Bagian XI

20 4 0
                                    

Aku mengalihkan kembali pandanganku ke samping, merasa rikuh karena menangis di depan Keenan. Rasanya seperti membiarkan orang lain melihat versi diriku yang rentan. I hate being vulnerable. Untungnya Keenan diam saja, tidak memberi penghiburan melalui kata-kata ataupun kontak fisik. Aku harus berterima kasih padanya untuk itu. Nanti.

Lama sekali kami disana, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hujan deras mengguyur Jogja, membawa debu yang menyangkut di udara, membawa mereka turun ke jalan-jalan, membawa mereka turun melalui parit-parit kecil, gorong-gorong besar--menuju sungai kecil, sungai besar, berakhir di laut. Aku menganalogikan perasaanku, apapun itu, seperti debu. Berharap hujan menariknya keluar dari udara, membawanya jauh, jauh hingga aku tak perlu menghirupnya bersama dengan oksigen yang merembes masuk ke dalam paru-paru.

Aku merasakan sedikit pergerakan di sebelahku. Kegelisahannya dan suara Edith Wiskers memotong lamunanku. Aku memastikan air mataku mengering sempurna sebelum berbalik ke arahnya, mencoba mencari tahu niatnya.

Dia menghadap ke arahku dan bertanya, "Kopi Klotok?"

Aku menganggukkan kepala padanya dan mobil kembali melaju membelah jalanan yang basah. Perjalanan memerlukan waktu singkat karena tempatnya memang tidak begitu jauh, hanya sekitar 5 km. Aku merasakan mobil bergerak perlahan ketika memasuki pelataran parkir. Keenan mencari spot parkir yang memiliki jarak terdekat dengan warung. Dia menemukan satu dan mobil terparkir dengan rapi. Dia memutar tubuhnya ke belakang, kepalanya mencari sesuatu, kemudian kurasakan tangannya bergerak ke belakang kursiku. Aku mengangkat alis dan menatapnya dengan pandangan bertanya. Dia membawa sebuah payung lipat hitam di tangannya sebagai respon. Aku mengangguk pelan dan dia kembali duduk dengan nyaman di kursinya. Kemudian dia mematikan mobil dan menoleh ke arahku, "Wait a minute."

Aku mengangguk dan dia membuka mobil perlahan. Tangan kanannya mengeluarkan payung dan membentangkannya dengan cepat kemudian keseluruhan tubuhnya keluar. Aku memperhatikan ketika dia mengitari mobil dan berlari kecil ke arah samping. Aku menyampirkan tas di pundak dan keluar perlahan saat dia membuka pintu mobil. Kurasakan telapak tangannya membayangi punggungku dan mengarahkanku lebih dekat padanya sehingga kami terlindung sepenuhnya di bawah payung.

***

Kami memilih tempat di saung yang agak jauh dari pengunjung lain. Aku menatap sajian kopi klotok dan pisang goreng di hadapanku. Uap panas mengepul di keduanya, menggugah seleraku. Apalagi yang lebih enak daripada kopi dan pisang goreng di kala hujan begini kan?

Aku berdehem untuk mengusir gumpalan di dadaku sebelum mulai membuka obrolan dengan Keenan. Aku menatapnya dan dia balik menatapku canggung. Aduh, kenapa jadi awkward gini sih?

"Makan, yuk?" ucapku dengan tangan mengarah ke sajian di depan kami. Seharusnya ini ajakan, tapi aku mendengar nadaku seperti bertanya. Aku menggelengkan kepalaku dan mulai menyesap kopiku perlahan.

Keenan mengangguk dan menyesap kopinya juga. Aku beralih mengambil pisang, meniupnya tipis-tipis, dan menggigit ujungnya. Aku menatap Keenan yang melakukan hal serupa. Kami bertukar pandang canggung sebelum tawa kecil mengudara diantara kami. Kemudian hening, lagi.

"Kenapa jadi canggung gini ya suasananya?" ujarnya memecah keheningan.

Aku menggaruk pelipisku, menyampirkan helaian rambut ke belakang telinga, dan menarik senyum kikuk.

"Santai aja nggak sih, kita, Askana?" katanya sambil bersandar di kursi, mencoba rileks.

Aku menarik napas dalam sebelum mengangguk mantap, "Iya."

Aku mencoba mencari topik, "Hujannya deres ya? Daritadi nggak berhenti."

Aku memandang keluar saung, memperhatikan tetesan air yang jatuh dari atap dan menciptakan legokan bundar di tanah.

SENANDIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang