Menstruasi.
Samira rasanya ingin mengubur diri dan tak kembali. Apalagi harus berhadapan dengan Jan Lakis nantinya.
Dari posisinya yang tengah menenggelamkan wajah pada bantal, Samira kemudian dengan pasrah menghela napasnya lesu. Raut wajahnya terlihat nelangsa penuh rasa sesal dan malu yang bercampur menjadi satu. Ketika ingatan mengenai beberapa cuplikan kejadian yang baru saja terjadi beberapa saat lalu, wanita itu memejamkan mata erat, lalu kembali membenamkan wajahnya pada bantal dan berteriak tertahan. Kini wajahnya kembali terasa panas.
Sungguh, hal-hal yang terjadi hari ini sangat beragam. Mulai dari yang menggebu-gebu penuh gairah hingga menggebu-gebu penuh amarah. Samira mengangkat wajah, dia berdecak dengan mulut bergerak lucu ketika ia sibuk menyumpah serapahi dirinya.
Menyebalkan! Bagaimana bisa Samira kelepasan seperti tadi? Walaupun, di lain sisi, jelas sekali ledakan amarahnya memiliki alasan rasional yang kuat. Dia memang sudah tidak bisa menahannya lagi. Semua yang diterimanya telah melampaui batas. Samira tidak kuat menahannya lebih lama.
Namun, ketika mengingat-ingat bagaimana tadi dia menumpahkan segala amarahnya dengan ledakan yang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun, Samira jadi merasa menyesal dan malu luar biasa. Itu karena dia pikir, dirinya seharusnya bisa lebih mengontrol diri. Tidak meledak begitu saja seperti petasan banting.
Sungguh, Samira menyesal sekali karena dirinya telah mengesampingkan ketenangan dan kontrol diri yang biasanya ia banggakan.
Segala hal yang berkaitan dengan tujuannya untuk saling berbicara justru menjadi hal memalukan yang tidak ingin Samira ingat lagi dalam waktu dekat.
Kalau bisa memutar waktu, sungguh dia akan mendengar ucapan Jan Lakis untuk tidak memintanya bicara malam ini. Sebab, jika dia menuruti perkataan pria itu, mungkin saja kejadian memalukan—di mana dia marah-marah karena sudah terlalu muak, yang ternyata juga didorong hormon menstruasi—pasti takkan terjadi.
Ah, Tuhan. Bagaimana ini? Menyebalkan. Itu sangat memalukan! Saking kesalnya, Samira rasa dirinya bisa saja menangis karena rasa sesal dan malu.
Bagaimana caranya ia menghindari Jan Lakis setelah ini? Sungguh, Samira takkan sanggup menghadapi pria itu.
Wanita berambut panjang itu kembali mengerang frustrasi. Dia sudah berganti pakaian menggunakan piyama setelah lagi-lagi memalukannya, adalah ketika Jan Lakis yang menyadari lebih dulu bahwa Samira menstruasi. Itu tercetak di celana bahan berwarna beige yang Samira gunakan.
Seperti seorang anak gadis belia, Samira menendang-nendang kesal ke udara dengan brutal hingga tak sadar kakinya terpentok dipan jati kasurnya dengan cukup kencang. Tentu suara yang ditimbulkannya juga cukup keras hingga wanita itu mengaduh, persis anak kecil jatuh dari sepeda.
"Dalam sehari saya berkali-kali lihat kamu ceroboh."
Samira mendongkak dari posisinya mengaduh memegang kaki. Sosok suaminya datang dengan segelas air putih hangat dan mangkuk di tangan kirinya. Raut wajahnya terlihat datar dan maklum seraya menghela napas, seolah dia sudah terbiasa melihat kecerobohan istrinya.
Samira yang sedang duduk di pinggir kasur melebarkan kedua pupil mata melihat kehadirannya. Kemudian, buru-buru wanita itu menegapkan tubuhnya dengan kaku seraya berdeham dan menahan sakit pada kakinya yang berdenyut-denyut.
Ini pertama kalinya Jan Lakis memasuki kamarnya. Pertama kalinya pula pria itu bersuara tanpa perlu Samira awali, persis ketika siang tadi dia mendapati Jan Lakis meneleponnya lebih dulu untuk kali pertama sejak mereka saling mengenal.
Apakah Jan Lakis melakukannya karena Samira juga melakukan hal yang serupa—ketika dia dengan lancang memasuki kamar pria itu?
Sementara itu, melihat raut wajah Samira yang terlihat melongo—dan anehnya lagi justru membuat Jan Lakis entah kenapa, ini aneh—membuatnya ingin sekali tertawa. Pria itu agak menunduk, hidungnya sampai melebar menahan tawa dan buru-buru menaruh gelas serta mangkuk di tangannya ke atas nakas kecil yang berada di samping kasur Samira.
KAMU SEDANG MEMBACA
CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! ✔️
RomanceKehidupan pernikahan persis seperti yang dibayangkan oleh Jan Lakis; sulit, pahit dan menyakitkan. Dengan penggambaran yang melekat seperti itu di kepalanya membuat Lakis sukar menerima perjodohan yang ia jalani. Pria itu begitu skeptis dan dingin t...