5. Malam Aurora

4 2 0
                                    

Gaven duduk di samping Calista yang tengah beristirahat. Laki-laki berambut putih itu memperhatikan wajah Calista yang penuh dengan keringat. Ia lalu mengulurkan sebuah kain kecil agar Calista dapat menyeka keringatnya. Calista tersenyum dan meraih kain bermotif dandelion putih tersebut.

"Sekali lagi, terima kasih," kata Calista sambil memperhatikan kain kecil itu.

Gaven hanya membalas dengan senyuman tipis.

"Oh, ya! Hari ini pasti melelahkan, ya? Zeryon pertama kalinya punya murid perempuan. Aku pikir, latihannya akan sederhana. Rupanya, ia memberikan latihan yang cukup sulit bagimu. Zeryon itu lumayan keras juga pada wanita," ungkap Gaven.

Calista menggeleng tanda tidak setuju dengan ungkapan Gaven. Ia segera membantah. "Kak, tidak ada yang susah! Aku saja yang lemah sehingga terjatuh berkali-kali. Namun, Kak Zeryon memberiku pelajaran penting sehingga aku bisa menyelesaikan latihan awal ini."

Gaven menatap langit dan menaikkan sudut bibirnya. Ia berkata sambil menarik napas dalam-dalam. "Kau pasti punya dendam yang begitu besar, sehingga punya tekad yang kuat untuk menjadi kesatria. Wanita sepertimu, seharusnya berdiam diri dan dilindungi."

"Itu tidak benar, Kak! Yang dilindungi seharusnya bukanlah wanita. Yang dilindungi adalah orang lemah. Wanita yang memiliki kekuatan, bisa saja menjadi pelindung bagi yang lain," kata Calista sambil tersenyum lembut.

Gaven menatap Calista dan sedikit termenung.

"Senyumanmu itu, mirip dengan ibuku," ujar Gaven, tetapi Calista sedikit kurang paham maksudnya.

"Ah, lupakanlah! Kau ingin pulang? Ini sudah mulai malam. Apa perlu kutemani sampai ke rumahmu? Biasanya, malam-malam begini para pencari tumbal itu menjalankan aksinya. Aku akan menemanimu."

Gadis itu menggeleng sebagai jawaban menolak.

"Aku bisa pulang sendiri. Aku akan baik-baik saja. Terima kasih, Kak!"

Mentari perlahan menghilang dari langit. Langit pun menjadi gelap, tetapi bulan datang untuk menggantikan posisi matahari. Langit malam perlahan menjadi terang walau masih sedikit redup dibanding ketika siang hari. Calista tiba di rumahnya, dan segera membasuh diri. Ia memasak untuk makan malam dan juga sedikit merapikan rambutnya yang sedikit kacau karena latihan tadi.

Calista menatap dirinya di cermin. Ia menunjukkan senyuman dan menyemangati dirinya sendiri. Ia meraba cermin itu seakan ingin menyentuh bayangan dirinya. Calista tak menyangka dirinya yang dulu manja dan rapuh, harus memilih kehidupan yang keras. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah pita kuning yang ia pakai ketika latihan.

"Kakak, ini hadiah terakhir darimu. Aku akan menjaga ini dan menjadikannya pengingat agar aku bisa membalaskan kematianmu dan juga ibu!"

"Suatu saat nanti, kita akan bertemu kembali di sana. Jadi, tunggulah sebentar lagi," lanjut Calista sambil melanjutkan merapikan rambutnya.

Ia agak sedikit terkejut saat menatap cermin itu lagi. Cermin itu mengeluarkan cahaya seperti sambaran aurora yang kuat. Calista benar-benar kagum dengan cahaya itu, tapi tak lama itu semua menghilang. Calista mulai berpikir semua yang ia lihat tadi bukanlah sungguhan, melainkan halusinasinya saja.

"Aku terlalu lelah. Berhalusinasi ketika sedang lelah itu sudah biasa."

Sementara itu di tempat lain, Zeryon tengah tertidur lelap. Ia telah menjalani hari yang sangat sulit, dan ia harus beristirahat. Kondisi tubuhnya melemah, dan sebenarnya ia sedang menderita sebuah penyakit. Namun, penyakit yang dideritanya tak dapat didiagnosa atau diperiksa oleh petugas medis mana pun. Zeryon menyadari penyakit ini sedikit berhubungan dengan tanda dandelion yang ada di bahunya. Tanda dandelion itu muncul tiba-tiba, di mana sebelumnya Zeryon tak punya tanda seperti itu.

Kesatria DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang