"Sarah!" Aku mengerutkan kening mencoba untuk mengingat seseorang yang tengah memanggilku. Namun, sayangnya aku tidak mengenali pria itu. Situasi kantin yang lumayan sepi membuat semua orang yang ada disana menatapku.
"Maaf siapa ya?" Bukannya sombong tetapi daya ingatku begitu lemah jika itu masalah wajah seseorang. "Bima, teman kamu. Kita pernah satu kelas."
Sontak aku mencoba mengingat ucapannya, ucapan yang mengingatkanku akan patah hati pertama.
Saat itu situasi di sekolah tengah ramai dengan sebuah even yang di adakan disana. Even kejuaraan bola basket dimana setiap sekolah bisa mengikutinya. Suasana yang ramai itu membuatku yang mencari Bima cukup kesusahan, padahal aku ingin menonton kejuaraan dengannya.
"Lo tahu Bima?" Aku menanyakannya kepada teman yang mungkin saja melihat. "Nggak."
"Lo tahu Bima?" Tidak ada yang tahu posisi Bima hingga temanku yang benama Vivi mengatakan jika ia melihat Bima dengan perempuan yang merupakan adik tingkat sedang berduaan di belakang aula. Hati yang sudah lelah mencari dan mendapatkan fakta yang ada membuat diriku saat itu merasa ada tikaman tak kasat mata tepat di relung hati.
Disini mungkin aku yang bodoh karena bisa percaya dengannya. Bukan rahasia lagi kalau seorang Bima memiliki banyak jurus untuk menggaet perempuan. Akupun awalnya juga merasa aneh, karena seorang Bima mendekati Sarah yang secara kepribadian begitu sederhana. Jangan lupa wajahku begitu pas-pasan dibandingkan dengan deretan para mantannya.
"Lo tahu nggak, lebih baik dicintai dibandingkan mencintai." Ucap seorang teman yang mencoba menasihatiku, waktu itu aku pikir cinta terlalu cepat karena kami yang baru pendekatan beberapa bulan. "Buka aja dulu hati lo, nanti juga waktu yang akan menjawab."
Dan setelah itu aku mencoba untuk percaya diri membuka hati, mengatakan kepada diri sendiri bahwa apa salahnya mencoba. Dan lima bulan setelah itu semua jawaban terlihat jelas. Ya, aku dicampakan dengan perempuan yang aku kenal sebagai adik tingkat.
"Everything gone be oke."
Dan setelah itu yang aku pikirkan hanya satu, lekas lulus agar tidak melihatnya kembali. Karena detik itu juga Bima tidak pernah menampilkan raut bersalah, apalagi meminta maaf.
Ya karena disini aku yang bodoh.
"Oh... Bima." Aku mencoba mengubah raut wajahku agar terlihat biasa-biasa saja. Dulu, dia meninggalkan aku disaat aku begitu memujanya menganggap ada masa depan dengannya tetapi itu hanya trik agar aku terikat akan pesonanya. Yang membuat diriku hancur tak tersisa. Kurang lebih lima hari aku menangisi takdir yang ada disana, menyalahkan diri sendiri, hingga aku sadar jika aku tak belajar bangkit maka siapa yang akan menolongku.
"Hai, apa kabar." Jawabnya ramah, masih sama seperti saat di bangku SMA dulu. "Baik." Aku nggak mau kembali jatuh ke dalam pesonanya, maka dari itu aku ingin menjaga jarak darinya.
"Kerja disini?" Ujarnya kembali dengan tubuh yang sudah mendarat di hadapanku, wajah yang masih segar dengan senyuman terpatri di wajahnya. Bima memang mempesona sejak SMA dan bertambah beberapa kali lipat sekarang. "Iya."
"Jadi apa?" Aku menatapnya, sebelum menjawab. "Staff marketing." Ya, aku sekarang menjabat sebagai staff marketing di sebuah rumah sakit swasta. Posisi yang awalnya aku tolak, tetapi mengingat betapa susahnya mencari kerja akhirnya aku menerimanya. Sudah lima tahun aku bekerja disini. "Wow, keren."
Aku hanya mengangguk, tidak ada respon yang berlebih. "Yaudah aku duluan ya."
Dan sejak saat itu hidupku yang tenang harus berubah seratus delapan puluh derajat. Karena Bima yang kemarin aku temui ternyata anak dari direktur rumah sakit yang akan memasuki masa pensiun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story I (Karyakarsa)
General FictionKumpulan cerita Pendek (Hanya bisa di baca di Karyakarsa)