Kantin sekolahku terletak di belakang sekolah. Dari kelasku, aku hanya perlu melewati lorong kelas hingga ke ujung lorong lalu berbelok ke kanan.
Kantin SMA Hutan Hujan ini cukup luas serta memiliki banyak pilihan makanan dan minuman. Bentuknya memanjang dan dipenuhi oleh banyak stan makanan dan minuman. Meja dan kursi di sini lumayan banyak dan cukup untuk menampung seluruh siswa SMA Hutan Hujan yang jumlahnya sekitar 1000 orang.
"Aku duduk sebelah sini ya Git" aku memilih tempat duduk berisi 4 orang yang terletak di pojok kantin, dekat dengan pintu keluar. Kantin sekolahku ini hanya dibatasi oleh kaca-kaca tembus pandang dan di sekelilingnya ada banyak tanaman yang cantik.
"Iya Sina, aku mau beli makanan dulu" Gita melangkah menuju ke stan Bu Wi.
Stan itu menjual aneka masakan khas Jawa, masakan yang kuno sekali dan sudah ada sebelum manusia pindah ke Planet Risawa. Tapi rasanya cukup enak dan menggugah selera. Aku pernah makan salah satunya, namanya Rujak Cingur dan Nasi Pecel. Aku berani bertaruh Gita pasti akan membeli satu dari kedua makanan itu.
Setelah beberapa saat akhirnya Gita kembali ke mejaku dengan membawa Nasi Goreng. Nasi Goreng? Apa aku tidak salah, bukannya stan Bu Wi menjual masakan khas Jawa. Nasi Goreng kan masakan umum tidak kuno tapi tidak juga modern.
"Kenapa Sina, kamu kok kelihatannya bingung?" Gita meletakan makanannya dan menarik kursi.
"Gapapa kok" aku tersenyum lalu membuka kotak makanku.
"Yang bener?" Gita bertanya menyelidik
"Iya Git" aku memandang isi kotak makanku sesekali memandang Nasi Goreng milik Gita.
"Oh Nasi Goreng ya?" Gita berhasil menebak apa yang aku pikirkan. Dia tertawa hingga terlihat gigi-giginya.
"Yah ketahuan deh" aku akhirnya mengaku dan ikut tertawa bersama.
"Itu Nasi Goreng apa sih Git? Yang jual Nasi Goreng kan banyak, tapi ngapain kamu beli di Bu Wi. Padahal yang lain lauknya banyak dan enak-enak" aku bertanya sambil menyendok bekalku yaitu Telur Burung Kecil.
"Lho ini beda Sina, cara masaknya juga beda sama penjual lain" Gita juga sudah menyendok beberapa Nasi Goreng itu.
"Emang apa bedanya?" aku sesekali fokus ke wajah Gita dan sesekali fokus ke makananku.
"Ini namanya Nasi Goreng Jawa, cara masaknya pakai bahan bakar arang bukan kompor cahaya seperti penjual yang lain. Bahan-bahanya juga dari cabai merah dan cabai rawit, bawang merah dan bawang putih yang di proses manual, gak pakai mesin bumbu. Apalagi penyajiannya itu yang paling spesial, alasanya pakai Daun Pisang"
"Itu ga jauh beda sama Nasi Goreng lainnya Git, sama aja" aku masih meneruskan makanku.
"Coba sendiri kalau kamu gak percaya" Gita menyodorkannya Nasi Gorengnya padaku. Ternyata alasnya memang Daun Pisang yang diletakan di atas piring putih. Aromanya sedikit menggodaku untuk mencobanya.
"Sini biar aku coba" akhirnya aku mencobanya.
Dengan sendoku aku mengambil setengah sendok Nasi Goreng itu. Gita memperhatikanku yang sedang menyendok. Ku masukkan sendok yang setengah terisi oleh Nasi Goreng Gita ke dalam mulutku. Raut wajah Gita berubah, dia seperti orang yang menahan tawanya.
"Hah...hah...hah... AIR...MANA AIR" aku berteriak-teriak kepedasan dan Gita tertawa terbahak-bahak. Ternyata Nasi Goreng itu pedas sekali.
