2

14K 45 0
                                    

Sore berikutnya suamiku kembali dan untuk sebuah alasan yang tidak kupahami dia berdiam diri di rumah selama empat hari penuh. Aku tidak menceritakan rencanaku untuk akhir pekan ini kepadanya. Diam-diam aku mengatur janji dengan adikku, Maddie, untuk menjemput Jason dan Char untuk menginap bersamanya di rumahnya yang berada cukup jauh pada hari Jumat sepulang sekolah. Kubilang padanya untuk tetap merahasiakan semuanya, sekalipun aku tidak mengatakan alasannya sama sekali. Tom dan Ben dan aku bersekutu sepanjang minggu dalam urusan makanan, anggur, permainan, dan perlengkapan penting selama perjalanan besar kami untuk berakhir pekan di danau. Aku tidak punya alasan untuk merasa aneh untuk tindakanku ini karena kami hanyalah sekelompok teman baik yang menghabiskan waktu bersama, tetapi jauh di dalam diriku, aku berharap sesuatu yang lebih akan terjadi.

Setelah semua berjalan sesuai rencana, aku mengiringi keberangkatan anak-anak ke sekolah pada hari Jumat pagi, melepas kepergian suamiku di bandara dan memberinya kecupan selamat tinggal yang tak ubahnya hanya menjadi sebatas kebiasaan saja, kemudian mengemudi pulang dengan dada berdebar karena semangat. Urusan anak-anak sudah beres dan suamiku pun sudah pergi lagi, aku jadi merasa bebas dari kungkungan semua tugas yang selama ini membatasi ruang gerakku. Yang sesungguhnya terjadi adalah aku merasa amat sangat bergairah sepanjang perjalanan ke rumah dari bandara dan bahkan beberapa kali nyaris berhenti di jalan hanya untuk menyentuh titik kenikmatanku sendiri. Tentu saja aku tidak melakukannya, karena sebenarnya aku menikmati debar tak menentu di dadaku karena gairah ini. Aku merasa berhak untuk merasakannya.

Setibanya di rumah, Tom sudah menambatkan kapalnya pada kait belakang truk dan sudah siap untuk membawa kami pergi. Aku berlomba dengan diriku sendiri, merenggut tas perlengkapan yang sudah benar-benar kupersiapkan dengan sembunyi-sembunyi selama suamiku masih berada di rumah, memeriksa semua jendela dan pintu untuk memastikannya sudah terkunci, lalu nyaris berlari untuk segera bertemu teman-temanku yang sudah menunggu.

Perjalanan ke danau memakan waktu kurang lebih 45 menit dan aku duduk di kursi tembak di antara Tom dan Ben. Aku sudah mengenakan bikini di balik kaus berukuran besar yang tidak mampu menutupi tubuhku dengan baik dan sepanjang waktu aku sangat sadar bahwa diriku telah memperlihatkan kulit kakiku terlalu banyak kepada dua pria jantan ini. Setiap kali Tom mengoper roda gigi truknya, sisi tangannya akan menyeka kaki kiriku dan setiap kali melakukan hal itu dia membuatku semakin bergairah saja. Percakapan di antara kami begitu hidup dan menyenangkan, seakan-akan kami adalah tiga orang remaja yang berteman baik dan melakukan perjalanan untuk menghabiskan akhir pekan hebat bersama.

Ketika kami tiba di danau ternyata untuk melepas kapal Tom ke sana harus dilakukan oleh orang yang ahli di bidangnya. Setelah selesai, aku dan Ben sibuk mengurus perbekalan sementara Tom mengangkat layar dan menyalakan mesin dari dek kapalnya. Setelah kami melemparkan semua pelampung di sisi kapal, Tom mematikan mesin dan mulai menanggalkan seluruh pakaiannya lalu menyisakan hanya celana pendeknya saja. Ben langsung menyesuaikan diri dengan melakukan hal yang sama dan dengan paparan sinar matahari yang hangat ke arahku, aku pun menanggalkan kaus yang kebesaran di tubuhku, menyisakan hanya bikini yang terasa melekat di tubuhku karena hanya menutupi bagian-bagian penting saja. Sekali lagi di bawah bimbingan Tom, kami mengangkat jangkar dan membiarkan kapal berlayar ke sisi danau mana pun sesuai kehendak angin membawanya.

Sungguh menggembirakan bisa berlayar bebas mengelilingi danau yang besar. Tom sesekali memutar arah kapal, menyesuaikan layar lalu menyalakan mesin. Dia terlihat luar biasa menarik dengan bulu dada kepirangan, fisik yang kuat, mata biru yang melenakan, dan senyum yang benar-benar imut. Aku tidak bisa tidak menyadari sebentuk garis melengkung yang berukuran besar di celana pendeknya setiap kali dia mengatur sesuatu di dekatku yang sedang duduk rebah di dek sehingga pangkal pahanya yang tebal itu berada tepat di sisi wajahku. Aku sungguh-sungguh menahan diri untuk tidak menjangkau dan menyentuh bagian yang terus menonjol itu, berusaha menjadi perempuan baik-baik seperti bagaimana selama ini diriku bersikap, mengabaikan dorongan godaan yang dibungkus oleh gairah teramat besar.

Benson, di sisi lain, tampaknya berusaha menjadi sosok yang mengabulkan semua harapanku. Sunscreen? "Boleh, Ben." dan di sanalah dia berdiri dengan sebotol sunscreen, bahkan berbaik hati untuk mengusapkannya di sepanjang punggungku. Dia membawakan kami makanan ringan berupa kacang kupas dengan baluran keju yang kubeli pada sebuah pusat perbelanjaan. Dan akhirnya, setelah kami berlayar selama beberapa jam, dia turun ke bawah untuk mengambil sebotol Chardonnay dan tiga gelas anggur berbahan plastik. "Mari kita mulai kesenangan ini," ucapnya. Aku rasa sebenarnya sejak tadi aku sudah bersenang-senang. Aku sudah merasa di surga.

Ketika sebotol anggur itu akhirnya habis ditenggak dan ditambah setengah botol lagi, akhirnya pelayaran kami harus diakhiri dan kapal mengapung sendirian di tepian danau, kami memutuskan untuk mencari tempat bermalam untuk petang ini dan beristirahat. Tom mengarahkan kapalnya ke sebuah teluk kecil lalu benar-benar mematikan mesin, dia membiarkan jangkar utama tetap menggantung di kapal dan Ben melepas yang lebih kecil. Setelah mereka berdua yakin kapal sudah tertambat dengan aman, Tom berjalan ke arahku dan duduk tepat di sisiku.

"Aku sungguh senang kita bertiga bisa pergi bersama akhir pekan ini," katanya, lalu memberiku pelukan erat. Aku merasakan kenikmatan yang tak tergambarkan dengan kata-kata selama dia memelukku dan aku memeluknya balik, mungkin sedikit lebih lama untuk sekadar disebut pelukan singkat.

Menyadari bahwa aku balas memeluknya terlalu lama, Tom mulai meraba tubuhku dan aku cepat-cepat mendorongnya menjauh lalu berteriak keras, "Yang terakhir adalah telur busuk!" kemudian melompat ke sisi kapal. Tom dan Ben segera menyusulku dan kami pun bersenang-senang dengan saling memercikan air pada satu sama lain, hingga akhirnya aku menyadari bahwa aku baru saja melewati garis batas yang berbahaya. Aku terbayang-bayang betapa nikmatnya tubuh Tom untuk dipeluk dan aku merasa bersalah berada di tempat ini bersama mereka bukannya suamiku sendiri.

Petang itu terasa hangat dan Tom memanggang barbeku di ujung belakang kapal. Sesekali kami berenang lagi, mempersiapkan makan malam, menenggak anggur sesuka hati, mengobrol, dan merasakan bagaimana hari berlalu melalui paparan sinar matahari pada kulit kami. Ini sungguh sebuah sore yang pantas dikenang. Setelah makan malam yang lezat di kapal, Tom turun ke bawah untuk mengambilkanku selimut. Aku masih tidak mengenakan apa pun selain bikiniku yang imut dan udara malam ini mulai terasa sejuk.

Ben ikut menyusul ke bawah dan kembali dengan membawa anggur merah dan tiga gelas anggur asli berbahan kaca. "Oke," ucapnya. "Aku sudah menyimpan botol anggur ini untuk waktu istimewa bahkan sejak sebelum aku melalui perceraian. Ini adalah sebuah Chateau Laffite Rothschild, 1987. Bisa dibilang salah satu anggur terbaik di dunia. Istriku bahkan tidak tahu bahwa aku memiliki ini dan sampai saat ini masih memilikinya. Malam ini kita akan menenggaknya sampai habis dan bersenang-senang!"

DOBELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang