Pov.
"Kau yakin?"
Dokter Kim mengangguk muram. Seragam operasinya yang berwarna hijau masih bersih. Dia tidak cukup lama berada di ruang operasi, tidak sampai membuatnya berkeringat.
"Maafkan aku, Yeorin. Penyakitnya sudah menjalar ke mana-mana."
"Apa tak ada cara untuk menyembuhkannya?"
"Kecuali untuk mengurangi rasa sakitnya, tidak ada." dokter Kim menyentuh lengan Yeorin dan melirik pria yang berdiri di samping wanita itu dengan penuh arti. "Dia takkan mampu bertahan lama. Maksimal hanya beberapa minggu."
"Ya, aku mengerti." Yeorin menyeka matanya dengan saputangan yang basah dan kusut.
Iba hati dokter Kim melihat wanita itu. Ketika keluarga pasien menjadi histeris saat mendengar kondisi buruk pasien, dia merasa mampu menenangkan mereka. Namun sikap berani Kim Yeorin, yang berpenampilan feminim dan rapuh, ketika menerima kabar tadi membuatnya merasa seperti dokter yang belum berpengalaman dan canggung.
"Andai suamimu memeriksakan diri lebih cepat, barangkali..."
Yeorin menyunggingkan senyum getir, kehilangan harapan. "Tetapi dia tidak mau. Sudah ku bujuk dia untuk memeriksakan perutnya yang tidak enak. Dia berkeras itu cuma masalah pencernaan."
"Kita semua tahu Junyeol-ssi sangat keras kepala," pria yang berdiri di samping Yeorin menyela. Dengan lembut Jung Hoseok menggenggamkan jari-jari Yeorin di lengannya. "Apakah dia boleh menjenguknya?"
"Beberapa jam lagi," sahut dokter Kim. "Pengaruh obat biusnya baru akan hilang nanti sore. Bagaimana kalau kalian berdua pulang saja dulu dan beristirahat?"
Yeorin mengangguk. Membiarkan Hoseok, pengacara yang juga sahabatnya, menggandengnya menuju lift.
Mereka menunggu lift dalam diam. Yeorin merasa agak bingung, tapi tidak terkejut. Hidupnya tidak pernah berjalan mulus-mulus saja dan tanpa masalah.
Mengapa dia begitu berpegang pada harapan bahwa operasi besar Jungyeol hanya akan membuktikan suaminya itu cuma mengidap usus buntu?
"Kau tak apa-apa, kan?" Hoseok bertanya lembut ketika pintu lift menutup dan mereka aman dari tatapan menyelidik orang-orang di sekeliling mereka.
Yeorin menarik napas panjang. "Sebaik yang mampu dirasakan perempuan yang mengetahui suaminya akan segera meninggal."
"Maafkan aku."
Yeorin menatap Hoseok dan tersenyum. Hati Hoseok luluh. Senyum Yeorin, yang sering bagai minta maaf untuk kekurangan-kekurangan yang tak kasat mata, mampu menggugah perasaan pria maupun wanita.
"Aku kenal siapa dirimu, Hoseok-a. Tak bisa ku ungkapkan dengan kata-kata betapa bahagianya aku punya sahabat seperti dirimu."
Mereka berjalan melintasi lobi rumah sakit yang baru direnovasi. Beberapa karyawan rumah sakit dan pengunjung sekilas melirik Yeorin, tapi kemudian cepat-cepat membuang pandang.
Wajah yang dipalingkan itu dipenuhi rasa ingin tahu tetapi tetap penuh rasa hormat. Semua orang sudah tahu. Saat warga terpandang di kota sekecil Daegok sakit berat, beritanya akan tersebar cepat ke seluruh penjuru kota.
Hoseok menemani Yeorin sampai ke mobil dan membukakan pintu untuknya. Yeorin masuk ke mobil tapi tidak langsung menghidupkan mesinnya. Dia duduk, pandangan matanya jauh ke depan, tenggelam dalam pikirannya, cemas, sedih. Begitu banyak yang harus diurusnya.
Dari mana dia mesti mulai?
"Jimin harus diberitahu."
Nama itu menghunjam tubuh Yeorin bak pemecah es, dingin, tajam, dan menusuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Rain
RomanceKim Yeorin mampu bertahan menghadapi gosip. Dia mampu bertahan menghadapi kematian suaminya, Choi Junyeol, orang paling kaya di daerahnya yang Tiga Puluh tahun lebih tua darinya. Tapi dia takut takkan sanggup menghadapi Jimin, putra suaminya. Bertah...