CALL - 20 | I'M FOOL FOR YOU

6.9K 709 216
                                    

Hari berlalu semenjak mereka saling mengutarakan isi hati dan sama-sama 'sepakat' untuk benar-benar menerima dan mempercayai satu sama lain.

Jan Lakis mulai paham bahwa Samira merupakan wanita yang tidak suka terburu-buru. Wanita itu sama seperti dirinya—bagaikan cerminan diri—banyak skeptis terhadap suatu hal hingga sulit untuk dibuat percaya.

Namun memang, mungkin perbedaannya dalam menghadapi persoalan 'perasaan' terletak pada sisi rasionalitas. Jan lakis mengakui bahwa dirinya yang selama ini mengatasnamakan rasionalitas—dalam menghadapi perasaannya sendiri—ternyata tidak lebih dari sekadar omong kosong belaka. Sebab, alih-alih berpikir rasional dengan mempertimbangkan bukti yang jelas, Jan Lakis malah berpegangan pada asumsi semata.

Tidak ada bukti nyata yang bisa ia tuduhkan pada Samira—atas asumsinya yang berpikir bahwa sebtulnya wanita itu hanya ingin memanfaatkannya saja.

Bahkan, ketika Yan Jati mengirimkan berlembar-lembar foto yang menunjukkan kedekatannya dengan personal assistant-nya—Jared—itu tidak menunjukkan apa pun. Tidak dapat dijadikan sebagai bukti sebab Jan Lakis mendengar apa yang dibicarakan wanita itu terhadap mantan kekasihnya melalui putaran video yang ia dapatkan. Tetapi, bagaimana bisa selama ini Samira tampak percaya bahwa cinta bisa tumbuh di antara mereka?

Bagaimana bisa wanita itu meyakini bahwa rumah tangga ini bisa berjalan sebagaimana mestinya?

Kedua pertanyaan itu sempat terlintas di kepala Jan Lakis sebelum ia memukul kepalanya sendiri sebab teringat akan semua jawaban Samira terhadap arti sebuah pernikahan dalam pandangannya.

Semua jawaban yang diberikan wanita itu membuat Jan Lakis yakin dan mulai memiliki pandangan baru terhadap suatu pernikahan.

Pernikahan yang selama ini Jan Lakis kenal selalu dilandasi atas dasar sebuah kepentingan—persis dengan apa yang dijalani dirinya dengan Samira Noa sekarang. Tidak pernah ada cinta yang menjadi fondasi dalam setiap rumah tangga yang Jan Lakis lihat dan kenal—bahkan dari kedua orang tuanya sendiri. Kekokohan rumah tangga mereka hanya dikarenakan sebuah pilar 'kekuasaan' dan 'keuntungan' bisnis semata. Itu artinya, ikatan yang mereka jalani bukan karena perasaan, tetapi sebuah perhitungan untung-rugi.

Jangan ditanya bagaimana seorang anak tumbuh dalam keluarga seperti itu, sebab dalam sekali tebak—dapat langsung terbayangkan betapa polosnya mereka dalam memahami arti sebuah perasaan seperti dalam bentuk cinta dan empati.

Maka, tidak heran pula bila melihat Yan Jati dan Yoona Saudjaja tampak seperti orang asing bila di rumah. Pernikahan yang mereka jalani hanyalah sebagai formalitas semata dan keturunan yang mereka ciptakan hanya diperuntukan sebagai penerus hak waris agar kekayaan mereka tidak terputus.

Yoona dan Yan Jati bahkan hanya saling berbicara bila memang itu berkaitan dengan bisnis atau hal lainnya yang urgensi dan memang membutuhkan peran mereka sebagai orang tua dalam hal formal. Di luar itu semua, mereka hanyalah orang asing yang tinggal dalam satu atap.

Itu sebabnya, selain hidup dalam kekang kontrol yang begitu kuat, Jan Lakis juga tidak pernah tahu bagaimana sebuah pernikahan seharusnya berjalan dan bagaimana rumah tangga yang harmonis itu diciptakan. Yang ia lihat dari orang tuanya, rumah tangga itu bagaikan kabut tipis yang tembus pandang; juga seperti suara yang masuk dari kuping kanan dan ke luar dari kuping kiri. Terlalu semu, terlalu abu-abu bahkan hampir kelabu.

Dengan pengalaman seperti itu, Jan Lakis ingin mengubahnya dan menemukan cinta dengan versi sesuai 'ekspetasinya'.

Jan Lakis memang menyebutnya sebagai 'ekspetasi' sebab selama ini dia tidak pernah menemukan dan merasakan cinta sebagaimana mestinya. Dia hanya meraba-raba yang kemudian secara tiba-tiba harus dihadapkan dengan situasi yang sama yaitu menjalani sebuah perjodohan.

CALL ME YOUR WIFE, LAKIS! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang