Cinta yang Salah

504 21 1
                                    

Andrea Winata POV

Gue nggak pernah berharap di posisi ini, tapi gue bersyukur atas apa yang gue miliki sekarang. Gue nggak munafik tapi gue juga sadar sudah terlalu egois di masa lalu.

"Kalea, jangan jauh-jauh mainnya."

"Iya Mami."

Mami? Ah, lucu sekali suara itu memanggil diri gue ini. Ya, gue adalah ibu seorang balita perempuan berusia empat tahun, balita yang selalu bisa menghibur gue disaat gue muak akan hidup.

Kalea selalu tersenyum saat gue menjemputnya dari penitipan anak dan selalu berbisik. "Mami capek ya? Nanti Kale pijit."

"Besok Kale nggak mau main, mau di lumah aja."

Ucapan yang sederhana untuk balita usia empat tahun, tapi itu semua membuat gue semakin bersemangat untuk bekerja menghidupinya. Ya, sebagai single mother gue bisa apa saat kebutuhan ekonomi selalu mendesak? Yang bisa gue lakukan hanya bekerja, hingga gue merasa jika kasih sayang gue kepada Kalea harus dibatasi waktu.

"Mami, ayo main jungkat jungkit." Kami memang tengah menikmati waktu di akhir pekan di sebuah taman yang tidak jauh dari rumah.

"Iya."

Gue menikmati waktu bersamanya dengan harapan setidaknya gue bisa menjadi orangtua yang baik.

Meskipun itu akan sulit saat diri gue-lah yang membuat Kalea kesusahan hidup. Kalea memang mendapatkan gue sebagai ibu, tapi Kalea harus kehilangan sosok Ayahnya.

Dulu gue memang bodoh, dengan percaya akan cintanya kepada gue, meskipun dirinya sudah memiliki tunangan. Ya, gue terlalu polos dalam mempercayai seseorang yang datang.

Tapi gue nggak menyesal karena gue bisa memiliki Kalea sekarang.

Kalau dirunut, gue juga salah. Dimana gue percaya saja dengan omongannya padahal saat itu gue sudah tahu tunangannya.

"Terserah kamu bagaimana, tapi aku memang tidak cinta sama Liana. Aku cintanya sama kamu, Andrea." Ucapnya saat diri gue memergokinya berduaan dengan Liana di kantor. Gue saat itu masih karyawannya, dengan posisi sebagai kepala divisi yang dibawahi langsung, sehingga gue bisa dekat dengannya.

"Kamu tahu sendiri jika Liana ada itu karena bisnis." Ya, Toni dan Liana akan menikah dengan alasan bisnis. Meskipun gue tahu jika keduanya sejak dulu adalah sahabat.

Gue saat itu masih percaya akan omongan Toni, toh kami saling menikmati waktu bersama. Apalagi Toni jauh lebih mementingkan gue sebagai kekasihnya.

"Kalau aku bisa, sekarang pasti aku akan menikahi kamu." Sebagai perempuan gue merasa disanjung saat Toni mengatakan itu. Pernikahan bagi gue adalah impian sederhana saat gue tidak pernah memiliki keluarga buat jadi rumah. Karena gue adalah seorang anak yang harus merasakan rasa sakit sebuah perpisahan kedua orangtua. Gue tumbuh sebagai perempuan yang kesepian.

"Nggak usah cemberut, ayo kita pulang." Ajaknya yang langsung gue iyakan, kami pulang menuju apartemen gue. Sebelum itu kami pergi makan malam bersama.

"Kamu mandi dulu." Ucapnya sambil mengambil ponsel dan duduk di sofa. Gue sendiri memilih untuk mandi. Gue akui antara gue dan Liana hanya satu hal yang membedakan, yaitu uang. Masalah cantik bisa diadu, apalagi tubuh gue ini. Bahkan Toni selalu memuja gue setelah kami melakukan hal itu.

"Kamu candu."

"Apakah kamu juga begitu dengan Liana?" Sebagai cewek kadang gue sadar ruang lingkup Toni cukup bebas, dimana hal ini pasti sudah lumrah.

Toni hanya diam, dia enggan menjawab. Yang gue artikan bahwa dia juga melakukannya dengan Liana. Gue sakit, tapi gue sadar jika gue-lah yang salah disini.

Mungkin mereka melakukannya karena mereka akan menikah, jadi wajar. Sedangkan gue? Sebagai kekasih gelap.

"Kamu cantik dan sexy." Pujinya saat gue keluar mengenakan baju tidur yang tipis dan kerah baju dengan potongan rendah yang memperlihatkan buah d*da gue.

"Oh ya?" Toni bangkit dan memeluk gue mencium punggung gue dan membisikkan cinta. Gue selalu suka akan saat Toni memuja tubuh gue meskipun gue sadar jika ini sementara.

"Kenapa ya, aku saat lihat kamu kaya gini ingin rasanya lari."

Gue diam, enggan untuk menimpali.

"Aku ingin bisa hidup sederhana kaya gini sama kamu, tapi aku sadar sebagai anak tunggal aku nggak bisa." Tangan gue mengusap punggungnya, gue tahu kalau Toni adalah pewaris perusahaan keluarganya yang tidak memiliki kesempatan untuk bisa lari. "Jadi aku mohon agar kamu mau bisa bertahan di sisiku."

Permintaan yang sampai hari ini gue pikirkan. Gue tahu kalau gue menikmati waktu bersamanya, memiliki cinta, dan yang pasti kami saling mendukung. Tapi saat gue sadar ada hal yang tumbuh di rahim gue, semuanya berubah.

Gue ingin Toni ada untuk gue, gue ingin Toni selalu mementingkan gue dibandingkan keluarganya.

Tapi gue salah, sampai kapanpun Toni nggak akan bisa meninggalkan keluarganya. Apalagi ada Liana disana.

"Apa susahnya buat sabar, aku tahu kamu juga berat akan kehamilan ini. Tapi pernikahanku juga nggak bisa dibatalkan." Ucapnya saat itu, gue yang lelah setelah seharian muntah-muntah merasa jika Toni tidak menginginkan gue dan anaknya. Sejak pagi gue mencoba menelponnya, karena gue lemas, gue lelah.

"Kamu mengurus mereka, tetapi kamu lupa akan kami!" Teriakan gue yang sudah tidak bisa ditahankan, gue lelah, dan hormon kehamilan mengambil alih kendali gue. Gue menangis akan semua yang terjadi tapi gue nggak bisa apa-apa.

Hingga keberanian dari mana, gue menyusun rencana untuk menjual apartemen gue. Gue ingin hidup tenang di kampung disaat gue hamil. Dan semua itu terjadi, ya, gue bisa pergi dari hidup Toni. Apalagi ada titik dimana gue sadar bahwa kehadiran gue buat Toni menjadi beban.

"Permisi Tante." Saat itu gue dihubungi Ibu Toni yang mengatakan ingin bertemu. Gue yang ingin melihat keadaan di luar sontak mengiyakan. "Kamu Andrea, kan?"

Gue mengangguk. "Oh, kamu ya yang telah menjadi duri di hubungan putra saya dengan Liana." Tanpa basa basi Ibu Toni menyatakan itu.

"Sekarang, kamu mau apa? Uang? Berapa?"

"Seratus juta cukup?" Kedua telapak tangan gue mengepal di bawah meja, sungguh saat itu gue hamil dan Ibu Toni mendatangi gue untuk mengatakan itu. "Kalau kamu mau ini untuk kamu. Ingat kamu itu hanya beban untuk putra saya."

Gue tahu saat itu semua orang akan mengatakan gue pelakor, tapi harga diri gue nggak serendah itu. Dan keputusan untuk pergi dari hidup Toni tercetus.

Dan hingga sekarang gue nggak tahu kabar Toni, yang sekarang gue pikirkan hanya kebahagiaan Kalea. Cukup dulu gue egois, yang mengakibatkan Kalea hadir.

"Mami, dulu Mami cinta nggak sama Papi?" Pertanyaan apa ini? Sejak Kalea tahu bahwa anak ada karena ada Ayah dan Ibu, Kalea selalu bertanya akan sosok Ayahnya. Hingga gue menjelaskan bahwa Ayah Kalea sudah meninggal. Bukan tanpa alasan, karena gue bingung harus menjelaskan apa.

"Cinta dong. Eh... Kalea tahu cinta dari mana?"

"Dari Ibu gulu. Katanya Ayah dan Ibu sangat mencintai anak-anaknya."

"Oh... " Kalea tersenyum, mengayunkan tubuhnya di ayunan. Sebuah rutinitas yang akan memenuhi setiap minggu gue. Gue tahu gue nggak bisa mengubah masa lalu gue, tapi yang gue lakukan sekarang adalah memperbaiki apa yang gue lakukan di masa lalu.

Dimana gue sangat menyayangi Kalea, terlepas hubungan gue sama Ayahnya.

Untuk Kalea,
Kalea jika besar nanti jangan seperti Mami ya, cukup Mami yang melakukan kesalahan.
Dan semoga Kalea menerima keputusan yang Mami pilih untuk hidup kita.

Mami cinta sama Kalea.

Tamat

Short Story I (Karyakarsa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang