Setelah Calista berbincang sesaat tentang keadaan nya kepada Tetua Kesatria, ia langsung dibawa ke tempat pembuatan senjata yang tempatnya berada di ruang bawah tanah tepat di bawah kediaman Tetua. Sang Tetua menemani Calista untuk membuatkan senjata khusus untuknya yang punya indera tajam, tetapi memiliki kondisi fisik yang lemah. Calista melihat-lihat mereka yang sedang menempa pedang dan anak panah. Para penempa tersebut membuat berbagai macam senjata sesuai permintaan para kesatria.
"Seorang penempa sudah paham apa senjata yang cocok untukmu, Calista. Kau bisa lihat cetak biru ini sebelum mengiyakan senjatanya." Tetua berkata sambil memberikan cetak biru kepada Calista.
Calista mengangguk dan melihat cetak biru itu. Ia segera mengiyakan model senjata yang akan diberikan untuknya. Dan karena itu, Tetua menyuruh Calista pulang dan mengambil senjatanya dua hari ke depan.
Sehabis dari kediaman Tetua, Calista langsung menuju sebuah tempat yang agak jauh dari kediamannya. Calista rupanya menuju makam sang ayahanda yang telah wafat beberapa bulan lalu.
"Ayah, apa kabar ayah di sana?" kata Calista di hadapan makam sang ayah.
"Apa ayah sudah bertemu dengan kakak?"
"Aku di sini baik-baik saja, dan semakin hari rasanya aku semakin luar biasa. Tetapi ... rasanya sangat hampa dan sepi tanpa ayah dan kakak."
"Oh, ya, ayah, aku ingin meminta maaf kepadamu karena tidak bisa menggunakan pedang hebat ayah. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi tanganku tak bisa menggenggam pedang ayah yang luar biasa itu. Tetua sudah memberiku alternatif senjata lain yang mungkin cocok untukku. Aku berjanji akan membuatmu bangga dengan menjadi kesatria yang hebat, walau senjataku bukanlah pedang."
Calista terdiam sesaat dengan tatapan yang kosong. Tiba-tiba ia menangis dan memeluk nisan ayahnya.
"Aku bisa saja menjadi kesatria, tetapi tetap saja aku ini lemah ayah! Dulu, demi menyelamatkanku kakak harus berkorban dan tewas di tangan mereka. Aku dulu hanya bisa melarikan diri. Sekarang, aku akan menjadi kesatria, tetapi rasanya sangat aneh. Mungkinkah karena rasa balas dendam akan mereka yang telah membuat kakak tewas? Ataukah balas dendam terhadap diriku sendiri karena dulu terlalu lemah?"
Calista terisak sejenak dan mencoba menenangkan dirinya. Ia menguatkan hatinya sambil mengusap air mata.
"Namun, sekarang menangis adalah hal yang tidak berguna. Aku harus bergerak demi balas dendam atas kematian kakak, dan melanjutkan perjalanan ayah yang dulu. Aku berjanji bersama kak Zeryon dan yang lain, kami akan hapuskan semua nyawa kelompok yang kejam itu!"
Dua hari kemudian, Calista menuju kediaman Zeryon untuk menerima pengesahan bahwa ia adalah kesatria sekarang. Namun, Zeryon sedang tidak lagi di sana.
"Zeryon sepertinya pergi ke ladang dandelion," kata Sekya pada Calista.
Calista segera menuju ladang dandelion dan menemukan Zeryon yang sedang berdiri di tengah ladang bunga kuning itu. Calista tersenyum senang dan mendekat ke arah gurunya tersebut.
"Kak Zeryon!" teriak Calista mendekat ke arah gurunya.
Zeryon segera menoleh ke arah Calista dan matanya segera tertuju pada kotak kecil yang dibawa oleh muridnya tersebut.
"Calista? Kau kemari? Baiklah, kotak di tanganmu itu ...,"
"Ini adalah senjataku!" sahut Calista kemudian.
"Oh, ya? Bisa kulihat bagaimana modelnya?" tanya Zeryon.
"Tentu saja!" Calista segera membuka kotak itu dan memperlihatkan senjatanya pada Zeryon.
Zeryon terdiam sejenak setelah melihat senjata Calista. Ia agak kebingungan karena ini pertama kali baginya melihat senjata model begitu. Calista tertawa kecil sambil memegang senjata barunya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesatria Dandelion
FantasyBacalah dongeng ini di malam berhias purnama. Ingatlah dongeng ini ketika menatap aurora di langit, atau ketika melihat sekuntum bunga dandelion kuning ataupun putih. Di dalam dongeng ini hanya bercerita tentang seorang wanita dan sesosok kesatria d...