Acara perpisahan telah usai, aku memeluk ibuku yang sedari tadi menemaniku. Saat ini aku sedang berada di depan gerbang sekolah untuk menunggu angkutan umum. Rasanya senang sekali telah menyelesaikan masa sekolahku. "Ibu bangga sama kamu nak, jadi anak yang sukses ya." ucap ibuku.
Tak henti-hentinya aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Tuhan dan ibuku. Dan juga ayahku yang sudah tenang disana. Aku berhasil lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Dan kabar baiknya, aku juga sudah diterima di salah satu kampus di kotaku. Ya, walaupun tidak ke luar negeri atau ke kota lain, tapi aku tetap bangga pada diriku sendiri sudah berjuang sampai sejauh ini.
"Mbak Tani," aku dan ibuku menoleh ke sumber suara. Tante Risa berjalan dengan seorang bayi di gendongnnya. Disampinya, Haris tampak merangkul. "Apa kabar? Lama sekali nggak ketemu. Tari juga sudah jarang sekali main ke rumah."
Ibuku tersenyum menghampiri. "Saya baik, Mbak Risa sama dedeknya baik juga kan? Lucu sekali ya," ucap ibuku sembali menyentuh kecil pipi adik Haris.
Adik Haris laki-laki. Bicara soal dia, sampai saat ini aku belum pernah lagi bertegur sapa dengannya. Bukan apa, tapi kita memang sesibuk itu akhir-akhir ini. Aku tersenyum ke arah mereka. "Hai, Ris." sapaku.
Haris tersenyum. "Hai." balasnya.
"Tari kuliah disini ya? Kampusnya lewat rumah tante kan, kapan-kapan kalo pulang bisa mampir dulu." ucap Tante Risa.
Aku tersenyum. "Iya tante, nanti kapan-kapan Tari main, ya."
Ngomong-ngomong, Tante Risa sudah bercerai dengan suaminya. Aku cukup sedih mendengar kabar itu mengingat aku sangat tahu betul bagaimana harmonisnya keluarga mereka dulu. Apalagi sekarang ia memiliki anak yang masih kecil. Pasti sangat berat untuknya.
***
Aku dengan Haris sudah berada di sebuah restoran dekat sekolah kami. Ia mengajakku makan terlebih dahulu sembari mengobrol. Dan sekarang aku sudah duduk berhadapan dengannya.
Aneh.
Aku merasa aneh dengan kita yang canggung seperti ini. "Apa kabar, Ras?" tanya Haris.
"Aku baik. Kamu?" tanyaku kembali.
"Sejujurnya gak terlalu baik. Apalagi setelah keadaan keluargaku yang berantakan. Tapi aku gak papa. Maksudnya, aku udah bisa nerima."
Ya, aku mengerti. Pasti ini juga sangat sulit untuk Haris. Dia adalah anak laki-laki pertama. Aku sangat mengerti posisinya saat ini. "Aku minta maaf, Ras." ucap Haris.
"Untuk apa?" tanyaku. Haris tak langsung menjawab, karena pesanan sudah datang. Ia menerimanya dan memberikan segelas minuman serta makanan yang aku pesan. "Untuk semua keterlambatan aku. Aku terlambat buat sadar perasaan kamu sama aku. Aku terlambat."
"Aku nyakitin banyak orang termasuk kamu dan Renata. Aku juga hancurin pertemanan aku sama Raja."
"Mungkin dari luar kita kelihatan baik-baik aja. Tapi sebenarnya, gak kayak gitu. Renata terus yakinin aku kalo aku dan dia bisa hadapi semuanya sama-sama. Aku gak bisa, Ras. Dia terlalu baik. Dia nerima semua perlakuan gak adil aku terhadap perasaan dia."
"Dia baik banget, Ras. Aku merasa beruntung bisa dapetin dia."
Lewat semua ungkapan Haris, aku mengerti, bahwa dia sangat mencintai Renata. Dan dia tidak mungkin bisa membalas perasaanku.
"Semoga kalian bahagia ya." ucapku. Hanya itu yang bisa aku ungkapkan.
Karena jujur saja, sampai saat ini perasaanku terhadapnya masih terus menghantui walau aku sudah berusaha menepisnya.
"Ris, Makasih ya. Makasih sudah menjadi salah satu orang baik yang pernah aku kenal. Aku denger kamu mau kuliah di luar pulau jawa ya? Semoga sukses ya, Ris." ucapku. "Kita— masih sahabat kan?"
Haris tersenyum tipis. "Pasti." jawabnya. "Sampai ketemu lagi, Gantari Larasati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Haris [Selesai]
Fiksi RemajaUntuk Haris, Terima kasih sudah hadir. Berkat kamu, aku tahu rasanya mencintai begitu dalam. Tanpa dicintai kembali.