Bagian X

19 5 0
                                    

Satu minggu berlalu sejak terakhir kali aku melihat atau berbicara dengan Aiden. Rupanya dia tidak merasa bersalah sedikit pun setelah mengucapkan tuduhan picik dan tak berdasar padaku malam itu. Tentu saja aku menangis. Menangis, menangis, menangis tanpa henti sejak Keenan mengantarkanku pulang dengan janji akan mengajakku bermain di akhir pekan berikutnya. Mungkin untuk menghiburku, yang mana usahanya sungguh tidak perlu lagi karena aku sudah merasa baik-baik saja. Maksudku, harusnya aku baik-baik saja kan? Kenapa harus aku yang bersedih dan terus merasa bersalah ketika orang lain yang lebih pantas merasakannya malah hidup dengan tenang seolah tidak ada yang terjadi?

Sehari, dua hari, tiga hari aku menunggu permintaan maaf Aiden. Tapi tidak ada. Nihil. Aku berhenti menangis setelah hari ketiga. Aku menghentikan Alya yang ingin mengkonfrontasi Aiden. Aku ingin penyesalan dan permintaan maaf itu datang dari dirinya sendiri. Bukan karena terpicu oleh tangisanku, dorongan dari Alya, atau siapapun. Tapi seperti yang sudah kubilang, Aiden tetap membisu. Jujur saja, aku mengharapkan dia setidaknya mencoba menghubungiku dan mengatakan bahwa dia menyesal mengatakan hal-hal seperti itu, apalagi di depan banyak orang; teman-teman dan tunangannya. But he did nothing. Now he looks like an asshole.

Aku benci mengakuinya, tapi Aiden terasa sangat jauh. Aku merasa kehilangan sebagian dirinya saat dia tiba-tiba memutuskan untuk bertunangan dengan Aish tanpa memberitahuku dan Alya. Ditambah peristiwa malam ulang tahun Aish, aku merasa bahwa aku sepenuhnya telah kehilangan dia. Aiden sangat berarti bagiku, tapi aku tidak akan mengemis empati dan kasih sayangnya ketika dia tidak segan-segan menuduh dan menghinaku secara langsung di depan umum. Aku memang berhutang banyak sekali padanya, jenis hutang budi yang tidak mungkin kubayar lunas hingga aku mati. Namun selalu ada batas-batas tertentu, tidak peduli sebanyak apa kita berhutang budi pada orang lain. Bahkan jika itu adalah hutang nyawa yang disegel dengan darah.

Napasku tercekat ketika mataku menangkap serangkaian foto polaroid aku dan Aiden dalam balutan seragam putih abu-abu. Waktu berlalu begitu cepat hingga pada titik-titik tertentu aku tidak lagi mengenali remaja laki-laki yang tersenyum lebar dengan lengan terulur untuk merangkul bahu dan menyentuhkan jari telunjuknya pada lesung pipiku. Aku tidak membencinya, tidak pernah bisa membencinya meski dia melakukan hal yang mungkin lebih buruk dari minggu kemarin. Tapi, apakah mungkin ada hal yang lebih buruk dari kemarin? Entahlah.

Ponselku berdenting pelan ketika sebuah pesan masuk. Dari Keenan. Dia sudah di bawah. Ternyata dia benar-benar datang untuk mengajakku keluar. Kukira itu hanya omong kosong belaka untuk menghiburku yang terlihat sangat kacau malam itu. Ternyata dia datang.

Aku mengetikkan balasan padanya, meminta beberapa menit untuk bersiap-siap. Aku mengganti pakaian rumahanku dengan rok pleats berwarna kopi dipadukan dengan kemeja putih dan vest rajut berwarna krem. Rambutku tergerai bebas, terlalu malas untuk membuat kreasi apapun. Aku mengambil sepatu boot pendek berwarna hitam dan tas selempang berwarna coklat sebagai pelengkapnya.  Aku melihat sekilas tampilanku di depan cermin. Terlihat casual dan aku menyukainya.

 Terlihat casual dan aku menyukainya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SENANDIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang