12. Pesuruh
Langit malam yang gelap sekali, begitu ramai orang-orang yang makan di restoran malam itu. Diena hanya memandang semua orang dari balik topeng yang menutup setangah wajahnya itu. Diena mengenakan setelah dress pendek berwarna hitam dan berdiri di dekat kasir sambil memandangi semua yang datang ke restoran malam itu. Tidak lupa jubahnya yang kali ini berwarna hitam senada dengan pakaiannya. Semua orang yang datang ke restoran malam itu mengenakan pakaian serba hitam, termasuk para pelayan yang ada di sana.
“Ratthenzuko!” Bisik seseorang dari arah belakang Diena.
Diena lantas menoleh, nampak seorang yang tidak asing mengenakan topeng hitam dan setelan jas hitam yang membuat sosok itu nampak gagah. “Apa?” Sahut Diena.
“Bisa tolong ikatkan tali sepatuku?” Tanya orang itu lagi pada Diena sambil melirik sepatu pantofel dengan tali yang digoyang-goyangkannya untuk memperlihatkan tali sepatu itu tidak diikat.
“Urus sendiri!” Tolak Diena.
“Ayolah! Aku benar-benar butuh bantuanmu. Kemeja dan celana yang kukenakan sedikit lebihsempit dari biasanya, aku tidak bisa menunduk atau semua pakaian ini akan sobek.” Ucap orang itu lagi berbisik.
“Ganti sana!” Perintah Diena.
“Aku juga inginnya begitu, tapi pamanku sebentar lagi sampai, aku akan menyapanya dulu baru pergi untuk mengganti pakaian.” Bisik orang itu lagi.
Diena hanya menatap sosok tinggi di sebelahnya, lalu ia menghela nafas panjang, “Hanya untuk kali ini, Akasaka.” Ujar Diena dengan tatapan tajam.
Diena lantas menunduk dan sedikit berjongkok menghadap ke arah sepatu yang belum terikat itu. Diikatkannya tali sepatu itu dengan benar lalu ia kembali berdiri setelahnya. “Terima kasih.” Bisik Yein.
“Iya.” Sahut Diena singkat.
Tidak lama, benar saja, datang beberapa orang tamu dan langsung disambut oleh Yein. Diena hanya berdiri di kejauhan, ia memerhatikan satu persatu tamu yang hadir malam itu. Matanya nampak awas melihat pergerakan semua orang. Hari sudah cukup malam, semua tamu yang datang semakin banyak, para pelayan di sana kewalahan. Diena kini membawa satu nampan besar berisi minuman yang siap di antarkan ke masing-masing meja. Ia berjalan dengan perlahan dengan nampan besar di tangannya, di antarkannya minuman-minuman itu dengan baik.
Sampai si salah satu meja, nampak ada beberapa orang muda mudi dengan warna mata kuning dan hijau yang tengah asik bercanda-canda. “Wah… Lihat siapa ini! Diena Naomi.” Ujar seorang gadis dengan mata hijau menatap ke arah Diena.
Diena tidak memedulikan itu, ia menurunkan satu persatu minumandari nampannya ke masing-masing orang yang ada di meja itu. “Rupanya, sifat angkuhmu itu tidak sebanding dengan apa yang kau kerjakan. Kau hanya seorang pelayan, tapi berlagak seperti orang paling kaya di sekolah.” Ucap gadis itu lagi pada Diena.
“Mohon maaf karena sudah menunggu lama, silahkan untuk minumannya! Untuk makanan sebentar lagi akan di antarkan oleh rekan saya. Permisi!” Diena membungkukkan tubuhnya sedikit lalu pergi begitu saja meninggalkan meja para muda mudi itu.
Diena hanya menghela nafasnya, dia merasa sangat malas saat melihat para muda mudi yang meledeknya itu. Diena kenal betul suara gadis dengan topeng itu, siapa lagi kalau bukan Pinkan Elison? Sekali lihat, semua orang akan langsung mengenalinya. Pertanyaannya, kenapa gadis itu datang malam itu? Kehadirannya mengganggu pekerjaan Diena.
Diena kini tengah melayani para tamu, sampai ia tidak memerhatikan ponselnya yang sudah berdering karena telepon masuk dari Cecil dan Brietta. Setelah pekerjaannya cukup senggang, Diena hanya berjalan keluar dari restoran dan membuka ponselnya yang sudah berdering berkali-kali. Diena hanya menatap bingung ponselnya lalu membuka sebuah ruang obrolan atas nama Cecil.
“Die, coba lihat ini!” Ucap pesan itu diiringi sebuah tangkapan layar dalam bentuk foto.
Diena membuka foto yang dikirimkan oleh Cecil lalu melihat sebuah tangkapan layar dari sebuah sosial media dengan nama, Pinkan Elison. Diena melihat foto dirinya tengah berlutut di depan Yein Akasaka sambil mengikatkan tali sepatu yang dikenakan Yein. Pada foto itu juga, terdapat sebuah tulisan, “Purple, Sekali pembantu, tetaplah pebantu. Hubungan yang hanya sebatas pelayan dan atasan.” Diena melihat foto itu nampak terkejut, tapi ia juga sudah menduga kalau akan ada hal-hal seperti ini yang akan dilakukan oleh seorang Pinkan.
“Biarkan saja, aku sedang tidak punya waktu mengurusinya.” Diena mengetik pesan itu lalu dikirimkan pada Cecil dan Brietta yang sedari tadi menghubunginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny Of Eyes (Selesai)
FantasíaKala dunia menentukan kasta berdasarkan warna mata, sungguh menyedihkan kehidupan Diena. Takdir buruk seakan sengaja digariskan pada Diena hanya karena warna matanya. Cerita Pendek Selesai