Bagian II

48 8 0
                                    

Setelah bergelung seharian di dalam kamar, doing nothing, aku akhirnya memilih turun ke lantai bawah yang telah kusulap menjadi sebuah café dua tahun terakhir ini. Daisydee's café and bakery, lebih tepatnya.

Rumah dua lantai yang kumiliki di daerah Ngaglik tidak begitu besar. Tapi nyaman untuk ditinggali dan cukup layak untuk diubah menjadi café yang cantik. And fyi, I love this place so much!

Aku tinggal sendiri, kedua adikku merantau, yang satu ditugaskan untuk dinas di KPP Pratama Praya—yang membuatku iri setengah mati karena berada di Lombok. Ini Lombok, lho! Tempat yang tak pernah absen untuk ku kunjungi di setiap libur akhir tahun—sedangkan adikku yang bungsu menjadi mahasiswi di salah satu universitas negeri di Surabaya. Ibuku sendiri? Beliau keukeuh untuk tetap tinggal di rumah masa kecil ku. Merawat kenangannya bersama ayah sambil berjualan nasi pecel setiap paginya. Untuk mengisi waktu luang, katanya.

"Halooo An, how was your day?" ujarku ceria dengan kaki menapak anak tangga dengan grusa-grusu.

"Mbak Zian. Today is superb!"

"Good. Gimana Daisydee's hari ini? Superb juga nggak?" aku mengabaikan rasa sakit yang bercokol di dalam hati sambil berjalan menghampiri Anne dan Kevin—barista merangkap kasir terbaik yang kumiliki disini—yang sedang berkutat dengan mesin kopi.

"Kev, tolong buatin aku dua shot espresso ya. Tapi dikit aja. Setengah gelas. Yang setengahnya kasih es aja banyak-banyak," pintaku dengan jempol dan jari telunjuk yang hampir berimpit. I hate espresso, but I need it. Just for today.

"Siappp Mbak Zi. Nambah blackforest juga nggak? Biar makin nendang pahit-pahitnya?"

"Ah, alus banget nyindirnya Kev," aku memicing dan menepuk bahunya keras.

"Apa yang bisa daku lakukan untuk nona cantik ini?"

"Bantulah hamba agar segera pulih dari duka nestapa yang menggerogoti jiwa hamba ini, Tuan."

"Dan drama kolosal pun dimulai," celetuk Anne diiringi tawa serempak dari kami.

Well, see? Setidaknya disini lebih baik daripada mengurung diri sambil meratapi nasib di lantai atas.

Bunyi gemerincing lonceng membuat kami otomatis menoleh kearah pintu. Hmm, ada segerombol laki-laki, mungkin tiga atau empat, tipe-tipe eksekutif muda, sih. Dengan pakaian licin khas jasa laundry dan sepatu hitam mengkilat. Tipe-tipe necis yang nggak akan kamu temukan di pasar Bringinhardjo—padahal aku suka belanja disana. Batiknya bagus, penjualnya ramah, dan yang terpenting bisa ditawar—maupun di café-ku yang mungil ini. Eh, tapi jangan salah, meskipun mungil, ini adalah salah satu tempat favoritku. Semua yang ada didalam sini, aku yang nge-design sendiri. Jadi, kenapa mereka bisa terdampar disini? Maksudku, Daisydee's bukan sejenis café hype yang jadi tongkrongan kaum-kaum seperti mereka kan? Aku mengenal hampir semua pelangganku yang setia kemari, kami bahkan berteman. Tapi mereka ini, lebih cocok untuk duduk cantik di Hugo atau mana kek, pokoknya yang hype deh. Bukannya aku nggak senang kalo mereka kesini, kan lumayan pemasukan, tapi kan tetep aja—

"Mbak Zian, psst," aku tersentak saat mendapati Anne yang berbisik pelan disampingku. Hadeh, ngelamun lagi. My bad.

"Ehm, ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Err, gue pesan espresso satu, sama caramel macchiato-nya dua. Yang espresso kasih dua shot ya," pintanya dengan seyum jahil.

"Mau ngerjain temen ya, Pak?" simpulku setelah melihat satu temannya, yang duduk membelakangiku, tampak misuh-misuh kepada pria didepannya.

"Jangan panggil gue pak, dong mbak. Am I look too old for you? Dan, iya. Kita mau ngerjain temen kita yang itu." Protesnya diiringi senyum jahil dengan telunjuk mengarah pada pria yang duduk membelakangiku.

SENANDIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang