8

4.6K 18 0
                                    

Petangnya, Tom mengumumkan bahwa kami harus mencari tempat di pantai untuk api unggun malam ini, jadi kami pun mulai berlayar ke teluk terdekat di sisi lain danau, mencari pantai indah serta ranting untuk menjadi api unggun. Kami menemukan tempat itu sekitar 5:30, Tom dan Ben melempar jangkar kapal tepat di tepian. Tom berkata bahwa aku sebaiknya memakai sesuatu selama kami mencari kayu api dan setelah aku buru-buru memakai penutup di tubuhku, kami bertiga melompat turun dan berjalan ke tepi dangkal untuk mulai mencari kayu.

Kurang dari setengah jam, kami berhasil mengumpulkan berbagai ukuran kayu sampai menumpuk dan Ben berhasil mengumpulkan cukup banyak batu untuk membuat pembatas api unggun di pantai. Tom kembali naik ke kapal dan membawa tiga kursi lipat, sebotol anggur dan camilan keju beku, buah-buahan, dan berbagai makanan ringan yang sehat lainnya. Aku membuat roti lapis untuk makan siang kami yang terlambat dan kami semua sepakat bahwa itu akan sekalian menjadi makan malam kami. Kami terperangkap di teluk itu lagi tanpa ada kapal lain di sekitar kami.

Ben bekerja keras menyalakan api selama Tom membuka anggur dan aku meletakkan beberapa keju dan roti kering bersama irisan apel. Api mulai meretih ketika kami sudah menghabiskan setengah gelas dari anggur kami masing-masing. Aku sungguh mencintai dua pria ini dan menikmati waktu terbaik dalam hidupku saat ini. Aku mengenal mereka. Aku percaua mereka, dan sekarang aku begitu bergairah karena mereka berdua.

Api mulai menghangatkan kami dan aku cekikikan lalu berkata, "Apa boleh aku membuka bikiniku sekarang?" Mereka berdua langsung berkata boleh dan aku lantas berdiri kemudian membuka atasan bikiniku pelan-pelan, berputar di tempat sehingga mereka bisa mengagumi aku dengan latar senja ditambah terang dari api unggun. "Tidak buruk untuk seorang ibu dua anak berusia 39 tahun, kan?" tanyaku.

"Cantik," kata Ben.

"Menawan," ucap Tom.

Aku berputar sekali lagi lalu duduk kembali untuk merasakan kehangatan dari api unggun di kulit telanjangku. Kuteguk anggur sedikit dan menyuapkan seiris apel ke mulutku. "Ayolah teman-teman, aku tidak akan telanjang sendirian, kan?"

Saat itu juga mereka berdua berdiri untuk melepas kaus melewati kepala dan menanggalkan celana pendek mereka. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuhkan ujung jariku di kelopak bungaku yang mendamba. Siapa yang menyangka di sana akan kutemukan jejak lembap yang terbentuk di tepian mahkota bungaku. Aku melihat Tom menatap lurus ke permukaan air saat dia duduk kembali, mencari jejak kapal lain yang mungkin saja lewat. Setelah puas karena ternyata kami benar-benar sendirian, dia menarik kursinya lebih dekat ke arahku. Ben melakukan hal yang sama di sisi lain.

Kami tertawa selama berbincang, menceritakan hal-hal lucu sembari meminum anggur di gelas masing-masing, memakan camilan, dan menikmati kehangatan dari api unggun. Tidak lama setelah langit gelap gulita, kapal memantulkan kembali cahaya api dan tubuh kami berkilauan di hadapan api unggun. Baik Tom dan Ben beberapa kali mengulurkan tangannya, menyentuh kakiku seolah berusaha menjangkau sesuatu, atau hanya meletakkan telapak tangan mereka di pahaku selama kami berbicara. Itu sangat nyaman. Namun, mesin di antara kakiku mulai menyala. Aku tahu aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk mengulangi apa yang kami lakukan malam kemarin. Rupanya Tom juga merasakan hal yang sama, karena saat kutatap dirinya, kudapati batangnya tegak lurus di pangkal pahanya. Aku menertawainya dan berkata, "Lihat siapa yang terjaga!" dan mengulurkan tangan untuk meremasnya sedikit.

Sesuai harapanku mereka berdua menganggap ini sebagai penanda, dalam sekejap mata tangan mereka menyentuh tubuhku, meraba kedua kakiku, perutku, dan dua bulatan dadaku. Sesuai harapanku juga mereka tampaknya sudah lebih dari siap seperti aku untuk sesi dari percintaan panas berikutnya. Aku menyandarkan tubuh di kursi santai dan mendesah ketika merasakan empat tangan mulai menjelajahi tubuh telanjangku di hadapan api unggun. Kali ini Ben yang pertama kali menyentuhku di sana, menjentikkan ujung jarinya di sepanjang sisi kiri kelopakku. Tangan itu kemudian disusul oleh milik Tom, yang melakukan hal yang sama pada sisi kanan. Mereka membuatku jadi menggila lewat godaan, rabaan ringan, tetapi tetap menjaga jarak dari biji bunga yang berada di puncak dan enggan mencelupkan apa pun ke dalam celahku yang terbuka. Tom lalu memajukan tubuhnya untuk mulai mencium dada kananku, kemdian memindahkan kepalanya sedikit ke arah yang berbeda untuk memberi ruang pada Ben ketika dia ikut mendekat untuk menggigit kecil puting kiriku. Satu orang bertanggung jawab untuk setiap sisi dada dan mereka berdua menunjukan simfoni melalui bibir dan lidah mereka. Salah satu dari mereka akhirnya mulai menyentuh sedikit biji bungaku dengan membuat lingkaran kecil sementara yang lain mulai menyelipkan sesuatu yang terasa seperti dua jari ke celahku. Aku tidak tahu siapa yang melakukan apa dan sesungguhnya aku tidak benar-benar peduli. Aku tenggelam dalam kenikmatan sejak merasakan dua mulut yang berbeda di dadaku, satu pria memanjakan biji bungaku, dan yang lainnya menjelajahi liangku dengan jarinya. Ketika akhirnya aku membuka mata dan melihat percik api unggun menari di atas kepala dua pria itu selama mereka menjilat dan menyesap dadaku yang terasa semakin berat saja.

Aku terus menatap api itu membesar seolah itu adalah gairahku yang terus menerus menggelegak. Siapa pun yang bertugas memuaskan biji bungaku sekarang benar-benar berhasil membangunkannya karena perhatian penuh, menjentiknya dengan ujung jari, kemudian menggosok permukaannya yang sensitif ke atas dan bawah, lalu dari sisi ke sisi. Dua atau bahkan tiga jari kini sedang memompa keluar dan masuk tubuhku. Putingku juga menjadi benar-benar dimanjakan oleh rasa nikmat oleh dua mulut pria itu. Para pria ini, pikirku di dalam kepala, sungguh tahu apa yang seorang wanita harapkan. Tiba-tiba saja satu tangan mulai menjauh, lalu disusul yang lain. Aku aku menatap salah satu dari mereka, lalu berpaling ke yang lain, dalam keadaan nyaris panik. "Tidak... jangan berhenti," aku memohon.

DOBELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang