“Sa, gue langsung balik, ya. Udah mau malam soalnya. Takut Galuh nyariin,” seru Danang saat melihat Mahesa sudah kembali dan hanya bisa duduk termenung di sofa pinggir pintu masuk.
“Kenapa lo, kok, datang-datang malah melongo begitu?” tanya Danang yang menghampiri Mahesa sambil menaruh lap dan frame yang sudah dia bersihkan tadi.
“Gue ketemu dia, Nang,” gumam Mahesa dengan suara pelan.
“Siapa?” Danang sudah memakai kembali jaketnya.
“Senggani. Tadi gue nggak sengaja ketemu dia di toko buku.”
“Oh, ya? Terus kalian ngobrol?”
Mahesa menggeleng lemah. “Dia kabur.”
Danang menghela napasnya. “Paling dia masih kaget lihat lo di Jakarta. Kasih waktu aja sampai dia tenang dulu.”
Suasana kembali hening, sampai Danang menenteng helm dan kunci motor yang diberikan Mahesa. Niatannya untuk pulang tertahan karena tak tega melihat sahabatnya masih terduduk lemas seperti itu. Danang akhirnya berbalik lagi dan mencopot helm yang baru dipakainya.
“Lo masih suka sama dia?”
Mahesa akhirnya menatap lawan bicaranya. “Cuma dia yang ada dipikiran gue selama enam tahun ini, Nang.”
“Terus lo mau kejar dia lagi?”
Mata Mahesa memancarkan duka. “Sudah nggak mungkin. Dia sudah punya anak. Sebelum ketemu di toko buku, gue sempat lihat dia lagi jemput anaknya pulang sekolah.”
“Hah?” kedua alis Danang menyatu. Ada yang terasa janggal di sini, tapi Danang memilih untuk diam.
“Dia kelihatan bahagia banget. Bercanda terus tertawa-tawa sama anaknya. Dia makin cantik, Nang, sekarang.”
“Lo nggak ada maksud untuk deketin dia lagi, kan, Sa?” Danang mencoba memperingatkan. “Dia itu sudah jadi istri orang, sudah punya suami dan anak seperti yang lo bilang. Itu artinya sudah nggak boleh diganggu lagi.”
Mahesa diam tanpa bisa membantah ucapan Danang.
“Ikhlasin dia, Sa. Cinta nggak harus memiliki. Kalau lo memang masih cinta sama dia, cukup doakan aja untuk kebahagiaannya. Level tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan. Lo harus ikhlas melihat Senggani bahagia dengan kehidupannya yang sekarang. Nasib dan hubungan kalian itu sudah berakhir lama. Gue ngerti, sih, lo mungkin masih terbawa suasana dulu setelah balik lagi ke Jakarta, tapi semua itu udah masa lalu. Dia udah move on dari lo dan lo juga harus begitu.”
Danang merasa perlu berceramah panjang lebar agar Mahesa tidak melakukan tindakan bodoh seperti mencoba menggoda istri orang misalnya. Kalau dulu Mahesa bisa leluasa berada di tengah-tengah hubungan Hendra dan Gani sampai membuat gadis itu tergoda dan berpaling padanya, tapi tidak untuk kali ini. Itulah kenapa Danang merasa perlu untuk menyadarkan sahabatnya agar tidak bertindak bodoh dan merugikan diri sendiri maupun orang lain, karena ini sudah menyangkut bahtera rumah tangga seseorang dan itu tidak main-main.
“Harusnya gue nggak nemuin dia tadi. Sekarang entah kenapa perasaan gue malah jadi nggak karuan, di satu sisi gue ikut senang lihat dia bahagia, tapi di sisi lain gue kayak belum bisa rela kalau ternyata dia sudah milik orang lain.” Mahesa tertunduk lesu dengan tatapan kosong. “Padahal gue sendiri yang minta dia untuk melupakan gue, kenapa malah gue yang nggak bisa ngelupain dia dan setelah tahu bahwa dia sudah berkeluarga, rasa penyesalan karena menyia-nyiakan dia makin besar gue rasakan.” Mahesa menatap Danang dan sekali lagi menyunggingkan senyum pahit.
Bisa dibilang ini adalah kali pertama dalam hidupnya, Mahesa berani mencurahkan isi hati. Segala yang dia rasakan saat ini dia muntahkan di hadapan Danang tanpa adanya kata gengsi dan sejenisnya. Ini salah satu pembuktiannya pada diri sendiri bahwa setelah melanglang buana begitu lama Mahesa akan kembali menjadi pribadi yang berbeda. Menjadi pribadi yang tak lagi harus memendam segala apa yang dirasakan dalam hati seorang diri, dia butuh berbagi dengan orang lain untuk bisa meringankan perasaan dalam hatinya. Itu adalah nasihat seorang sahabat yang sempat dia temui di perjalanan sebagai bagian dari misinya menuntaskan perjalanan mengitari Tanah Air.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Love to Her (Sekuel A Love to Him)
RomanceSegala hal tentang lelaki bernama Mahesa Barata selalu berhasil membuat kehidupan Senggani menjadi tidak pernah tenang. Kepergian lelaki itu meninggalkan lubang besar menganga di rongga hatinya yang terlantar. Enam tahun sudah dia pergi, dan Sengg...