"Nih air" Gita meyodorkan air putih kepadaku."Enak kan? Apa aku bilang hahahaha" Gita mengerjai aku dengan Nasi Goreng ini.
"Apanya yang enak? Pedes iya. Iya kalau kamu suka pedes" aku melanjutkan minumku yang mendadak sangat cepat.
"Ini namanya Nasi Goreng Jawa khas Surabaya Sina, rasanya emang gini. Biasanya disebut Nasi Goreng Jancuk" Gita masi melanjutkan tawanya yang sedikit mereda itu.
"Oh emang Jancuk..." aku tahu itu kata-kata yang paling pas untuk menggambarkan sensasi yang ku rasakan.
"Jancuk..." hampir saja aku menyemprotkan air yang memenuhi mulutku. Suara apa lagi ini?
"Pelan-pelan sina" Gita masih konsisten dengan gelak tawanya. Sementara itu aku menoleh kesana-kemari mencari sumber suara itu.
"Sina... aku di sini... makan aku lagi..." suara itu terdengar lagi. Hampir saja aku menendang meja kantin dengan lututku. Mendadak darah dalam tubuhku mengalir deras dan detak jantung meningkat dengan sangat cepat.
"Hei hei ada apa Sina?" Aku tak menghiraukan pertanyaan Gita dan masih terus meneguk air putih. Makanan pedas ini membuatku sedikit tidak waras. Tidak mungkin sepiring nasi goreng bisa bicara.
***
"Kringg..." bel masuk kelas berbunyi mengakhiri waktu istirahatku bersama Gita. Aku dan Gita sudah sedari tadi menghabiskan makanan kita masing-masing.
Aku sudah tidak lagi kepedasan, setelah meneguk 1 liter air putih tadi. Tidak habis pikir dengan Gita, dia kuat sekali menahan pedas dan tidak minum sama sekali. Mungkin dia memang suka makanan pedas.
"Ayo kembali ke kelas, Sina" wajahnya tampak tidak bersalah setelah tadi mengerjai aku dengan Nasi Goreng Jancuknya.
"Okee..." aku mengambil kotak makanku yang sudah kosong dan membawanya dengan tangan kananku.
Aku dan Gita kini telah berdiri dan melangkah menuju pintu keluar kantin. Langit Distrik Hutan Hujan masih meneteskan sedikit rintik-rintik hujan dan membasahi tanaman-tanaman di sekeliling kaca kantin.
"Git..." aku memanggil Gita yang berjalan di sebelah kananku.
"Iya?" dia menoleh ke arah kiri dan membuat rambut pirang yang dikuncir itu terkibas ke kanan.
"Kamu tahu yang Namanya Chi?" aku masih meneruskan langkahku menyusuri lorong kantin menuju kelas.
"Chi? Aku gak tahu Sina, apa itu nama orang?"
"Aku juga ga tau, makanya aku tanya. Kapan hari ada berita penemuan batu tulis Nadpis. Katanya sih batu itu jelasin soal Chi"
"Oh yang ramai minggu lalu itu ya?"
"Iya"
"Tapi tetep aja aku gatau Chi itu apa" Gita menjawabnya sambil sediki meringis. Memang cewe cantik itu kebanyakan suka bikin kesal.
"Sudahlah lupakan saja" kami sudah melewati belokan lorong dan sedikit lagi sampai ke kelas.
Seketika aku teringat dengan pot tadi. Aku ingin memeriksanya sekali lagi dengan lebih jelas. Sungguh aneh jika sebuah pot berisikan tanaman pada pagi hari tiba-tiba berubah menjadi abu 2 jam kemudian. Aku telah dekat dengan pintu kelas. Pot itu ternyata sudah tidak ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Risawa
خيال (فانتازيا)Namaku Sina Rimba, aku adalah siswa kelas sepuluh di SMA Hutan Hujan. Aku termasuk orang yang beruntung dapat bersekolah di sana. Namun, aku bukanlah seorang yang spesial ataupun bergengsi seperti kebanyakan siswa lainnya, aku hanyalah seorang anak...