21. And So it Begins

78 7 0
                                    

Sembari menuju mobil Satria yang terparkir apik di halaman kafe, Gani yang berjalan mendahului langsung berbalik badan dan mengadang tubuh Satria secara tiba-tiba.

"Bisa kamu jelasin kenapa berbuat begitu?"

"Berbuat apa?" tanya Satria balik.

Dengan isyarat tangan, Gani menunjuk ke arah studio Mahesa.

"Harus banget cium aku di sana?"

"Lho, memangnya salah aku cium pacarku sendiri?" Satria melangkah mendekati mobil lalu membukakan pintu sebelah kiri untuk Gani.

Gani melangkah lalu masuk ke dalamnya. "Nggak salah selama nggak ada orang lain yang lihat. Itu tadi ada Mahesa di sana."

Satria membanting pintu tanpa sadar karena merasa tidak suka jika nama Mahesa lagi-lagi harus keluar dari bibir kekasihnya.

"Aku cuma meluapkan kebahagiaan aja karena pernikahan kita bisa kembali direncanakan. Memang itu salah?" Satria yang sudah duduk di belakang kemudi mulai memasang sabuk pengaman.

"Kamu bukan tipe orang yang seperti itu, lho, Sat. Aku tahu banget kamu! Kamu bukan orang yang suka mengumbar kemesraan di depan orang lain, walaupun kamu lagi sangat bahagia."

Kedua tangan Satria mencengkeram setir dengan kuat. Kenapa dia merasa kalau Gani sangat tidak menyukai tindakan spontannya tadi? Apa Gani tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya semata-mata karena dia sedang cemburu? Memangnya Gani tidak bisa merasakan aura cemburu yang saat ini sedang menguasai diri Satria?

"Kamu merasa bersalah kita ciuman di depan Mahesa?" tembaknya.

"Malu aja, Sat. Tadi kita ciuman di studionya dia. Terus nggak enak aja sama dia, kesannya kayak kita nggak tahu tempat!"

"Dia pasti bisa ngerti, kok. Namanya orang lagi bahagia melakukan hal apa aja tanpa pikir panjang harusnya bisa dimaklumi. Lagian tadi aku lihat dia asik-asik aja. Kok, kamu yang sewot, sih?"

Gani langsung terdiam. Benar juga, kenapa dia yang sewot? Gani berpikir dia harus bisa menjaga perasaan lelaki itu, tapi kalau dilihat-lihat tampang Mahesa terlihat biasa saja. Mahesa tampak tidak terganggu dengan adegan lovey-dovey yang dipamerkan di depan matanya tadi. Jadi untuk apa Gani harus pusing sampai marah-marah nggak jelas memikirkan perasaan Mahesa?  Mungkin saja lelaki itu memang sudah tidak punya perasaan apa-apa terhadap Gani dan mungkin saja ucapan Mahesa benar bahwa sekarang dia hanya ingin berteman baik dengan Gani tanpa punya maksud tersembunyi. Baguslah kalau begitu, Gani bisa lega sekarang.

"Harusnya kamu bahagia karena kita akan kembali merencanakan pernikahan. Sebentar lagi kita akan sah jadi suami istri. Bisa nggak usah berantem nggak?"

Melihat Gani yang terus diam tanpa memberikan respons ataupun tanggapan, Satria akhirnya menyalakan mesin mobil dan kendaraan roda empat itu perlahan mulai meninggalkan area kafe yang makin malam makin ramai pengunjung.


***


Begitu mendengar kabar bahwa mereka akan melanjutkan rencana pernikahan yang sempat tertunda itu membuat Mami merasa sangat senang dan bersemangat. Beliau juga berjanji akan lebih menjaga kesehatan agar bisa ikut menghadiri perayaan bersatunya cinta Satria dan Gani.

Melihat wajah Mami yang amat bahagia, membuat semua ketakutan yang selama ini hinggap di benak Satria luruh sudah. Selama ini dia sangat mencemaskan kondisi Mami begitu dia tinggal menikah. Bagaimana jika suster yang merawat Mami tidak cukup telaten, bagaimana jika sakit Mami bertambah parah dan bagaimana-bagaimana lain yang membuat keputusan untuk melanjutkan rencana pernikahan harus terus menguap lagi dan lagi.

Bukannya dia ingin menggantung Gani dalam ambang ketidakpastian, tapi kesehatan Mami adalah prioritas Satria sekarang. Dia tidak mau konsentrasinya terbagi antara Mami dan rumah tangganya jika sudah menikah nanti. Belum lagi kalau nanti harus pisah rumah, membuatnya makin tidak tega jika harus meninggalkan Mami seorang diri dan hanya ditemani suster saja.

A Love to Her (Sekuel A Love to Him)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang