34. Emptiness

120 8 9
                                    

Kala membuka mata, Gani mendapati dirinya sudah terbaring di atas ranjang dengan aroma sekitar yang khas membuatnya yakin jika dia tengah berada di rumah sakit. Entah sudah berapa lama dia tak sadarkan diri, yang jelas Tante Salma masih setia menungguinya ditemani suster juga sopir keluarga Satria.

“Gani, gimana masih terasa sakit nggak?” tanya Tante Salma dengan wajah cemasnya sambil menggenggam tangan Gani dengan amat erat.

“Aku udah nggak apa-apa, kok, Tante.”

“Jangan bangun dulu, nanti sakit lagi gimana?” Tante Salma melarang Gani untuk duduk, tapi gadis itu tetap bangkit karena merasa tubuhnya sudah baik-baik saja.

“Udah nggak terlalu sakit, kok.” Gani mencoba menenangkan calon mertuanya.

“Tapi, kok, sampai pingsan. Berarti sakitnya nggak main-main, tuh.”

“Aku udah nggak apa-apa, Tante. Tenang aja, ya.”

Tangan Tante Salma terulur dan mengusap pipi Gani. “Kamu bikin Tante cemas aja. kalau sampai terjadi sesuatu sama kamu, gimana coba? Kamu, kan, calon menantu kesayangan Tante."

Tak lama, sosok Satria datang dengan napas terengah dan wajah panik. Saat melihat Gani yang terduduk di atas ranjang pasien, serta-merta dia menghambur memeluk gadis itu sekencang mungkin.

Mendapat kabar bahwa Gani pingsan dan masuk rumah sakit setelah bertengkar hebat dengannya, membuat Satria langsung dilanda kecemasan. Betapa pun dia sedang marah dan jengkel terhadap Gani, tetap tidak bisa mengalahkan rasa cintanya pada gadis itu.

“Maafin aku, ya,” bisik Satria tepat di telinga calon istrinya.

Gadis itu hanya mengangguk terharu tanpa bisa membuka suara. Air matanya kembali bekerja dengan sendirinya.

“Kamu kemana aja, sih, Sat? Dari tadi Mami telepon baru datang sekarang.” Tante Salma sampai memukul punggung Satria karena baru datang padahal sudah sejak tadi dihubungi.

“Iya, maaf, Mi.”

“Nggak kasihan sama calon istri kamu apa?” Tante Salma kembali mengeluarkan uneg-unegnya.

Kali ini Satria tidak mendengarkan ocehan mamanya, dia kembali memandangi wajah Gani yang masih pucat dengan iba dan rasa bersalah. Tanpa berkata-kata, kedua sejoli itu hanya saling menatap lalu kembali berpelukan seakan sudah saling memaafkan satu sama lain dan melupakan pertengkaran yang terjadi sebelumnya.

Gani baru diperbolehkan pulang jika infus yang diberi obat pereda nyerinya sudah habis. Sementara menunggu sampai infus habis, Tante Salma menelepon seseorang dan memintanya untuk datang ke IGD tempat Gani dirawat.

“Siapa, Mi?”

“Teman Mami,” jawabnya singkat membuat Gani dan Satria beradu padang.

Tak butuh waktu lama, seorang pria paruh baya datang mengunjungi ranjang yang ditempati Gani tadi. Penampilannya mengenakan jas dokter dan stetoskop yang tergantung di leher, tak perlu lagi butuh penjelasan tentang siapa dia sebenarnya.

“Kenalkan ini Dokter Salim, dia teman baik Almarhum papinya Satria. Mami sengaja minta tolong beliau kemari untuk periksa Gani lebih detail lagi.”

“Periksa aku, Tante?”

“Iya, kamu, kan, tadi bilang kalau suka sakit dismenore sampai pingsan kayak tadi. Tante jadi khawatir sama kamu, takutnya akan lebih parah lagi saat kalian melangsungkan pernikahan. Cuma cek aja, kok, biar Tante tenang.”

Gani tampak berpikir. Selama ini Ibu juga sudah sering menyarankannya untuk memeriksakan kondisi yang kian lama kian menyiksa itu ke dokter, tapi selama ini dokter hanya memberitahu jika hal itu terjadi karena Gani terlalu capek dan stres hingga hormonnya tidak seimbang. Tidak pernah ada pemeriksaan menyeluruh lagi setelahnya hingga membuat Gani juga yakin bahwa tidak ada yang salah dengan tubuhnya.

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang