Bagian VI

13 5 0
                                    

Aku menatap lingkaran hitam samar di bawah mataku. Kemarin aku tidak bisa tidur. Nyatanya, aku kembali terbangun setiap jam hanya untuk menyeret pikiran-pikiran buruk kembali ke tempatnya; jauh tersembunyi di rak paling bawah yang kubuat dalam pikiranku sendiri.

Aku memikirkan segalanya. Meninjau ulang perasaanku tentang Aiden dan Keenan. Emosi yang kurasakan tentang seseorang yang membuatku selalu mengharapkan perhatian darinya dan seorang lainnya yang dulu sempat membuatku jatuh hati.

Aku mengernyit dalam, mencebik kesal saat menyadari bahwa aku kembali menjadi bocah labil. Ya Tuhan, aku tidak bisa bersikap kekanak-kanakan seperti ini. Seakan masalahku hanya berputar pada laki-laki, bukan pada hidupku, keluargaku, karirku.

Aku memikirkan sesuatu yang mungkin bisa kulakukan. Jemariku mengetuk meja di hadapanku pelan. Udara pagi  yang dingin masuk melalui celah jendela kamarku, membuatku menyelipkan beberapa helai rambut yang terlepas dari ikatannya ke belakang telinga.

Aku benci menyimpan sesuatu yang pada akhirnya akan mempengaruhi hatiku dan membusuk di pikiranku. Aku selalu berterus terang, entah itu menimbulkan berita baik ataupun buruk. Aku tidak peduli.

Pikiranku memutar ulang berbagai kejadian, salah satunya adalah saat aku mengirimkan beberapa pesan pada Keenan di masa lalu, menunjukkan bahwa aku peduli—bahwa aku memiliki semacam rasa kagum untuknya dan mengharapkan semua hal baik terjadi dalam hidupnya. At that time, I had a crush on him.

Aku membiarkan dia tahu, meskipun pada akhirnya pesanku hanya menghiasi dinding pesannya, membiarkannya tenggelam selama bertahun-tahun.

Aku juga menunjukkan pada Aiden—menunjukkan padanya tentang bagaimana aku bersyukur telah bertemu dengannya. Kami membuat ikatan istimewa, sesuatu yang telah kupastikan tidak akan putus apapun yang terjadi. Aku membuatnya tahu bahwa aku membutuhkannya seperti aku membutuhkan oksigen. Dan Aiden tahu; dia mengerti dan mencurahiku dengan kasih sayang seperti layaknya seorang saudara, seorang sahabat—seseorang yang berarti dalam hidupnya.

Kini, hal-hal telah berubah. Aiden telah memiliki Aish dan tiba-tiba saja aku bisa mengobrol layaknya seorang teman dengan Keenan. Di masa lalu, aku tidak pernah memimpikan hal semacam ini. Aku telah mengubur keingintahuanku tentang Keenan enam tahun lalu, tepat setelah dia punya seseorang yang bisa ia gandeng di berbagai kesempatan. Aku telah membiarkan diriku bergantung pada Aiden sejak kali pertama benang takdir kami terpintal, sesuatu yang akhir-akhir ini aku sesali.

Aku memijat pelipis; sebuah usaha untuk mengalihkan rasa pusing yang menggedor dinding kepalaku sejak tadi malam. Aku harus melakukan sesuatu. Sesuatu yang dapat membuatku kembali fokus pada tujuan utamaku—hidup, keluarga, karir.

Aku tersentak ketika ponsel di ujung tempat tidurku berdering pelan—nada dering default yang berarti teleponnya berasal dari orang asing. Aku melangkah menuju bed untuk mengambil ponsel dan menekan tanda berwarna hijau. Siapa kiranya?

"Halo," aku terkesiap, merasa kenal dengan suara yang menyapa dari seberang.

"Apakah saya sedang berbicara dengan Askana?"

"Dengan saya sendiri," aku membiarkan ujung kalimatku menggantung.

"Hai, Askana. Ini Keenan," jawabnya yang membuatku menahan napas sepersekian detik.

"Sorry tiba-tiba telepon kamu. Aku dapet nomer lo dari Aiden. Is it okay for calling you like this? I mean.. I just wondering.. Is it okay for you? Cause I don't ask your number by myself before," sambungnya dengan nada memastikan.

"Keenan? Ah, of course, this is you. Oke aja sih kalo lo minta ke Aiden. No worries. Btw, ada apa Kin?"

"Err, berhubung sekarang gue punya temen baru yang jago baking, yaitu kamu.. Bisa nggak kalo aku minta tolong?"

"Gimana gimana?" tanyaku, bingung harus bereaksi apa.

"Aish minggu depan, tanggal 17, ultah dan well, sebagai sepupu yang berbudi, aku mau beliin dia kue ulang tahun ala-ala gitu lah. Kamu nerima orderan buat bikin kue nggak, Askana?"

"Kenapa?" ujarku tanpa pikir panjang.

"Hah? Kenapa apanya? Aku rencananya mau pesen kue ke kamu, gitu. Ya, kalo masih ada slot sih hehehe. Eh, kamu buka orderan buat kue ultah kan? Soalnya kemarin aku liat pas main ke Daisydee's" ucapnya menjelaskan.

Aku diam sejenak, mengecek list orderan di note yang masih kosong, "Ohh, iya iyaa. Kebetulan di tanggal itu masih kosong, Kin. Bisa kalo lo mau order. Kirim aja referensi kuenya kayak gimana yaa."

"Oh God. Thanks, Askana. Ehm, buat kuenya terserah aja sih. Aku percaya sama kamu. Mau kayak gimana pun pasti cantik hasilnya," perkataannya membuatku tersenyum, makes me thought that I am good enough in baking.

"Oke deh. Thanks udah percayain kuenya ke aku ya, Kin. Pagi pagi gini udah dapet rezeki aja nih. Alhamdulillah," ucapku sambil tertawa pelan.

"Anytime, Askana. Aku tutup teleponnya ya?" ujarnya dengan nada ragu antara pertanyaan atau pernyataan.

"Okee, Kin. Thanks sekali lagi, ya. And have a nice day."

"Have a nice day too, Askana."

Aku meletakkan ponsel di nakas sebelum melemparkan diriku ke tempat tidur. Sejujurnya aku bingung harus bereaksi bagaimana karena baru semalam aku bertekad untuk memangkas habis semua rumput liar di dadaku.

Kesedihan menggulungku dengan cepat. Aku kembali memutar memori 15 tahun kebelakang. Kembali mengingat tentang kepergian Ayah dan bagaimana hal itu mengundang banyak hal buruk setelahnya. Ya, hal-hal buruk.. Hal buruk yang membuatku tidak memiliki pegangan lagi. Tidak kepada siapapun, bahkan pada ibuku sendiri.

Aku pecah dan berserakan, tidak mampu mengumpulkan dan merekatkan serpihannya tanpa melukai tanganku sendiri. Semua berlangsung begitu menyakitkan dan aku melaluinya sendirian. Semuanya menggelap hingga dia datang. Aiden datang. Datang menawarkan kasih sayang, memberi perlindungan yang tidak kusangka dapat dilakukan oleh anak laki-laki berumur 14 tahun.

Bersama Aiden, semua membaik. Ceruk kosong bernanah yang timbul karena kepergian Ayah perlahan mengering. Tidak sembuh, tidak pernah sembuh. Tapi setidaknya tidak bernanah lagi.

Dan kemudian, Keenan muncul entah dari mana. Membuatku tahu bagaimana rasanya ketika perut kita penuh kupu-kupu. Tapi itu hanya sementara, karena dia tidak benar-benar tinggal.

Sekarang semuanya berubah. Aku tidak tahu apa yang salah, namun kemarahan tiba-tiba menguasaiku. Kesedihan, kemarahan, semua ini.. Kenapa?

Aku tidak ingin merasa untuk siapapun lagi. Tidak Aiden, tidak juga Keenan. Aku sudah cukup bodoh dengan membiarkan hatiku condong ke arah Keenan tanpa mengenalnya. Kemudian bertambah bodoh karena membiarkan Aiden melakukan semua hal untukku. Membuatku bergantung padanya.

Ya Tuhan. Aku menjambak rambutku frustasi. Apa yang salah dengan diriku? Kenapa aku menjadi orang tolol hanya karena Keenan yang tiba-tiba muncul, menawarkan bantuan, dan berlagak seperti seorang teman? Kenapa aku menjadi rapuh hanya karena Aiden tiba-tiba bertunangan dengan Aish?

Seharusnya aku membuang— membuang semua perasaan ini. Alih-alih menyimpannya jauh, jauh ke dalam rak yang telah kubangun tinggi.
Beginilah jadinya. Sesuatu yang tidak kubuang pada akhirnya akan kuambil kembali. Kurawat diam-diam. Dan pada akhirnya semua itu sia-sia.

Aku akan mengeluarkan semuanya. Aku akan memberitahu mereka yang sebenarnya. Mungkin aku akan terlihat lemah, bodoh, atau apapun yang lainnya karena membiarkan diriku terbuka sedemikian lebar. Membiarkan mereka melihat, menyelam, dan mengetahui apa yang kupikirkan selama ini.

Tapi aku tidak mau tenggelam lebih lama. Aku harus bertemu Aiden, juga Keenan. Aku harus bicara pada mereka. Mengatakan semuanya, kemudian membabat habis rumput liar yang merambat kian lebat. And now, I meant it. I really meant it.

***

SENANDIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang