05

3 1 0
                                    

Entah untuk yang keberapa kalinya aku berkata bahwa aku adalah gadis yang 'biasa aja'. Ya, itu memang benar adanya. Bukannya tidak berayukur. Hanya saja, aku merasa kalau diriku memang tidak seistimewa itu.

Aku sering kali menganggap diriku tidak memiliki kemampuan apapun. Di sekolah, ataupun di luar. Aku hanya seorang gadis yabg terlahir dari keluarga sederhana. Dan setiap kali aku berpikir seperti itu, Haris selalu menegurku.

"Ras, kamu itu gak biasa aja. Kamu bisa jadi luar biasa. Kamu cantik, kamu baik. Cantik itu gak selamanya soal fisik—engga, bukan berarti aku menganggap kamu gak cantik. Tapi kecantikan itu soal hati, Ras. Kamu punya hati yang cantik. Aku rasa itu yang bisa jadi daya tarik buat kamu. Jangan pernah nganggap diri kamu gak sempurna. Kamu salah satu gadis yang istimewa buat aku. Kamu gak tau aja berapa temen cowo aku yang nanyain soal kamu. Cuma aku gak mau mereka deketin kamu."

Aku ingat Haris pernah berkata seperti itu padaku. Hanya saja, aku terkadang merasa tidak pantas mendapatkan cinta dari orang orang disekitarku. Karena hal itu pula aku tidak pernah mengharapkan balasan dari Haris. Bahkan aku saja tidak mau Haris tahu soal perasaanku.

Aku pernah menjalin hubungan dengan beberapa orang. Dan memang tidak ada satupun dari mereka yang bertahan lama. Aku selalu merasa tidak cocok dengan siapapun.

Aku... Sudah terlalu nyaman dengan Haris.

Sejak kejadian kemarin malam, Haris sama sekali tidak mengabariku sama sekali.

Lagi pula, apa yang aku harapkan?

Kebetulan hari ini hari sabtu. Sekolah sedang libur. Biasanya Haris datang ke rumah untuk sekedar mengacau, atau mengajakku lari pagi. Tapi hari ini tidak ada. Mungkin dia bersama Renata? Mungkin Renata masih marah?

Ah, aku jadi merasa bersalah rasanya. Apakah Renata mulai tidak nyaman dengan pertemananku dengan Haris. Aku jadi khawatir. Pacar-pacar Haris sebelumnya juga begitu. Mereka cenderung tidak nyaman dengan hubungan pertemanku dengan Haris, hingga berujung memutuskan untuk berakhir. Apa Renata akan seperti itu juga?

Tapi, aku juga ingat Haris pernah berkata,

"Ras, aku gak pernah segan segan mutusin cewek cewekku sebelumnya kalau mereka merasa keberatan sama hubungan kita. Lebih baik aku kehilangan mereka daripada aku kehilangan kamu. Kamu lebih penting buat aku."

Tapi, apakah selamanya akan seperti itu?

Suatu saat, Haris, bahkan aku akan menentukan jalan kami masing-masing bukan? Apakah Haris akan selamanya memilihku?

***

Sore hari setelah membereskan rumah, aku pergi ke sebuah minimarket dekat rumahku dengan berjalan kaki, untuk sekedar membeli cemilan.

Sampai disana, aku membeli beberapa snack dan minuman. Tak lupa aku membeli beberapa keperluanku yang memang sudah habis. Setelah dirasa cukup, aku membawanya ke kasir dan membayarnya. Setelah selesai aku memilih duduk sebentar di kursi depan minimarket sambil memainkan ponselku.

Tak lama, ponselku bergetar. Panggilan dengan nama Haris tertampang disana. Ada apa dia menelponku sore-sore begini?

Segera kuterima telpon darinya. "Halo?" sapaku.

"Ras." aku terdiam. Kenapa suara Haris terdengar seperti, "Aku sedih, Ras. Ibuku pingsan. Ayah dan ibuku... Mereka mau pisah. Mereka ribut, Ras."

***

Aku sudah berada di rumah Haris. Tante Risa sudah ditangani dokter di kamarnya. Sementara Haris, dia tengah terdiam di atas kasur kamarnya sembari memandang kosong.

"Ayahku selingkuh, Ras." Haris berucap. "Aku gak tau kenapa dia bisa setega itu. Padahal Ibu, lagi hamil. Sementara dia sama cewek murahan itu malah seneng-seneng di luar."

Aku tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Yang jelas, aku benar-benar terkejut. Om Heru? Ayah Haris selingkuh? Rasanya aku tidak percaya. Beliau adalah sosok yang bijaksana dan sangat menyayangi keluarganya. Bagaimana bisa ia selingkuh? Namun begitulah kenyataannya.

"Ras? Boleh aku peluk kamu?"

Aku masih terdiam. Lalu tak lama setelahnya, dengan ragu aku mengangguk. Haris segera merengkuhku. Tak berselang lama, terdengar isakan darinya. Aku bahkan bisa merasakan serapuh apa dia sekarang. Lalu dengan segera kuusap bahunya. "Nangis aja Ris," ucapku.

Aku mengusap kepalanya. "Gak apa, semua—"

"Haris—"

Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, sebuah suara memotongnya, disusul dengan kehadiran seorang gadis yang langsung mematung melihatku dengan Haris.

Untuk Haris [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang