Malam terus bergulir ditemani bulan yang mengintip malu hingga ia hanya memunculkan sabitnya saja.
Setelah kejadian panas beberapa saat lalu, kini keduanya duduk di balkon kamar Jan Lakis. Posisi mereka terpisahkan beberapa langkah. Bulan sampai meledek mereka habis-habisan mengingat sebelum ini keduanya mengikis jarak hingga tapal batas. Terlampau dekat hingga membuat mereka tampak seperti kesatuan utuh.
Lalu sekarang, mereka duduk berjauhan. Ironi sekali dua manusia yang dibelenggu bungkam itu.
Angin sedari tadi sudah membelai-belai wajah keduanya, meminta mereka untuk segera mengakhiri sunyi. Sebab, sudah hampir sepuluh menit lalu keduanya tak ada yang memulai percakapan. Hanya diam membisu yang tampaknya amat betah berlama-lama.
Diam-diam, Jan Lakis melirik Samira yang mengangkat kedua kakinya. Wanita itu merapatkan kedua lututnya, menekuk pada dada untuk ia peluk. Tubuh itu terlihat semakin mungil. Kemeja satin yang dipakainya sedikit berantakan, membuat angin malam berembus terasa begitu dingin.
Tanpa berkata apa pun Jan Lakis masuk ke dalam kamarnya. Lantai di ruangan itu telah bersih dari pecahan beling. Pria itu mengambil dan membawa sebuah selimut kecil yang kemudian ia pakaikan pada Samira. Wanita itu hanya diam. Tidak beraksi apa pun dan tampak seperti sedang berpikir dalam.
Jan Lakis tidak ingin menginterupsinya. Segala kejadian yang terjadi hari ini benar-benar di luar bayangannya. Sungguh, tidak pernah sekali pun Jan Lakis merasakan lelah luar biasa, tetapi di saat yang bersamaan ia sempat dibawa melambung tinggi menuju nirwana. Bersamaan dengan itu, Jan Lakis mengingat kembali cuplikan-cuplikan dirinya bersama wanita itu.
Keduanya terpekur dalam pikiran satu sama lain. Angin sudah ribut meminta mereka segera memadamkan keheningan. Namun, mereka tak acuh.
Masih berada di tempat yang sama, mungkin keterdiaman dua insan itu masih terbayangi adegan-adegan tanpa malu yang telah terjadi beberapa saat lalu. Sentuhan lembut, pacuan degup jantung, nyanyian mendayu-dayu, semuanya tampak erotis memalukan jika diingat lagi.
Samira bergerak gusar di tempatnya. Dia memalingkan wajah untuk menyembunyikan rona panas yang berasal dari kedua pipinya, lalu menjalar ke seluruh wajah. Membuatnya tampak seperti orang demam tetapi dalam versi lebih menggemaskan.
Tunggu. Apa yang baru saja Jan Lakis katakan?
Menggemaskan?
Jan Lakis menggeleng kepala, lantas ia berdeham kikuk. Kemudian, dia berjalan dan berhenti tepat di hadapan Samira yang memeluk diri, "Ayo, masuk. Kita butuh istirahat."
Samira yang semula memalingkan wajah, kini menghadap pada Jan Lakis yang menjulang tinggi dari posisi duduknya. Kedua permata intan berlensa cokelat kayu manis itu menengadah, langsung bersitatap lurus dengan milik sang pria.
Jan Lakis dibuatnya terpana. Waktu seolah kembali terhenti tak mampu membuat pria itu memalingkan wajah. Dalam seperkian detik, debar jantung itu ada—membuat tanda tanya besar dalam diri Jan Lakis. Ada apa? Mengapa berdebar lagi?
Namun, berbeda dengan apa yang ada dalam pikir seorang Samira Noa. Ajakan untuk istirahat bukanlah akhir yang diinginkannya setelah apa yang mereka lakukan beberapa saat lalu. Wanita itu tidak ingin alasan mengapa pada awalnya kedua insan itu mereka berada di balkon pupus begitu saja.
Samira tidak ingin urgensi awalnya menghampiri Jan Lakis berakhir tidak menemui apa pun hanya karena mereka sempat terdistraksi oleh gairah yang menggebu-gebu. Ini bukan lagi berbicara mengenai kebutuhan hasrat seksual, tetapi jauh lebih dari itu ada kebutuhan arah rumah tangga yang harus ditegaskan.
Samira merasa mereka benar-benar perlu bicara. Membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan seperti apa kehidupan pernikahan mereka perlu berjalan. Sebab, ini bukan lagi berbicara mengenai ajakan kerja sama untuk menolak perjodohan atau pun tentang kontrak pernikahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! ✔️
RomanceKehidupan pernikahan persis seperti yang dibayangkan oleh Jan Lakis; sulit, pahit dan menyakitkan. Dengan penggambaran yang melekat seperti itu di kepalanya membuat Lakis sukar menerima perjodohan yang ia jalani. Pria itu begitu skeptis dan dingin t...