4/4

284 57 22
                                    


Beberapa bulan kemudian.

Joanna sudah lulus SMA. Dia tidak mau kuliah seperti Jeffrey karena ingin fokus mengejar passionnya. Yaitu menggambar.

Iya. Joanna suka menggambar. Meski dia hanya pernah ikut sekali lomba. Tidak menang pula.

"Iya, Mama tahu. Kamu suka sekali dengan menggambar. Tapi pendidikan itu penting, Nak. Mama tidak berharap kamu masuk jurusan kedokteran, bisnis atau apalah yang akan mengharuskan kamu berpikir keras. Terserah kamu mau masuk jurusan apa, asal mau lanjut sekolah saja Mama sudah senang."

Joanna duduk di salah satu kursi ruang makan sembari melipat kedua tangan di depan dada. Dia hampir menangis sekarang. Karena terus saja didesak untuk lanjut sekolah. Padahal, dia sudah berencana fokus menggambar setelah lulus SMA.

"Aku tidak mau, Ma! Aku tidak mau berpikir lagi! Otakku tidak sepintar Jeffrey!"

Jeffrey yang sejak tadi menatap Joanna mulai mendengus lirih. Sebab dia jelas merasa tersinggung saat ini. Karena dia memang tidak merasa pintar seperti apa yang telah diucapkan si adik.

"Papa paham, kamu sudah muak belajar. Tapi kamu harus tetap lanjut sekolah, Nak. Perluas pertemanan, supaya kamu dapat pengalaman. Mama dan Papa tidak akan menuntut banyak. Kami tidak akan menuntut kamu masuk jurusan yang susah, apalagi dapat IPK sempurna. Asal kamu mau kuliah saja kami sudah senang. Mau, ya, Sayang? Nanti tinggal pilih mau masuk di mana. Akan Papa usahakan. "

Sandi mengusap kepala Joanna. Karena dia memang benar-benar menyayangi Joanna. Sama seperti Jessica juga.

"Sekali tidak, ya, tidak! Kenapa, sih, kalian terus memaksa? Aku bisa stress kalau kalian terobsesi membuatku kuliah! Kalian mau aku tertekan selama kuliah? Karena aku melakukan hal yang tidak kusuka? Kalian mau aku depresi dan akhirnya bunuh diri juga?"

Joanna menitihkan air mata. Begitu juga dengan Jessica yang kini sudah bangkit dari kursinya. Berniat memeluk Joanna.

"Aku tidak jadi makan!"

Seru Joanna saat Jessica akan mendekat. Dia langsung bangkit dari kursi dan meninggalkan meja makan. Pergi menuju kamar dan menguncinya dari dalam. Membuat orang-orang di ruang makan hanya bisa menarik nafas panjang dan melangsungkan makan malam dengan perasaan bersalah.

"Ini akibatnya kalau dia terlalu dimanja!"

Seru Jeffrey di sela-sela makan malam. Sedangkan Jessica yang masih menangis terus saja mengusap air mata dengan tisu sekarang. Berbeda dengan Sandi yang sudah menyantap sajian makan malam meski harus sedikit dipaksa. Karena pertengkaran tadi jelas membuat nafsu makannya sedikit menguap.

"Bukan dimanja. Apa salah kalau Mama dan Papa memberi perhatian lebih pada Joanna? Dia sudah tidak punya orang tua. Kalau bukan kami yang memberi lebih banyak perhatian, lalu di mana dia bisa dapat kasih sayang? Di kampusmu ada jurusan seni rupa? Bagaimana kalau dia satu kampus denganmu saja? Supaya kamu bisa langsung bantu kalau dia kesulitan. "

Sandi menatap Jeffrey dalam. Sebab dia sedang menunggu jawaban.

"Sudah, Pa. Tidak perlu dipaksa. Biarkan saja Joanna melakukan apa yang yang dia suka. Kalau dipikir-pikir, Mama lebih suka dia tetap hidup meskipun tidak kuliah daripada melihat dia depresi dan meninggal."

Jeffrey hanya menarik nafas panjang. Lalu lanjut makan. Sebab dia memang tidak bisa banyak komentar. Karena ini adalah hidup Joanna. Dia yang berhak menentukan ingin mengambil jalan mana.

Mereka sebagai orang tua hanya bertugas mengarahkan saja. Mau Joanna bisa menerima arahan atau tidak itu terserah. Karena yang menjalani semuanya Joanna. Bukan dia, apalagi mereka para orang tua.

10. 10 PM

Jeffrey tidak bisa tidur malam ini. Karena dia baru saja minum kopi. Ditambah ada masalah pertengkaran saat makan malam tadi. Semakin over thinking pula dia saat ini.

