9.

3 0 0
                                    

9. Masa Sebelumnya.

“DIE!” Teriak seorang wanita yang lebih tua pada Diena remaja yang tengah meringkuk di balik selimut usangnya.

Diena hanya meringkuk gemetaran, suhu tubuhnya memanas akibat demam yang menyerangnya. Tubuh kurus Diena terasa begitu sakit, tapi dia tidak tahu harus berbuat apa. Kamar sempitnya terasa begitu pengap akibat barang-barang bekas yang menumpuk di sana. Entah kamar itu tetap bisa disebut kamar atau lebih tepatnya gudang. Teriakan wanita itu memenuhi seluruh kepala Diena, tapi ia tidak memedulikannya.

“Brak!!!” Pintu kamar itu terbuka paksa dan menampakkan seorang wanita dengan pakaian dress berwarna hitam berdiri di ambang pintu. Wanita itu langsung menarik selimut Diena dengan kasar. Diena langsung meringkuk kala tubuhnya merasakan dingin yang menjalar dalam sekejap.

“Aku sudah katakan padamu, JANGAN BUAT MASALAH!” Teriak wanita itu tepat di telinga Diena. “Apa yang kau lakukan pada Pinkan? Apa kau ingin kita semua mati? Jika keluarga itu menghentikan untuk memberikan dana pada kita, kita semua bisa mati, BODOH! Dan itu semua karena ulahmu pada Pinkan.” Teriak wanita tua itu lagi.

Diena langsung duduk dan berteriak pada wanita tua itu, “Seharusnya kalian membelaku!” Teriak Diena dan, “Plak!!!” Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Diena.

“Apa otakmu yang kecil itu tidak bisa digunakan sebentar? Kau menyiramkan air kotor ke Pinkan dan karena itu orang tua Pinkan memberikan peringatan padaku. Karena siapa? Karenamu, BODOH!” Wanita itu menjambak rambut Diena sampai kepala Diena menghadap ke langit-langit ruangan.

Diena meringis karena sakit di kepalanya, ia berusaha melepaskan jambakan wanita itu dan memohon agar wanita itu melepaskan tangannya. “Sakit…” Diena meringis kesakitan dengan air mata yang mengalir begitu saja ke pipinya.

“Ini peringatan terakhir. Kalau keluarga Elison mencabut semua fasilitas dan juga berhenti memberikan dana pada kita, aku akan menjualmu pada para petinggi bermata kuning itu. Aku tidak peduli apakah mereka menjadikanmu budak, pesuruh, atau bahkan pelacur. Yang pasti, aku akan menjualmu seandainya terjadi sesuatu lagi.” Ucap wanita itu lagi dan melepaskan dengan kasar tangannya dari rambut Diena.

Wanita itu berjalan keluar dari kamar Diena, “Sebagai hukumanmu, bereskan tumpukan cucian di tempat cuci! Jangan bermalas-malasan!” Wanita itu pergi begitu saja setelahnya.

Diena hanya menangis, ia menangisi nasibnya yang selalu saja buruk, ia merutuki dirinya sendiri. “Kenapa aku selalu bernasib buruk seperti ini? Apa karena aku bermata ungu?” Ujar Diena di tengah tangisannya. “Bukan keinginanku memiliki warna mata ungu seperti ini. Orang tuaku bahkan meninggalkanku disini begitu saja.” Ia menangis sejadi-jadinya merutuki kehidupannya sendiri.

“Kenapa aku harus terlahir di dunia seperti ini?” Gumam Diena sambil memeluk kedua kakinya. “Aku benci dunia dengan sistem warna seperti ini…” Diena memeluk kakinya semakin erat. “Ditambah lagi aku harus terlahir dengan mata ungu ini.” Ia menutup mata kanannya dengan tangan kanannya. “Merah… Kuning… Hijau… Biru… Ungu… Kenapa urutan itu harus mendikte hidupku selama ini?” Air matanya mengalir semakin banyak.

“Ungu, takdir hidupmu itu memang untuk menjadi pesuruh! Sedih sekali ya, takdirnya sejak lahir sudah digariskan begitu buruk! Ungu, artinya budak. Ungu, kalau bukan karena panti asuhan, sudah pasti anak-anak ungu yang ditinggal orang tuanya itu akan menjadi barandalan, anak jalanan, atau bahkan pelacur. Ungu, kau bekerja di rumah pelacuran? Ungu, nasib paling menyedihkan. Ungu… Ungu… Ungu…” Semua kalimat-kalimat itu terus berputar di kepala Diena sampai ia merasakan kepalanya begitu sakit.

Destiny Of Eyes (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang