Bagian VIII

12 5 0
                                    

"Sorry ya Kin kalo kita tadi bercandanya agak offside," aku membuka percakapan saat kami sudah berada di dalam mobil. Aku merujuk pada banyolan yang aku, Kevin, dan Anne lakukan saat di Daisydee's tadi.

"Aku oke, Askana. No prob."

Aku mengangguk dan menengok ke arah luar. Malam ini Jogja terasa dingin, tidak biasanya. Apa mungkin karena mendekati musim penghujan? Meski bulan telah berganti menjadi November, hujan tidak kunjung turun. Membuat Jogja di siang dan malam hari terasa sangat panas gerah. Kecuali malam ini, of course.

Anyway, he is good in driving. Caranya memutar setir dengan satu tangan dengan tangan yang lain fokus mencari  lagu di playlist-nya untuk mengisi kekosongan diantara kami—cool.

Di masa lalu, aku mungkin tidak pernah membayangkan scene seperti ini. Going outside on saturday night with him. Nyatanya sekarang aku disini— duduk di sampingnya, di dalam Audi-nya yang mewah. Aku meliriknya dari ujung mata, dia selalu nampak menawan. Nggak peduli dia sedang memakai kaos oblong maupun kemeja hitam yang licin dan rapi seperti saat ini. Rambutnya yang biasanya mencuat ke segala arah terlihat tertata, dia memakai pomade. Why he is so extra tonight?

"Jadi sekarang kita berteman?" tanyaku membuka percakapan lagi.

Dia menoleh sebentar kearahku, "Eh? Iya," jawabnya sembari fokus kembali pada jalanan di depan kami.

"Karena aku sahabatnya Keenan, dan Keenan tunangannya Aish? Karena Aish sepupu kamu?" tanyaku terdengar konyol.

Keenan mengeryitkan dahi pelan. Dia mengurangi kecepatan dan menatapku dengan hati-hati. Dia terdiam beberapa saat, mungkin memilih kata-kata sebelum menjawabku, "Bukan gitu. Bukan karena kamu adalah Zian. Tapi karena kamu adalah Askana. Dan kebetulan aku kenal Askana yang ini lewat Aiden dan Aish."

Kali ini aku menghadap penuh kearahnya, "Maksudnya?"

Keenan tersenyum lebar sembari menepuk kepalaku pelan. Tidak terduga tapi sangat Keenan.

Aku berdecak pelan sambil menepuk tangannya, "Keenan things."

Dia menaikkan sebelah alisnya, netranya bersinar sangat geli seolah aku sedang melawak.

"Apanya yang lucu?" tanyaku dengan nada sewot yang tak bisa kusembunyikan.

"Kamu," jawabnya dengan tawa berderai.

"Nggak lucu, Keenan!" aku bersedekap kesal.

Me and Keenan.. We're friends.

Aku berkedip pelan dengan kesimpulan yang terbentuk di kepalaku.

***

Aku memandang sekeliling tempat parkir yang remang-remang. Tepat di sebelah kami ada restaurant Jepang favorit Aiden. Dulu, kami bertiga—aku, Alya, dan Aiden—sangat sering kemari untuk lunch atau dinner.

"Aku sering kesini sama Aiden dan Alya," gumamku tanpa sadar.

"Nice place. Sushi-nya enak?"

"I am obsessed. And you will," ujarku ceria sembari menoleh ke arahnya.

"Jadi, konsep surprise-nya gimana?" aku mulai bertanya saat langkah kaki kami semakin mendekati restaurant.

"Hmm jadi sebenernya Aiden ngajak Aish dinner biasa gitu. Nanti kita dateng gitu buat surprise-in dia dan rayain bareng-bareng. Aiden udah nge-booking tempat ini khusus buat kita. Jadi, nggak bakal ngeganggu pengunjung lain."

SENANDIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang