11. petir

1.5K 239 64
                                    

Malam ini, [Name] tidak bisa tidur nyenyak karena petir di luar rumah sangat mengganggu dan menakutkannya. Dia sudah pindah ke kanan, pindah ke kiri tapi tetap tidak bisa tidur. Sedangkan Gentar ― suaminya ― malah bisa tidur nyenyak seolah tidak terganggu. Astaga.

Sejak kecil [Name] memang takut pada petir, karena dahulu dia menyaksikan secara langsung tetangganya yang kesambar petir saat bermain hujan-hujanan dengannya. Alias, [Name] ini PTSD. Akhirnya perempuan itu bangun dari ranjangnya dengan hati-hati, dia duduk bersandar pada ujung ranjang sambil menutup telinganya.

Saat dia lihat ponselnya, katanya cuacanya akan seperti ini terus ke depannya. Yang mana itu artinya [Name] tidak akan mendapatkan ketenangan untuk beberapa hari ke depan.

Aduh, [Name] ingin membangunkan Gentar tapi merasa tidak enak. Ingin minta bantuan para husbunya tapi kalau tentang petir [Name] akan menjadi orang yang realistis. Dia sadar husbu-husbunya itu tidak bisa membantunya menyudahi petir.

"Hah...." [Name] menghela napasnya pelan, dia memilih kembali pada posisi tiduran karena merasa tidak akan ada yang membantunya. Hanya saja, kali ini dia sedikit mendempetkan tubuhnya pada tubuh Gentar. Seolah memberi kode agar pria di sampingnya memeluknya.

"Ge," [Name] menatap wajah pulas Gentar, masih sedikit berharap agar dia bangun tanpa harus dibangunkan. "Gentar," sekali lagi, [Name] memanggil namanya mencoba untuk memancing kesadaran Gentar. Namun hasilnya pun nihil. Pria itu tidak bangun.

Akhirnya, [Name] memilih semakin mendempetkan diri pada Gentar. Suara petir di luar semakin kencang, [Name] pun semakin mendepet dirinya ke arah Gentar. Perempuan itu mencoba menarik tangan Gentar agar bisa meraih dirinya dan memeluknya. Selain itu, [Name] juga mencoba menggeser tubuh Gentar agar tidak begitu berada di ujung ranjang―karena pergerakan rusuh yang dilakukan oleh [Name], Gentar pun jadi sedikit terusik.

Pria itu akhirnya membuka matanya yang masih sayu. Dia terlihat bingung sendiri kala [Name] ada di dalam pelukannya dengan raut wajah ketakutan. Hal itu membuat Gentar jadi berpikir sebenarnya apa yang terjadi?

"[Name]?"

"Ya? Ah―sorry, Ge. Sebentar ya, begini dulu sebentar aja. Sampe suaranya hilang."

Huh? Suara? Gentar masih tidak mengerti. Dia langsung melihat ke sekitar dan ke arah jendela kamarnya yang tertutupi oleh gorden. Dari arah Gentar yang sedang tiduran seperti ini, sedikit terlihat ada tetesan air hujan di luar. Mungkin maksud [Name] suara hujannya. Pikir Gentar.

"Oh, suara hujannya ganggu?" Gentar berusaha peka.

"Enggak, bukan hujan. Yang satunya."

"Hah? Yang satunya―"

DUARR.

Buset.

Ketika petir kembali bersuara, [Name] ikut mengeratkan genggamannya pada Gentar, dia sedikit terkejut ketika mendengar suara petir yang barusan, membuat Gentar langsung paham apa yang dimaksud oleh [Name].

Perempuannya ini takut dengan petir.

Lantas, Gentar sedikit maju dan memeluk tubuh [Name] erat. Dia memberi sebuah kecupan di kening untuk [Name] yang masih ketakutan.

"Aman, aku di sini. Nggak akan lama petirnya."

"Hihh, kata siapa nggak lama? Ini udah dari tadi tau petirnya gini terus. Makin ke sini makin besar suaranya. Kamu sih baru bangun, coba kalo bangun dari tadi!"

Mau romantis, malah diomelin. Yah, Gentar gagal deh.

"Gak usah ngomel malem-malem, heh. Nanti yang di dalem perut juga nangis karena kamu ngomel-ngomel ke PaGen."

"... Siapa PaGen?"

"Papa Gentar lah, siapa lagi? Ya kali Papa Gempa."

"Jelek banget?! Padahal aku maunya chichi."

"... ITU LEBIH ANEH DARI PADA PAGEN YA."

Tuh kan, karena sibuk ngobrol santai sama paksu, [Name] sampe lupa dari tadi ada suara petir.

"Tapi chichi kan lucu, Ge."

"Lucu dari mana, [Name]? Aneh banget."

"Kata siapa aneh banget? Itu bagus tau! Kamu nanti bisa ngerasa kayak di dunia anime."

"[Name], kamu ngomong gini aku jadi takut nanti anak kita jadi wibu parah kayak kamu."

"... Kamu ngatain aku wibu parah?"

"HAH―ENGGAK, BUKAN ITU MAKSUDKU."

"Oh, gitu ya? Jadi sebenarnya kamu gak suka aku kayak gini...? Kamu terpaksa ya? Kenapa gak bilang dari awal aja? Maksud kamu apa kayak gini?"

Nah kan, Gentar salah ngomong lagi. Padahal biasanya [Name] oke-oke saja kalau dia bilang wibu atau hal lainnya. Perempuan ini paling hanya memutar bola mata malas dan mencubitnya. Akan tetapi kali ini dia dimarahi, eh? Tumben. Apa karena sedang mengandung?

"Demi, [Name]. Maksudku bukan gitu astaga. Kamu jangan manjangin gitu―"

"―ohhh, jadi menurut kamu aku manjangin? Jadi menurut kamu aku ganggu ya malem begini malah kayak gini? Okeee, maaf. Udah deh gak usah pelukan lagi, aku bisa sendiri kok. Petir doang ngapain takut."

"[NAME] ASTAGAAAA,"

[Name] tak peduli dengan teriakan kecil Gentar, dia langsung mengeluarkan diri dari pelukan Gentar dan sedikit menjauh dari pria itu. Di tengah-tengah ranjang Gentar, [Name] berikan guling agar Gentar tidak mengganggunya. Dia menutup telinganya dengan tangan kanan dan langsung menutup matanya. Cuman―

DUARR

suara petir kembali terdengar. Kali ini sangat kencang lebih kencang daripada sebelumnya; yang mana hal itu langsung membuat [Name] kembali mendekatkan diri kepada Gentar.

"Nggak jadi, tetep pelukan sampe pagi."

Astaga.

".... Lucu."

"...?? Maksud kamu apa? Aku lucu pas ketakutan? Oh gitu? Kamu gak ngerasa kasian?"

"APASIH [NAME],"



______

GenNem kembali ges 🤭

mnurut kalian panggilannya mending apa?
pagen dan hahaoya atau apa nie, aku pusing mikirin nama panggilan gajelas mereka

mau up lagi kapan ges? 👀 3 bulan lagi? /heh

Shdgdg tinggal dikit lagi tamat 😭😭❤ alhamdulillah deh aku tinggalin ini 3 bulan karena sibuk, balik-balik insyaallah bisa ngerjain sampe akhir

see u pan kapan

wibu; b. gentar [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang