21.

3.5K 336 20
                                    


..


Di tengah perjalanan Noe menuju Rumah Kholik. Dia melewati taman sepi. Di mana terdapat suara teriakan dari 2 arah.

Noe tak berniat menguping atau mengintip. Dia hanya tanpa sengaja berada di sini dan melihatnya.

Rupanya keponakan Ayahnya, Liam. dan Raga tengah bertukar amarah. Entah apa yang tengah di bahas. Mereka terdengar sangat kacau dan di kuasai segala pikiran buruk.

Dinginnya angin malam mencoba memasuki tubuhnya. "Aduh, takut masuk angin." Batinnya. Jadi Noe segera pergi, dan meninggalkan mereka yang kini terpecah belah.

Sejujurnya, pertengkaran itu bukan hanya sekali dua kali terjadi. Noe sudah sering memergoki keduanya berdebat di area sekolah.

Namun karna Dia tak menginap di asrama, Noe tak terlalu faham apa yang terjadi pada mereka.

Terkecuali 2 malam yang lalu. Noe berniat mengambil buku di dalam asramanya.

Dia harus melihat Liam yang menguasai kamarnya. Menatapnya tajam dan kesal.

"Ngga lo! Ngga keluarga lo! Semuanya bajingan!" Begitulah kira-kira umpatan yang di lemparkan Liam padanya.

Noe lagi-lagi sudah terbiasa dengan semua itu. Jadi dari pada menimbulkan keributan di malam hari. Noe lebih memilih pergi dan mejauh darinya.

Namun alih-alih menjauh. Noe lebih terlihat seperti tengah menjalin kesan buruk pada mereka.

Sehingga saat Noe mulai memberontak. Bukannya segera melepasnya. Mereka memilih untuk mengekangnya.

Noe tak habis pikir. Apa yang ada di pikiran Tiago dan Abraham. Membuat tali yang tadinya hampir terputus kini menjadi sampul yang rumit.

Dalam pikirannya, Dia selalu bertanya. Apa kah pantas Dia mendapatkan perilaku seperti ini? Perilaku yang membebankan segala amarah terhadapnya.

Lagi pula. Apa masih bisa di sebut Ayah, jika perlakuan Abraham padanya lebih kejam dan menjijikan. Bahkan Noe yang bukan korban aslinya. Merasakannya begitu dalam.

Bagaimana bisa? Abraham dengan santai menghadap wajahnya, tanpa tahu malu dan gengsi? Apa Dia tidak punya harga diri?

Raon berdiri di sampingnya. Menatapnya lamat.

"Kapan projectnya bakal di mulai Bos?"

Renungannya terputus. Noe menyenderkan punggungnya pada kursi kerjanya.

Di gedung pencakar langit itu. Noe bergumam.

"Sekarang."

..

Tamparan mendarat di pipinya.

Noe yang sudah menduga akan hal tersebut pun hanya diam tanpa melawan.

Di lihatnya kaca tembus yang memperlihatkan Vera terbaring lemah di ranjang Rumah Sakit.

"Gara-gara Kamu!"

Rini berteriak histeris. Tubuhnya di rengkuh paksa oleh Tiago.

"Kalo Kamu ngga egois beberapa hari lalu! Vera ngga bakal kaya gini!"

Rini histeris. Tiago tak bisa melakukan apa-apa selain menenangkan Istrinya. Noe bertanya-tanya. Mengapa ini bisa terjadi?

Mata tajamnya tak sengaja bertatap dengan Raga. Tatapan aneh itu lagi-lagi di berikan padanya secara cuma-cuma.

Apa hanya Dia yang sadar? Bahwa semua itu terasa menjengkelkan?

Mata yang menatapnya seolah menjijikan itu terpampang nyata. Harusnya Noe sudah mahfum, karna sedari awal sudah memantapkan diri untuk tak terikat dengan mereka.

Dari segi baik, maupun buruk.

Tapi apa bisa di kata jika Dia sudah menginjak lantainya?

Bahkan ketika marmer putih bersih, di injak oleh kaki yang berlumuran darah, akan menjadi bekas merah dan menjadi boomerang di masa depan.

Semua makian di berikan padanya. Minus Irma dan Gahar yang hanya duduk di kursi tanpa mau menatapnya.

Andai saja waktu bisa di rubah. Noe tak ingin bertemu mereka.

Noe tak ingin berada di sini.

Noe tak ingin berada di tubuh ini.

Noe tak ingin berada di dunia ini.

Semuanya terasa begitu menyulitkan sampai nafasnya seolah tertahan di rongga dada.

Salah siapa?

Noe hanya ingin menjauh dari mereka. Lantas kenapa Vera yang bukan siapa-siapanya pergi mencarinya.

Hingga mengakibatkannya bertemu para preman. Dan mengikhlaskan tubuhnya di renggut paksa melayani mereka.

Apa salahnya?

Apa salah Vera?

Noe tidak tahu. Noe tidak paham.

Semuanya rumit. Bahkan saat sebutir air turun dari ujung matanya. Noe mulai sadar.

Itu adalah pertama kalinya Noe dengan tulus, membiarkan kristal air matanya berlinang.

..

Raon menghajarnya membabi buta. Sedangkan Noe menjadi saksi kekejaman Anak buah yang di khusus di pilih olehnya.

Seleksi pemilihan anggota tengah di selenggarakan. Noe yang tengah duduk itu di suguhi kacang almond kesukaannya.

"Stop."

Raon berhenti setelah mendengar perintah. Dia menjulurkan tangannya untuk di gunakannya menopang berat tubuh pria yang terduduk lemas.

"Umur berapa?" Tanya Noe.

Tangannya sibuk menggulir laman tablet yang ada di genggamannya.

"20 tahun, bulan depan."

"Oke, Pass. Berdiri belakang Gue." Ujarnya mengangkat dagu.

Noe kembali fokus pada para kandidat di depannya. "Raon ... masih sanggup?" Tanya Noe.

Melihat Raon yang masih bisa bernafas santai. Pikirnya pria itu masih kuat. Tapi gelenganlah yang Noe terima.

Jadi Dia menyuruh Raon kembali ke tempatnya. "Yohan, kontak semua Tim buat datang kesini. Right away."

Yohan terhenyak di tempat. "Maksudnya Bos?"

"Gue ngga mau ngulang." Yohan menggeleng panik.

"Bos, tapi kan belom ada pemberitahuan. Kalo nanti mereka berontak gimana?" Yohan berujar dengan khawatir.

Noe meliriknya. "Siapapun yang membelot. Lawan gue." Balasnya.

Semua Orang menelan salivanya gugup. Lihatlah. Noe hanyalah Anak kecil di antara mereka.

Bahkan saat pertama kali para kandidat melihatnya, mereka mengira Anak itu adalah putra dari si pemimpin.

Raon mengangguk. Menegaskan Yohan untuk segera bertindak.

350 kandidat yang akan di uji membuat Raon cukup kelimpungan. Sejujurnya Dia tahu kalau Noe bisa saja mengalahkan mereka semua.

Namun karna Dia adalah yang tertinggi. Itu akan melukai harga dirinya dengan melawan Orang yang lemah.

"Bos. Mereka semua dateng ke sini. Tanpa terkecuali."

Noe menepuk tangannya sekali.

"Get ready."





..

Clown In Mine. [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang