk mengeluarkan siswanya jika siswa itu tidak memperhatikan apa yang dijelaskannya. Bahkan kehilangan sedikit konsentrasi ataupun sedikit mengantuk dapat membuat kami para siswa, bisa ditendang ke luar kelas.
Meskipun rambutnya sudah beruban, tetapi Mr. Batang tidak kehilangan semangat mudanya. Suaranya masih lantang dan terdengar jelas oleh seisi kelas. Tubuhnya yang kurus dan kacamata bundarnya itu adalah ciri khas tersendiri dari Mr. Batang. Kacamata bundar dengan kerangka berukiran rumit berbahan kayu, cukup unik bagi sebuah kacamata.
"Dua belas abad yang lalu, Bumi telah resmi ditinggalkan oleh manusia karena kondisinya yang sudah tidak layak lagi untuk ditinggali." Dengan bantuan Simulasi Kondisi, kelasku tampak seperti padang gersang yang dipenuhi debu dan asap industri. Sejauh mata memandang, berdiri industri-industri dengan cerobong penuh kepulan asap.
"Saat itu ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berkembang pesat. Banyak industri di bumi memproduksi masal barang-barang yang menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembakaran hutan adalah hal yang sudah biasa. Banyaknya lahan baru selalu selaras dengan naiknya polusi udara akibat pembakaran hutan." Simulasi Kondisi menunjukan gejala-gejala alam yang tidak wajar. Mulai dari volume air laut semakin lama semakin meningkat, gunung es yang mencair dan badai dahsyat di banyak wilayah.
"Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi di bumi semakin maju, tidak membuat masyarakat luas menjadi lebih sejahtera. Setiap tahunnya ribuan manusia tumbang. Kelaparan merajalela, kesenjangan sosial semakin terlihat dan yang paling parah adalah Perang" simulasi kondisi kembali menampilkan hal yang berbeda. Suasana kelas terlihat semakin mencekam. Misil-misil berukuran raksasa di tembakkan ke udara. Roket yang dapat menghancurkan negara itu memelesat berkali-kali. Kekuatannya yang sangat besar makin mempercepat kehancuran bumi. Negeri-negeri besar hancur tanpa sisa. Efek radiasinya juga menjadikan kecacatan permanen bagi bayi-bayi dalam kandungan ibu yang tinggal di wilayah peperangan. Mereka lahir dan tidak berumur panjang, mungkin hanya dapat hidup dua sampai tiga tahun saja.
"Tidak ada yang tersisa setelah perang kehancuran atau yang kini dicatat sebagai Apocalypse War" Mr. Batang melanjutkan penjelasannya.
"Ini terlalu kejam" seorang gadis berambut pirang berbisik padaku, Gita namanya. Iya dia yang tadi pagi menjadi bahan guyonan ayah dan ibuku.
"Sepakat" aku menjawab singkat. Ini adalah pelajaran Mr. Batang, aku tidak mau ditendang ke luar kelas kalau ketahuan bisik-bisik.
"Aku rasa, orang-orang itu tidak waras" dia kembali berbisik padaku. Jemarinya menunjuk para tentara yang sedang meluncurkan rudal lintas benua.
"Ssst... ini pelajaran Mr. Batang Git" aku melirik tajam ke arahnya.
"Ups..." Gita menutup mulut dengan kedua tangannya. Mata birunya terbuka lebar, gadis hyper aktif itu sepertinya terlalu terbawa suasana, sampai lupa kalau ini mata pelajaran Mr. Batang.
"Manusia yang tersisa paska Apocalypse terpaksa harus segera mencari alternatif untuk tetap dapat melanjutkan hidup. Cuma satu persen dari keseluruhan manusia yang tertinggal setelah perang kehancuran. Para petinggi negara menggelar rapat internasional. Para ilmuan bekerja keras menyempurnakan pesawat pelipat ruang." Lagi-lagi Simulasi Kondisi memperlihatkan sesuatu yang berbeda. Pesawat dengan ukuran yang sangat besar dengan kepala pesawat yang seruncing paruh burung. Beberapa robot hilir mudik di sekitarnya, beberapa memancarkan laser merah untuk menyempurnakan bentuk pesawat super besar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Risawa
FantasyNamaku Sina Rimba, aku adalah siswa kelas sepuluh di SMA Hutan Hujan. Aku termasuk orang yang beruntung dapat bersekolah di sana. Namun, aku bukanlah seorang yang spesial ataupun bergengsi seperti kebanyakan siswa lainnya, aku hanyalah seorang anak...