Gita bersemangat menuju kantin, berjalan di depanku sambil sesekali menjinjitkan kaki riang gembira. Rambut pirang bergelombang itu bergerak-gerak mengikuti langkahnya. Aku tidak tahu kenapa dia begitu senang hari ini, semua siswa dan siswi disapa olehnya. Dari balik punggungnya aku tahu kalau dia sedang tersenyum lebar sembari mengayunkan tangannya.
"Kenapa kamu hari ini? Kok kelihatannya girang banget." Aku berjalan santai di belakangnya sembari mengayunkan kotak makanku dengan malas. Ini hari yang melelahkan bagiku, tapi sepertinya tidak bagi Gita.
"Hmm kasih tau ga ya?" Dia tiba-tiba meloncat kebelakang menghadapku. Telunjuknya memegang ujung bibirnya dibarengi matanya yang melirik entah kemana. Ku pikir-pikir Gita cukup menjengkelkan untuk ukuran seorang siswi cantik.
"Terserahmu Git." Aku melanjutkan langkah malasku dan memalingkan pandangan ke tanaman-tanaman di sekitar lorong mengabaikan Gita. Sesaat aku melupakan kejadian mengerikan tadi pagi ketika Miss. Halina dengan semangat menjelaskan pelajaran kimia. Tapi kini Kejadian tadi pagi datang lagi menghantui benakku. Tidak tanggung-tanggung, dua kejadian mengejutkan sekaligus mengerikan. Penyerangan yang disiarkan langsung di layar kaca dan seekor Singa yang bisa bicara.
"Yah ngambek Si Sina," katanya sambil menghampiriku.
"Ini hari yang buruk bagiku Git." Masih melanjutkan langkah malasku menuju kantin.
"Kenapa?" Air mukanya tiba-tiba berubah. Mendadak Gita memasang wajah berempati kepadaku.
"Aku ceritakanpun kamu ga mungkin percaya dan omong-omong pertanyaan ku tadi belum dijawab," Ucapku.
"Jadi ga enak aku ceritanya, kamu lagi Bad Day. Tapi sebagai sahabat yang baik akan kuceritakan. Jadi, Ayahku nanti malam pulang..." Gita tersenyum lebar menatapku. Aku balas senyum padanya.
"Oh iya?" Aku masih berusaha keras membangun kembali moodku yang cukup buruk. Mendengar kabar itu aku jadi cukup lega mengingat Gita sudah berbulan-bulan ini tidak bertemu ayahnya. Aku jadi bisa memaklumi kenapa dia bisa sebahagia itu hari ini.
"Iya, tadi pagi aku ditelfon olehnya," ucap Gita.
"Syukurlah, semoga perjalannya lancar." Kami sudah sampai di kantin sekolah kami. Bau makanan lezat hilir mudik menuju hidungku. Para pedagang sibuk kesana kemari menyiapkan makanan.
"Semoga saja." Saat ini Gita berjalan di sampingku, matanya mengamati kantin mencari tempat duduk. Begitu juga aku, tanganku sudah berhenti mengayunkan kotak makan dan mulai mencari tempat duduk. "Di sana aja Sina." Gita menunjuk meja dengan empat kursi di pinggir kaca.
"Oke." Dia telah lebih dulu melangkah menuju meja itu. Di susul dengan langkahku yang semakin cepat.
"Bawa bekal apa hari ini?" ia bertanya sembari membuka gawainya.
"Seperti biasanya" aroma lezat merambat cepat menuju kami. Terlihat butir-butir telur kecil yang dibalut oleh menggodanya saus lada hitam. Tanpa meletakkan gawainya Gita meliriknya dengan penasaran.
"Sina dan Telur Burung Kecil, dua hal yang tidak bisa dipisahkan" ia kembali menatap gawainya. Butir-butir air hujan masih menghujam tanah menyuburkan para tanaman. Duduk di pinggir kaca memang bukan pilihan yang salah untuk menikmati indahnya hujan yang disertai guntur bersama lezatnya Telur Burung Kecil.
"Kamu tidak makan?" suapan pertama telah mendarat lancar di mulutku. Sementara itu Gita masih sibuk dengan gawai di tangannya.
"Sebentar" raut wajahnya tiba-tiba berubah. Dia mengerutkan dahi dan menatap gawai lebih dekat. Tangan yang lain mengetuk-ketuk meja.
"Kamu ngeliat apa sih kok serius banget?" sembari menguyah aku melontarkan pertanyaan tersebut. Sesekali aku mengusap dahiku yang berkeringat karena pedasnya lada hitam yang menyerang lidahku, ya meskipun itu tidak sepedas Nasi Goreng Jancuk yang kemarin Gita pesan.
"Ada berita besar." Tangannya menari lincah di atas gawai mengetik huruf dan kata. Zoom out, Zoom in itu yang ia lakukan. Entah apa yang dilihat.
"Berita apa?" kata 'berita' kembali membawaku mengingat kejadian tadi pagi. Sial, ingatan itu terus menerus mengganggu ku.
"Ada penyerangan tadi pagi." Benar apa yang aku pikirkan pasti berita itu yang dimaksud. Memang harusnya berita tadi pagi bukan hal yang hanya diketahui beberapa orang. Penyiaran yang menampakkan kebengisan kelompok berbaju warna-warni pastinya ditonton oleh ribuan orang di seluruh penjuru Kerajaan Rimba Selatan.
"Kelompok warna-warni ya?" Aku menanggapinya dengan malas. Jari-jemariku masih memainkan sumpit yang telah dibalut lada hitam. Mataku masih fokus pada kotak makanku tak mau semakin dalam membahas hal tersebut.
"Iya 'sekumpulan orang berkostum warna-warni menyerang tempat penemuan Batu Tulis Nadpis, penyerangan tersebut menewaskan 19 arkeolog dan menyebabkan hilangnya Batu Tulis Nadpis'." Gita membacakan berita yang ditampilkan oleh gawainya. Jempolnya bergerak mengusap gawai keatas dan kebawah. Sepertinya dia mencari sesuatu.
Aku tidak menanggapinya dan melanjutkan makan. Meskipun aku juga terkejut ketika Gita membacakan kalau ada 19 arkeolog yang tumbang ketika penyerangan tersebut. Kejadian yang sangat tragis.
"Hei kok diem aja?!" Gita sedikit meninggikan suara karena tidak ada respon dariku. Matanya menatap tajam ke arahku. Dengan sedikit mengerutkan dahi, tangannya manarik tanganku. Seketika kegiatanku menyantap Telur Burung Kecil terhenti "Apa berita ini yang bikin kamu ngomong kalau hari ini hari yang buruk."
"Tidak hanya itu," jawabku singkat.
"Tidak hanya itu?" Gita mencengkram tanganku memaksa agar aku menceritakannya.
"Sudahlah Git kamu ga akan pernah percaya"
"Iya kamu tidak akan percaya Git" mendadak terdengar suara yang bukan berasal dari kami berdua. Aku mengenal suara ini, tidak asing. Kami berdua seketika menoleh menuju sumber suara. "Boleh aku duduk di sini?" Nampak jelas kepala botak yang disertai mata sayu yang menggambarkan kemalasan, itu Agni.
"E—"
"Terima Kasih" tanpa mendengarkan jawabanku, Agni langsung duduk di salah satu kursi.
"Tumben ka—"
"Ke kantin? Iya, aku bosan makan di kelas. Butuh suasana baru." Agni membuka kotak makannya dan langsung menyantapnya. Anak ini suka sekali memotong pembicaraan orang. Dan lagi, apa-apaan duduk di tengah orang yang sedang berdebat. "Lho lanjutkan Git pembicaraanmu dengan Si Roti Hitam. Jangan biarkan aku mengganggu pembicaraan kalian" padahal jelas-jelas dia mengganggu pembicaraan kami. Meskipun di sisi lain aku sedikit senang karena dia menghentikan Gita.
"Sudahlah lupakan saja, aku mau beli makan dulu" Gita berdiri kemudian melangkah menjauh. Meninggalkan Agni dan Aku di meja dengan empat kursi ini.
Gita menghilang di telan ramainya siswa yang berlalu lalang. Meja ini mendadak hening, tidak ada satu katapun yang kemudian Agni ucapkan. Hanya suara sendok yang beradu dengan kotak makan dan suara mulut yang mengunyah. Akupun juga tidak tahu apa yang harus dikatakan, satu meja dengan Agni adalah hal yang tidak pernah aku pikirkan.
Meja-meja di sekitar kami dihiasi banyak obrolan. Mulai dari hal-hal yang serius hingga lelucon konyol para siswa melintas ke telingaku. Tak lupa suara hujan deras yang diiringi guntur. Beberapa menit ini akan menjadi waktu paling canggung yang pernah kurasakan, meskipun sepertinya tidak bagi Agni. Ku rasa dia hanya tidak sedang ingin bicara denganku.
"Diem-dieman aja nih?" Gita kembali dengan membawa Nasi Goreng. Dia memasang wajah meringis, mengekspresikan kejahilannya. Sontak aku menepuk kepalaku. Pastinya itu Nasi Goreng Jancuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Risawa
FantasíaNamaku Sina Rimba, aku adalah siswa kelas sepuluh di SMA Hutan Hujan. Aku termasuk orang yang beruntung dapat bersekolah di sana. Namun, aku bukanlah seorang yang spesial ataupun bergengsi seperti kebanyakan siswa lainnya, aku hanyalah seorang anak...