"Den, Jeffrey? Sedang apa di sini? Mau dibuatkan kopi?"

Tanya Kasih yang baru saja tiba di depan Jeffrey. Dia belum tidur karena harus mencuci. Karena Joanna baru saja menurunkan pakaian yang sudah ditimbun di kamar berhari-hari.

"Boleh. Es kopi seperti biasa, ya?"

"Baik, Den."

Kasih langsung pergi. Namun tidak lama kemudian kembali. Sembari membawa es kopi pesanan Jeffrey. Tidak lupa dengan toples isi kue kering. Sebab dan tahu jika Jeffrey butuh teman lain untuk melengkapi es kopi.

"Terima kasih."

Kasih duduk di samping Jeffrey. Tanpa diminta sama sekali. Karena dia memang sudah cukup dekat dengan pria ini. Meski baru beberapa bulan tinggal di sini.

"Ada yang kamu pikirkan?"

Pertanyaan Kasih membuat Jeffrey mengangguk kecil. Lalu meminum es kopi yang baru saja dibuat tadi. Kemudian menatap kolam renang yang airnya tampak bening. Seolah melambai agar Jeffrey masuki.

"Soal adikmu, ya?"

Lagi-lagi dia mengangguk kecil. Lalu menatap Kasih yang kini hanya tersenyum tipis. Seolah bingung mau berkata apa lagi.

"Andaikan adikku kamu, pasti orang tuaku tidak akan pusing sepertiku."

"Aku juga tidak sebaik itu, Den."

"Kamu jelas lebih baik dari Joanna. Dia jadi kurang ajar karena terlalu sering dimanja. Sampai-sampai menjadi pembangkang dan melawan orang tua. Padahal jelas-jelas kami melakukan ini semua untuk kebaikannya. Tapi dia malah memberontak."

Jeffrey menarik nafas panjang. Menatap Kasih lekat-lekat. Ada sedikit rasa iba di hatinya. Saat mengingat kisah hidup Kasih yang tidak seberuntung dirinya, apalagi Joanna.

"Kalian seumuran, kan? Kalian juga sama-sama sudah tidak memiliki orang tua. Tapi Joanna sedikit beruntung karena ada orang tuaku yang mengangkatnya sebagai anak. Sedangkan kamu, harus berjuang sendirian dan bekerja di sela-sela kegiatan belajar. Kamu bahkan dapat peringkat satu di sekolah. Sedangkan Joanna, sepuluh besar saja tidak masuk. Benar-benar anak itu!"

Kasih tersenyum tipis. Dia senang sekali. Karena Jeffrey memujinya saat ini. Meski sebelumnya dia sempat merasa sedih. Sebab beasiswa untuk kuliah dirinya berencana tidak diambil. Karena Sumi melarang karena mengatakan jika dia akan dinikahkan saja setelah imi.

"Kenapa wajahmu berubah murung? Ada masalah juga? Di Sekolah, tidak ada yang mengganggu, kan? Atau justru Joanna yang mengusikmu, iya?"

Tanya Jeffrey khawatir. Sebab Kasih memang sekolah di SMA tempat Joanna sekolah saat ini. Tidak heran jika dia menjadikan gadis itu sebagai pembanding.

"Bukan, Den. Ada masalah lain."

"Apa?"

Kasih akhirnya menceritakan apa yang terjadi padanya. Tentang Sumi yang melarangnya kuliah karena akan dinikahkan. Membuat Jeffrey tampak geram dan berniat mengatakan hal ini pada orang tuanya. Karena pasti mereka akan membantu Kasih yang sedang butuh uluran tangan.

Di lain tempat, Joanna sedang menangis di kamar. Dia menangis sembari menggambar menggunakan krayon di atas buku gambar. Hingga tetesan air mata menetes dan merusak kertas.

Brak...

Joanna melempar buku gambar ke sembarang arah. Dia marah karena orang tuanya tidak bisa mengerti dirinya. Membuat gadis ini merasa tidak lagi didengar. Merasa tidak lagi disayang karena terus saja dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak diinginkan.

"Halo? Boleh aku menginap di tempatmu sekarang? Satu malam saja"

Boleh. Kenapa? Ada apa? Tapi aku tidak bisa jemput, ya? Aku masih di luar kota soalnya. Baru pulang jam dua malam.

"Tidak apa-apa. Nanti aku naik taksi saja. Thank you."

Joanna langsung mematikan panggilan. Lalu meraih tas ransel dan memasukkan beberapa barang. Sebab dia berencana pergi dari rumah. Sebagai ajang protes karena tidak mau menuruti keinginan orang tua.

Kalian jadi sebel apa kasihan sama Joanna?

Tbc...

EVERYTHING TAKES TIME [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang