17.

4 0 0
                                    

17. Tidak Ada Kesempatan yang Tersisa

Langit menggelap, malam datang cukup cepat, nampak banyak orang berkumpul di sebuah ballroom hotel. Itu ruangan yang besar dengan banyak sekali meja bundar, terlihat jelas kalau sedang ada perjamuan di sana. Satu persatu tamu datang dan duduk di masing-masing meja yang sudah diatur. Pakaian para tamu itu nampak elegan dan berkelas. Semua orang berkumpul dan saling berbincang, mereka nampak cukup akrab satu sama lain.

Ada satu meja yang nampak berbeda dari yang lain. Meja itu diselumuti kain berwarna merah dengan mawar hitam yang diletakkan pada vas di bagian tengahnya. Nampak berbeda dengan meja lain yang diselimuti kain putih dan mawar merah. Meja yang berada tepat di depan panggung yang cukup besar itu itu nampak kosong sampai seorang laki-laki dengan setelan merah gelap yang senada dengan warna matanya duduk di sana.

Pada sebuah meja, nampak 3 orang tengah duduk dengan pakaian-pakaian yang nampak mahal berwarna emerald. Mereka adalah sebuah keluarga kecil yang sedari tadi memandangi meja bernuansa merah itu. Nampak di meja yang mereka tempati, ada sebuah papan bertuliskan “Friezman & Elison”.

“Apakah itu Tuan Rudolf?” Ucap seorang perempuan bermata hijau.

“Rudolf Akasaka.” Sahut laki-laki bemata hijau yang duduk di sampingnya.

“Ayah Yein?” Tanya seorang gadis bermata hijau yang lebih muda.

“Sangat sulit untuk bisa mendekati keluarga Akasaka. Padahal kalau kita bisa dekat dengan mereka, perusahaan kita akan berkembang pesat.” Ucap laki-laki itu lagi.

“Iya, bahkan Pinkan kita juga tidak bisa berteman denan Yein di sekolah.” Sahut perempuan yang lebih tua sambil melirik seorang gadis muda yang duduk di samping mereka.

Di tengah perbincangan keluarga itu datang seorang pemuda dengan setelan jas berwarna krim. Ia menghampiri meja keluarga kecil itu dan duduk tepat di samping gadis muda dengan mata hijau itu.

“Selamat malam, Om, Tante!” Sapa pemuda itu pada orang tua Pinkan dan hanya dibalas senyuman oleh dua orang tua itu.

“Apakah orang tuamu masih dalam perjalanan luar negeri?” Tanya si perempuan yang dipanggil “Tante” itu.

“Iya, ada keterlambatan penerbangan, jadi mereka tidak sempat datang.” Sahut Kenji.

Keluarga Elison nampak sangat dekat dengan Kenji. Mereka berbincang sedikit sampai lampu ruangan itu diredupkan dan hanya menyorot pada panggung di depan sana. Seorang laki-laki dan perempuan dengan setelan putih yang serasi berdiri di tengah panggung itu dengan sebuah mic dan kertas kecil di tangan masing-masing.

“Selamat malam para hadirin sekalian, salam hormat kami ucapkan pada setiap orang yang hadir pada acara perjamuan pada malam hari ini.” Ucap kedua orang itu menyapa semua orang di ruangan besar itu.

Para pembawa acara membuka kegiatan malam hari itu dengan serangkaian kegiatan pembuka. Semua orang mengikuti kegiatan demi kegiatan dengan hikmat sambil menyantap makanan yang disajikan di meja mereka masing-masing, tampak sekali acara malam hari itu begitu berkelas dan megah. Sampai mereka sampai di bagian dimana seorang laki-laki dengan setelan merah gelap tengah berdiri di tengah panggung setelah dipersilakan oleh kedua pembawa acara di sana.

“Terima kasih atas kesempatannya. Dengan ini saya ucapkan salam hormat saya pada para rekan-rekan bisnis sekalian dan keluarga masing-masing yang sudah hadir di sini pada malam hari ini.” Ucap Tuan Rudolf Akasaka menyapa semua orang di sana dan disambut tepukan tangan semua orang.

“Saya tidak akan bertele-tele dan masuk ke inti tujuan saya mengadakan perjamuan pada malam hari ini. Malam hari ini, bersamaan dengan acara jamuan ini, saya ingin memperkenalkan kembali sahabat karib saya, orang yang sangat berjasa dalam hidup dan perjalanan bisnis saya, dan saya yakin beberapa di antara para tamu malam hari ini sudah mengenal sahabat saya ini.” Ucapnya lagi.

Di sela-sela kegiatan itu, nampak semua orang berbincang-bincang menebak siapa orang yang dimaksud oleh Tuan Akasaka itu. Semua orang membicarakannya, termasuk keluarga Elison.

“Apakah Tuan Youra datang?” Ucap sang istri pada suaminya.

“Sepertinya begitu. Tuan Youra sudah lama tidak muncul, terakhir kali dia muncul ke publik itu sekitar 5 tahun lalu.” Sahut sang suami.

“Youra? Aku tidak pernah mendengar nama keluarga itu.” Pinkan masih asing dengan nama yang baru saja ia dengar.

“Dia hanya memiliki seorang istri, namun meninggal 5 tahun lalu. Ia terbunuh karena sebuah kecelakaan.” Sahut sang ibu.

“Warna mata mereka apa?” Sekarang Kenji yang bertanya pada kedua orang tua Pinkan, tapi belum sempat ia mendengar jawabannya, tiba-tiba riuh tepuk tangan memenuhi ruangan ballroom besar itu.

Seorang laki-laki dewasa dengan pakaian hitam dan sedikit corak merah kini bergabung dengan Rudolf Akasaka di panggung. Kedua orang itu berpelukan sesaat untuk saling menyapa. Riuh suara orang-orang memenuhi ruangan.

“Kau terlalu berlebihan untuk menyambutku, Akasaka.” Ucap laki-laki itu pada Rudolf Akasaka.

“Aku terlalu senang melihatmu kembali, Youra.” Sahut sahabat karibnya itu.

“Selamat malam semuanya, senang bisa bertemu dengan para rekan bisnis setelah sekian tahun berlalu.” Ucap Youra menyapa para hadirin malam itu.

“Seperti yang kita semua ketahui, sahabatku ini adalah salah satu investor sekaligus petinggi di perusahaan Akasaka. Ia juga memiliki beberapa perusahaan lain yang dijalankan di dalam dan luar negeri. Saat perusahaanku dalam keadaan terpuruk, dia-lah yang datang merangkulku dan membantu kami bangkit.” Tuan Rudolf nampak sangat bangga memperkenalkan sahabat karibnya. “Hanya saja memang dia jarang muncul di publik beberapa tahun belakang dan memilih bekerja di balik layar. Beberapa hari lalu, ia mengabariku dan memutuskan untuk kembali ke publik dan itu membuatku sangat senang, dan terjadilah jamuan makan malam ini.” Ucap Rudolf Akasaka dengan sangat bersemangat.

Di sela-sela obrolan itu nampak dua orang muda yang terpaku menatap Youra. Keduanya terdiam melihat ke arah penutup mata kanan berwarna hitam yang dikenakan oleh Youra, ditambah mata kiri Youra yang nampak berwarna merah, sama dengan milik Rudolf Akasaka. Jantung kedua orang itu berdegup kencang, pikiran mereka menyambungkan kejadian demi kejadian.

“Red Eyes.” Gumam Pinkan dan Kenji bersamaan.

Keduanya bersamaan menoleh dan menatap satu sama lain, pikiran mereka seakan tahu apa yang akan dibicarakan oleh masing-masing. Namun, belum sempat mereka saling bicara, sebuah pesan masuk ke ponsel keduanya. Sebuah pesan yang sama dari orang yang sama.

“Aku sudah peringatkan kalian untuk tidak mengganggu Diena. Aku tidak bisa membantu kalian setelahnya. Maaf, aku sudah berusaha sampai batasku.” Pesan itu terdengar aneh ditambah nama kontak yang tertera dari pesan itu bertuliskan, “Yein Akasaka”.

Pinkan menoleh mencari sosok pengirim pesan itu dan nampak seorang pemuda dengan setelan merah gelap tengah duduk di meja berwarna merah di depan panggung sana.

“Bersamaan dengan jamuan malam ini, saya juga ingin memperkenalkan seseorang pada para rekan sekalian. Dia seseorang yang akan meneruskan bisnis saya di masa depan.” Ucap Youra dan membuat semua orang berbisik-bisik.

“Bukankah dia tidak punya anak?” Begitulah kalimat semua orang berbisik-bisik.

“Saya perkenalkan pada para hadirin sekalian, putri angkat saya, Diena Ratthenzuko.” Ucapan itu membuat semua orang terpaku.

Destiny Of Eyes (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang