16. Next Revenge
Gudang berdebu itu nampak sepi dari luar, padahal ada 5 orang yang berdiri berhadapan dengan seorang dengan jubah merah di sana. Mereka semua diam untuk sesaat. Hanya ada suara angin yang melewati lubang udara di atas pintu dan jendela ruangan gudang itu.
Tangan Pinkan terangkat mengacungkan pistol pada Diena. “Aku tidak menyangka kau sampai begitu terobsesinya dengan mata merah, Die. Sampai kau berani sekali membohongi seluruh dunia dengan kontak lensa merah itu.” Jari telunjuk Pinkan diletakkan tepat di depan pelatuk pistol itu. “Mari kita lihat akan bertahan berapa lama acting-mu ini?” Ucap Pinkan berusaha menakuti Diena.
Bukannya takut, Diena justru merentangkan kedua tangan dengan lebar. “Aku menyukai ini. Baiklah, mari kita lihat, apakah kau masih membawa pistol mainan yang sama seperti 2 tahun lalu atau tidak?” Ucap Diena dengan berani.
Pinkan nampak terkejut dengan respon Diena. Bukan respon itu yang diharapkan Pinkan. Ia berharap Diena ketakutan dengan pistol yang diacungkannya, tapi kenapa respon Diena seakan menantang Pinkan. Harga diri Pinkan dipertaruhkan, jika ia tidak menembak, itu akan mencoreng harga dirinya, tapi di sisi lain… Jika ia menembak, ada ketakutan akan kematian Diena di pikirannya.
Pinkan terlanjur maju, ia tidak bisa mundur lagi. Pinkan lantas menarik pelatuk pistol di tangannya dengan segera.
“DOR!” Suara tembakan terdengar nyaring dari dalam gudang itu.
Cairan merah mengalir dan melebar di kemeja dekat dada kiri Diena. Cairan merah itu juga mengenai jubah merah Diena. Semua orang terkejut, termasuk Pinkan yang langsung menjatuhkan pistol di tangannya. Diena menatap cairan merah yang melebar di seragamnya. Ia lalu perlahan membuka jubah merahnya, Diena melepaskan jubah merah itu sampai tergeletak di lantai, dan kini tubuh Diena langsung menampakkan kemeja seragamnya dengan cairan merah yang semakin melebar.
Diena nampak tenang untuk seseorang yang baru saja tertembak. Ia lalu merogoh saku kemejanya dan mengambil sebuah tube kecil yang dipenuhi cairan merah. “Sayang sekali kau mengenai botol tinta ini, Pinkan. Aku jadi harus mengganti seragam begitupun dengan tinta merah ini.” Ucap Diena sambil melepaskan botol tinta di tangannya.
Kelima orang di hadapan Diena masih diam saja. Ada rasa terkejut dan juga bingung yang muncul di benak mereka. Bagaimana bisa Diena tidak bergeming setelah tertembak pistol Pinkan? Kelima orang itu benar-benar tidak percaya dengam apa yang mereka lihat.
“Baiklah, kurasa sekarang giliranku.” Ucap Diena sambil mengeluarkan sebuah pistol dari arah pinggang belakangnya. Diena menodongkan pistol itu pada Pinkan, “Kenapa hanya diam?” Tanya Diena.
“Oh, kalian bingung kenapa aku baik-baik saja ya?” Diena lalu membuka kemejanya perlahan dengan pistol masih melingkar di jari-jarinya.
Diena melepaskan seragamnya dan kini ia hanya mengenakan kaus dalam dengan rompi hitam yang dipenuhi banyak pisau di bagian depan. Tatapan semua orang tertuju pada Diena. Tidak ada yang angkat bicara.
“Rompi anti peluru.” Ucap Diena singkat.
Setelah melihat Diena seperti itu, tiba-tiba dua gadis yang sedari tadi menemani Pinkan melangkah mundur. “Psikopat.” Gumam salah seorangnya, lalu kedua gadis itu berusaha untuk kabur dari sana.
“DOR!” Suara tembakan berbunyi nyaring. Sebuah peluru melesat melewati kelima orang di hadapan Diena dan mengenai pintu gudang. Tatapan Diena melihat kelima orang di hadapannya yang kini merunduk ketakutan di lantai.
“Aku sudah peringatkan kalian untuk tidak menggangguku! Bahkan Yein juga sudah berusaha memberitahu kalian. Tapi, kalian tetap melakukannya dan aku tidak punya pilihan lain.” Ucap Diena.
“Krieeettt…” Suara pintu gudang terbuka perlahan. Seorang laki-laki bermata hijau dengan setelan rapi nampak berdiri di ambang pintu. Laki-laki itu nampak memegangi tas Diena di tangannya. “Maaf mengganggu waktunya, Nona! Tapi, kita harus segera pulang, Nona.” Ucap laki-laki dengan sedikit membungkuk pada Diena.
Diena menurunkan tangannya, ia lalu menjatuhkan pistol di tangannya. Setelahnya, ia membuka rompi anti peluru di tubuhnya dan membiarkan rompi itu tergeletak di lantai. “Tuan Finn, boleh aku minta tas-ku?” Ucap Diena singkat.
Laki-laki itu berjalan mendekati Diena dan menyerahkan tas di tangannya. Diena lalu mengeluarkan sebuah seragam bersih dan jubah merah dari dalam tasnya. Diena lantas mengenakan seragam itu, lalu menutup kembali kepalanya dengan jubah merah yang baru saja ia keluarkan.
“Apa kau bisa membereskan semuanya?” Ucap Diena.
“Akan saya selesaikan, Nona.” Sahut Tuan Finn.
“Aku tunggu di mobil.” Ujar Diena sambil berjalan keluar dari gudang itu dan meninggalkan Pinkan dan teman-temannya bersama Tuan Finn.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny Of Eyes (Selesai)
FantasyKala dunia menentukan kasta berdasarkan warna mata, sungguh menyedihkan kehidupan Diena. Takdir buruk seakan sengaja digariskan pada Diena hanya karena warna matanya. Cerita Pendek Selesai