Kenangan sang Kakek

34 8 2
                                    

Penasaran sama cerita Matahari untuk Adelia part selanjutnya. Yuk langsung baca. Eits, jangan lupa like dan komen. 

===

Adelia melihat ke luar jendela, pemandangan di halaman rumah sang nenek bagian samping selalu membuatnya betah. Dulu, kamar ini adalah kamar kerja kakeknya. Saat membuka jendela, bisa langsung melihat pohon bambu yang berada di samping rumah. Tentu ditambah dengan suara tonggeret atau yang dikenal dengan garengpung yang sangat khas. Ada juga orang-orangan dari pohon pisang yang biasanya dijadikan latihan beladiri oleh mereka.

Di kamar ini, kakeknya selalu bercerita tentang tempat-tempat yang dulu dikunjungi kepada Adel. Bagaimana indahnya Gunung Bromo saat matahari terbit, tingginya Gunung Rinjani saat didaki, juga bagaimana serunya bermain air di sungai dekat dengan tempat camping. Semua itu terpatri dengan jelas di ingatan.

"Ning Adelia Emma, namamu itu memberikan arti yang sangat besar. Kamu harus bisa menjadi seperti namamu, mulia dan kuat. Kemuliaan itu mungkin bisa didapatkan dengan instan karena kamu adalah putri dari pengasuh pesantren. Namun, kekuatan harus didapatkan dengan usahamu sendiri." Pak Rahmat menatap cucu kesayangannya yang masih kecil.

"Adel gak mau mulia dengan cara instan, Kek. Adel ingin mulia dengan cara Adel sendiri. Gimana bisa orang lain memuliakan Adel dan mencintai Adel apa adanya, jika ternyata hanya memuliakan Abah atau Umi?" ucap Adelia yang disambut tawa oleh sang kakek.

Adelia mengusap air matanya perlahan, kenangan sang kakek memang selalu membuatnya rindu. Banyak sekali hal yang kakeknya ajarkan tentang kehidupan dan bagaimana menjalaninya. Sang kakek pula yang mengajarinya menjadi wanita yang kuat. Wanita yang tak bergantung pada lelaki dan berdiri dengan kakinya sendiri.

"Ini bukannya buat laki-laki, ya, Kek?" tanya Adel saat kakaknya mulai mengajari beladiri.

"Wanita juga perlu belajar, Del."

"Umi gak pernah tuh, Kek. Abah juga selalu melarang kalo Adel main perang-perangan. Katanya, itu buat laki-laki. Kalo perempuan itu halus lembut dan lemah gemulai karena nantinya harus menjadi ibu yang baik buat anak-anaknya, buat nerusin pesantren juga" jelas Adel meminta keterangan yang lebih panjang.

"Begini, Nduk. Iya, perempuan itu harus lembut, tapi tetap harus kuat karena ada anak-anak yang perlu untuk dijaga. Mereka lembut untuk mengajarkan bagaimana cinta dan kasih sayang, kuat untuk melindungi."

"Bukankah tugas melindungi itu milik lelaki, Kek?"

"Benar. Namun, bagaimana jika suatu saat seorang ibu tidak lagi memiliki suami? Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. Entah itu pertemuan dan perpisahan. Menjaga diri juga penting, karena saat kamu bisa melindungi diri sendiri, saat itulah kamu bisa melindungi orang lain," ucap sang kakek yang membuat Adel menganggukkan kepala, mengerti.

"Adel." Sebuah suara membuat Adelia menoleh ke arah pintu.'

Bu Aisyah ada di ambang pintu dengan tersenyum, "Boleh Nenek masuk?"

"Masuk aja, Nek. Lagian pintu kamarnya juga gak Adel tutup kok," jawab Adel sambil kembali menatap luar jendela.

"Kangen Kakek, ya?" tanya Bu Aisyah lagi yang dijawab dengan anggukan oleh Adelia. "Nenek juga sering ke kamar ini dan melihat keluar jendela jika mengingat Kakek."

Sebuah tarikan napas terdengar sedih, mengingat sebuah kenangan memang terasa menyakitkan. Apalagi jika orang yang dikenang itu telah pergi. Tak ada lagi yang bisa dijadikan penawar rindu, tak ada lagi yang bisa membuat hidup lebih berwarna.

Adelia langsung memeluk sang nenek saat Bu Aisyah sudah dekat dengan jendela. Pelukan yang selalu dia lakukan pada kakeknya saat mereka tengah berdua membahas tentang alam dan kehidupan. Jika bersama Abah atau Umi, Adelia selalu mendapatkan ilmu agama. Di pesantren pun, ilmu tak jauh berbeda. Namun dengan kakek, semuanya berbeda. Sang kakek yang mengajarinya banyak hal.

"Ning Adelia, kalau tiba-tiba Abah nikahin kamu, kamu gimana?" tanya Bu Aisyah tiba-tiba.

"Hah?" Kepala Adelia langsung mendongak. Memastikan bahwa apa yang didengarnya benar. Namun, sepertinya pendengarannya tidak salah. Sang nenek menatap matanya, hingga pandangan mereka bertemu.

"Kenapa, Ning?" tanya Bu Aisyah dengan tersenyum.

"Kalo beneran Abah nikahin Adel, Adel bakal kabur. Enggak lagi ke rumah Nenek. Pokoknya kabur yang jauh. Jauuuuh banget," jawab Adel dengan wajah yang serius. "Memangnya Adel mau dinikahin, Nek?"

Bu Aisyah segera menggelengkan kepalanya cepat, tak ingin sang cucu tahu jika memang sudah menikah. "Ya udah Nenek pergi dulu ke dapur, siapa tahu udah matang sayurnya."

===

Waduh kalau kalian menjadi Adel gimana nih perasaannya?

Matahari Untuk AdeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang