01

6 1 0
                                    

"Tar, jajan keluar gak?" Kalya teman sebangkuku bertanya.

Bel istirahat baru saja berbunyi. Aku menguap malas, lalu melirik gadis itu, lalu menggeleng. "Aku mau tidur aja." ucapku padanya. Tahun terakhir sekolah memang selalu melelahkan. Banyak materi materi yang dikebut karena tak akan lama lagi ujian akhir akan dilaksanakan. Banyak sekali tugas tugas yang harus dikerjakan. Terkadang itu membuatku lelah.

Ya, wajar saja. Kemampuan otakku tidak sepandai itu untuk memikirkan materi yang banyak dari semua pelajaran.

"Laras, sayang, aku datang!" suara itu menggema di kelasku yang mulai kosong karena penguhinya yang sebanyakan sudah meninggalkan kelas untuk istirahat.

Ah, Haris itu...

“Jangan teriak-teriak, Haris.” ucapku malas.

“Gak usah panggil-panggil sayang, inget udah punya cewe.” ucap Kayla ketus. Aku menepuk bahunya. Entah mengapa gadis itu selalu sensi soal Haris dengan pacarnya. Pasalnya, dia dulu sangat mendukung aku dengan Haris. Namun pada kenyataannya, dia justru bersama gadis lain.

“Emangnya kenapa kalo gua udah ada cewe? Gua gak boleh lagi deket sama Laras? Dia kan temen gua, iya kan, Ras?” tanya Haris melirikku. Lalu aku hanya diam dan tersenyum tipis.

“Nanti aku pulang mau futsal dulu. Temenin aku ya, paling sampe jam 5. Habis itu aku anter kamu pulang, oke? Naik si Mona." Haris menaik turunkan alisnya memandangku dengan wajah tengil.

Mona adalah motor kesayangannya. Motor yang dibelikan Ayahnya, saat ia memenangkan sebuah olimpiade di kelas sebelas.

Aku melirik Kalya sejenak. Dia tampak mandangku dengan jengah. Lalu aku mengangguk ragu. Haris tersenyum manis setelahnya. “Bagus. Nanti aku tunggu di lapangan ya, sayangku." dia menepuk puncak kepalaku.

Aku tersenyum tipis. Dia memang semanis itu sejak dulu.

“Jangan nyakitin diri sendiri, Tar. Aku udah ngingetin kamu ya.” Kalya menutup bukunya lalu memasukan benda tersebut kedalam tasnya. “Aku ke kantin ya.” ucapnya datar kemudian berjalan meninggalkanku di kelas.

Aku terdiam menatap kepergian Kayla. Itu bukan yang pertama kalinya Kalya mengingatkanku. Ya, aku mengerti maksudnya. Dengan terus menerima semua perlakuan Haris, aku tau aku sedang menyakiti diriku sendiri. Karena dengan begitu, aku akan memperdalam perasaanku padanya. Sementara aku sendiri tahu dia akan tetap bersama orang lain.

Tapi, maaf Kayla. Aku belum bisa jauh darinya. Rasanya, aku sudah terlanjur banyak bergantung pada Haris. Aku sudah terlalu terbiasa dengan kehadirannya di keseharianku.

***

Sore hari, seperti yang dikatakan Haris aku menemaninya bermain futsal. Laki laki itu dengan lincah berlari menggiring bola dan mengopernya kepada teman satu timnya. Haris tampak serius dan bersemangat. Dengan lihai pula dia merebut bola dari tim lawan dan menendangnya menuju gawang.

Gol pertama.

Haris melirikku yang duduk menontonnya di kursi pinggir lapangan. Dia mengarahkan tangannya membentuk sebuah love ke arahku sambil tersenyum bangga. Aku ikut tersenyum memandangnya, seraya mengacungkan jempolku padanya. Lalu, dia tersenyum setelahnya, dan kembali melanjutkan aksinya.

Sempurna. Haris memang sesempurna itu. Bahkan aku merasa sangat beruntung bisa mengenalnya. Caranya berlari, caranya melirik, dan bagaimana ia tersenyum kepadaku di tengah-tengah pertandingan berhasil membuat kekagumanku terus bertambah padanya. Ia selalu menyempatkan diri untuk meliriku di tengah pertandingan, dan memastikan kalau aku tidak bosan menunggunya.

Aku terus memperhatikan Haris. Bagaimana wajahnya diterpa angin, lalu rambut tebalnya berterbangan. Kulitnya yang tidak terlalu putih justru membuatnya terlihat manis dan berkarisma.

Lalu aku melihat diriku sendiri. Aku adalah gadis yang biasa saja. Sama sekali tidak terkenal. Aku selalu terheran kenapa Haris betah berteman denganku. Bahkan disaat dia sudah memiliki gadis yang jauh lebih sempurna.

Menit demi menit berlalu. Pertandingan akhirnya berakhir. Haris menghampiriku dengan keringat yang membanjiri wajahnya. Dia tampak mengatur pernafasannya yang terengah. Kemudian tersenyum kepadaku. “Gimana penampilanku tadi?” tanyanya.

"Emm, biasa aja sih.” jawabku bohong.

Haris tertawa, lalu mengacak rambutku. "Kusut rambutku!" aku menepis tangannya dari kepalaku. Dia tidak tahu saja, bahwa hatiku lah yang berantakan saat dia mengacak rambutku.

Laki-laki itu terkekeh. "Aku bersih bersih bentar ya, tunggu disini nanti aku kesini lagi."

Untuk Haris [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang