"Kamu mau pulang ke Jakarta?" Mahesa yang entah datang dari mana, tiba-tiba memberondongnya saat Gani sedang mengawasi anak-anak yang bermain di ayunan pantai selesai jam pulang sekolah.
Gadis itu mengajak anak-anak kelas satu yang dia ajar bermain di pantai untuk terakhir kali sebelum dia harus berpisah dengan anak-anak Basira yang menggemaskan. Anak-anak itu bergiliran menaiki ayunan dan Gani akan mendorongnya sampai anak-anak itu tertawa dengan puas.
"Alasannya?" cecarnya lagi.
Air muka lelaki itu jelas memperlihatkan raut marah dan kecewa juga terkejut karena kabar bahwa Gani akan pergi secara mendadak.
"Saya rasa saya nggak perlu kasih tahu alasannya sama kamu." Gani merendahkan suara karena tidak ingin pembicaraannya dengan Mahesa menjadi perhatian anak-anak di sana.
"Apa ini ada hubungannya dengan apa yang saya katakan kemarin?" Mahesa tidak menyerah untuk membuat Gani bicara. "Kalau setelah mendengarnya kamu ada rasa takut dan ragu dengan Satria, itu artinya kamu memang belum sepenuhnya melupakan saya."
Gani mengepalkan tangan. Dia menahan diri untuk tidak menampar Mahesa sekali lagi.
"Tolong kamu pergi dari sini. Saya nggak mau nampar kamu di depan anak-anak!" titahnya dengan gigi terkatup.
"Kenapa, sih, susah banget untuk kamu jujur sama diri sendiri? Akui aja kalau kamu juga masih cinta sama saya."
Sejak peristiwa kemarin, Mahesa memang terlihat berbeda. Lelaki itu yang biasanya kalem dan santai, kini terlihat sangat menggebu. Dia tidak berhenti mencecar Gani agar mau mengakui perasaan yang masih tersisa itu.
Gani menyeret Mahesa pergi sedikit menjauh dari anak-anak.
"Kalau saya mengakui semuanya, terus kamu mau apa?" tantang Gani sembari melipat tangan di dada. "Mau merusak hubungan saya dengan Satria? Mau membatalkan rencana pernikahan saya dengan Satria? Kamu pikir semua itu akan membuat kita bahagia?"
Mau tak mau emosi Gani kembali terpancing.
"Kesempatan yang kamu bilang kemarin udah nggak ada, Sa. Bagi saya kesempatan itu sudah kamu sia-siakan sejak dulu. Lagian, bukannya kamu sendiri yang bilang kalau saya bebas dari kamu. Saya nggak terikat apa pun dengan kamu dan kamu juga bilang kalau saya harus melupakan kamu dan mencari laki-laki lain yang bisa membuat saya bahagia? Itu semua keinginan kamu, kan?"
Mahesa diam. Dia menyadari bahwa apa yang dikatakan Gani benar. Apa yang pernah Mahesa ucapkan dulu di Stasiun Tanah Abang enam tahun silam saat mereka harus saling berpisah, malah menjadi bumerang untuknya sendiri. Harusnya Mahesa senang, karena penderitaan Gani berakhir dengan hadirnya sosok Satria. Harusnya Mahesa turut berbahagia karena Gani sudah menemukan cinta baru yang tidak akan pernah menyakiti hati gadis itu seperti yang selalu Mahesa lakukan baik dulu maupun sekarang.
"Sekarang saya sudah menuruti kemauan kamu. Saya bahagia dan sudah menemukan laki-laki yang nggak akan pernah menyakiti saya dan meninggalkan saya seperti yang pernah kamu lakukan dulu, lalu kenapa sekarang kamu malah berusaha merusak semua kebahagiaan yang susah payah saya dapatkan? Kenapa?"
Namun, rasa cinta yang amat berkobar dalam hatinya tidak bisa Mahesa abaikan lagi sekarang. Bisikan hati terus mengatakan bahwa dia ingin gadis itu menjadi miliknya. Dia ingin Gani berada di sisinya.
"Saya cuma mau menebus kesalahan yang pernah saya lakukan dulu. Saya sudah berjanji pada diri sendiri, kalau saya nggak akan lagi menyia-nyiakan kesempatan untuk mengejar kamu. Selama ini saya sudah berusaha melupakan kamu dan menerima kenyataan bahwa kamu sudah bersama Satria, tapi makin lama berada di dekat kamu, saya makin nggak bisa menahan perasaan ini."
![](https://img.wattpad.com/cover/335621589-288-k474981.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Love to Her (Sekuel A Love to Him)
RomansaSegala hal tentang lelaki bernama Mahesa Barata selalu berhasil membuat kehidupan Senggani menjadi tidak pernah tenang. Kepergian lelaki itu meninggalkan lubang besar menganga di rongga hatinya yang terlantar. Enam tahun sudah dia pergi, dan Sengg...