Bagian IV

26 7 0
                                    

Aku melirik cemas pada jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan. Pukul tujuh kurang lima. Cairan asam terasa naik ke kerongkonganku,  mengancam keluar secepat saat mulutku memutuskan untuk membuka—berbicara padanya.

Hari ini Daisydee's nampak lengang, hanya ada 2 pengunjung di sudut perpustakaan mini yang kubuat. Mereka terlihat membalik lembar demi lembar buku yang mereka genggam. Seorang gadis remaja, mungkin masih SMA, tampak membaca buku favoritku: It Ends with Us. Disebelahnya ada seorang cowok, mungkin pacarnya, nampak sedang membaca sekuelnya: It Starts with Us.

Manis sekali.

Akhir-akhir ini aku berharap dapat merasakan perasaan menggebu-gebu seperti saat aku masih berseragam putih-abu. Seperti kedua remaja yang kulihat saling melongok bacaan satu sama lain dan membagi senyum malu-malu. Salah satu hal yang hilang saat aku beranjak dewasa adalah ini—tidak ada lagi kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutku.

Rasanya lebih seperti jantungku meluncur jatuh ke perut, atau ulu hatiku yang seperti ditonjok hingga membuat cairan asam naik ke mulutku. Rasanya tidak nyaman. Lebih seperti perasaan bersalah yang menyenangkan. Mungkin karena itu terjadi pada orang yang salah. Mungkin.

Fokusku tergerus saat deru mobil perlahan berhenti di pelataran Daisydee's. Aku mendongak pelan— menemukan Keenan keluar dari mobil dengan anggun. Called me melodramatic, namun dia terlihat seperti bintang telenovela atau drama korea yang biasa kutonton bersama Alya. Dia terlihat tidak nyata.

Namun saat gemerincing lonceng sampai di telingaku disusul dengan keseluruhan dirinya memenuhi netraku, aku tidak bisa bilang bahwa ini hanyalah mimpi.

Keenan nyata, dan dia ada disini. Sekarang—di Daisydee's.

Malam ini Keenan menggunakan kaos polo santai berwarna hitam, celana bahan sewarna créme cake , dan sneakers putih. Kasual, tapi entah kenapa begitu memikat.

Pandangannya menyapu cepat ke seluruh cafě hingga akhirnya menemukanku duduk di meja paling jauh dari pintu, bersisian dengan jendela besar yang mengarah ke taman kecil di samping rumah. Aku sengaja memilih tempat ini, kalau-kalau nanti aku butuh oksigen lebih banyak untuk menghadapinya.

"Halo," sapanya kalem dengan tangan menjulur kearahku, memutuskan bahwa berjabat tangan adalah hal paling benar untuk bertemu dengan teman baru.

"Hai. Tadi gimana di jalan? Macet kah?" tanyaku yang terdengar konyol.

You can do much better than this, Zi.

"Err, nggak terlalu..  anyway, still amazed with this place. And I just realized that you have book corner around there," ujarnya sembari menelengkan kepala ke arah dua remaja yang masih fokus pada buku mereka, sesekali melirik satu sama lain dan melempar senyum sumringah.

"Ehm, y-ya. Maybe you can pick some books from there. I have some interesting books, my all time favorite. Maybe you'll like it," ceritaku dengan antusias yang tak bisa dicegah.

Dia berkedip pelan, netranya sewarna mahoni ketika ia menatapku dengan senyuman tipis bertengger di bibirnya, "Ya, I will."

Aku menggangguk canggung ketika dia tak kunjung memutuskan kontak matanya denganku. Aku menyelipkan rambut dengan gugup, "Do you like red velvět? I baked some of them today."

"Yes, please. Dan matcha tea, if you don't mind," dia masih menatapku dengan netra yang berbinar. Mungkin perasaanku saja.

Aku bilang 'oke' dan menuju kitchen untuk menyiapkan cake dan matcha. Kevin dan Anne menggodaku, cekikian sambil berbisik-bisik. Oh, aku jelas tahu kalau mereka berdua terus memelototi meja kami dengan pandangan yang membuatku bertambah malu setiap detiknya.

SENANDIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang