Senin. Hari ini aku sudah kembali sekolah. Rasanya malas sekali. Tapi aku tetap harus belajar dengan rajin agar ibuku bangga.
"Selamat pagi, semuanya." guru bahasa indonesiaku, menyapa. "Hari ini kita akan mulai melanjutkan materi yang belum terbahas. Silahkan buka buku halaman 35 lalu baca dan pahami isinya. Setelah itu ibu akan jelaskan lebih lanjut."
"Males aku Tar, pagi-pagi udah bahas puisi aja." aku tertawa mendengar keluhan Kayla disampingku.
“Udah, ikutin aja, sebentar lagi kan lulus." jawabku, kemudian gadis itu berdecak.
"Eh, Tar. Ngomong-ngomong, Haris putus sama Renata? Mereka jauhan katanya." aku terdiam sejenak.
"Aku gak tau Kay." jawabku kemudian.
"Kalo iya bagus. Kamu bisa langsung deketin Haris, terus bilang soal perasaan kamu, Tar."
"Hus, gak boleh." balasku.
Kayla berdecak. "Tar, kalian itu gak bisa gini-gini aja! Kamu harus ungkapin perasaan kamu, biar Haris tau batasan Tar. Kalo emang dia gak suka kamu harusnya dia berhenti bersikap seolah-olah kamu pacarnya. Kamu juga punya perasaan, Tar!" aku menggeleng. "Udah Kay, aku mau ijin ke toilet dulu."
Aku berjan menyusuri koridor sekolah. Dalam perjalanan menuju toilet aku terus memikirkan ucapan Kayla. Sebetulnya dia tidak salah. Kalya hanya ingin aku adil pada parasaanku sendiri. Hanya saja, aku takut. Jika seandainya Haris tahu perasaanku, aku takut dia akan menjauhiku, mengingat aku tahu bagaimana dia sangat mencintai Renata.
Aku ingat kejadian kemarin sore, dimana Renata memergoki Haris tengah memelukku. Saat itu Haris segera melepas pelukannya. Bahkan hampir mendorongku. Saat itu, Renata menghampiri kami. Dia memandangku dengan Haris, lalu duduk di samping laki-laki itu. Dia tidak marah. Renata hanya mengusap rambut Haris dengan sayang.
"Aku tau kamu lagi sedih. Tar, boleh aku disini berdua sama Haris aja?" dia hanya berkata seperti itu dan aku segera pamit pulang karena kurasa suasananya mulai tidak enak.
Saat keluar kamar, aku sempat melirik terlebih dahulu ke arah mereka. Dan aku lihat Haris mulai memeluk Renata dan kembali menangis, dan aku segera pulang.
Sampai di depan toilet, aku berhenti sejenak. Aku melirik bingung ke arah samping toilet, dimana aku baru saja melihat asap mengepul disana. Ada yang sedang membakar sampah? Tapi sepertinya bukan.
Aku berjalan ke arah samping toilet, dan menemukan seseorang tengah menghisap sebatang nikotin disana.
"Haris?"
***
Aku sangat mengenal Haris. Aku sangat tahu Haris. Aku ingat betul saat Haris tumbuh dan mencoba kenakalan-kenakalan remaja. Aku ingat bagaimana Haris dimarahi ayahnya, saat ketahuan merokok untuk pertamanya kalinya di warung kopi dekat rumahnya.
Aku ingat bagaimana Haris dijewer Tante Risa saat ketahuan membuat anak gadis tetangganya menangis. Aku ingat saat Haris dimarahi guru karena bolos di jam pelajaran sejarah. Aku ingat Haris pernah dipanggil guru BK karena membawa rokok di dalam tasnya.
Haris selalu cerita semua hal padaku. "Ras, aku masih pusing soal keluargaku. Dan sekarang Rere terus nyuruh aku jauhin kamu karena dia merasa kamu suka sama aku."
Deg.
Saat ini aku tengah duduk di salah satu kursi yang ada si samping koridor sekolah. Ya, tadi aku menemukan Haris tengah melamun sendirian sembari memainkan kerikil dengan sebuah rokok ditangannya. Dia terlihat sangat kacau.
"Di satu sisi aku sayang sama Rere, Ras. Tapi aku gak mungkin jauhin kamu. Kamu inget kalo aku bakal lebih mentingin kamu walaupun aku punya cewe kan?"
"Lagipula, kamu gak mungkin suka sama aku kan, Ras?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Haris [Selesai]
Teen FictionUntuk Haris, Terima kasih sudah hadir. Berkat kamu, aku tahu rasanya mencintai begitu dalam. Tanpa dicintai kembali.