Tujuh

102 19 32
                                    

Pov.

Apa maksudnya?

Brengsek, mana aku tahu, Jimin menjawab pertanyaannya sendiri ketika berada di kamar mandi dan hendak menyalakan keran air.

Dia melepas pakaiannya yang berkeringat, penuh minyak dan debu. Dia menyeruput minumannya dan meletakkannya di meja.

Pertama, milk shake cokelat.

Jelas, itu tawaran persahabatan sebagai tanda berdamai. Sepanjang sore Yeorin tinggal di pabrik. Dia bilang akan menyelesaikan urusan administrasi, tetapi ternyata dia lebih banyak berlutut di samping Jimin dan menanyakan apa yang bisa dia lakukan untuk membantunya, atau apakah ada yang bisa dia ambilkan.

Seperti perawat piawai yang membantu dokter bedah, Yeorin segera memberikan perkakas kepada Jimin tiap kali Jimin menjulurkan tangan.

Mereka mengobrol tentang hal-hal yang tidak penting. Kebanyakan tentang topik yang mereka ketahui. Mereka bicara soal keluarga. Yang tak satu pun ada kesamaan di antara mereka.

“Kau lihat Jihan hari ini?” tanya Yeorin.

“Tidak. Kau?”

“Tidak. Kemarin dia kelihatan depresi sekali. Aku takut itu gara-gara dia kini tahu keadaan ayah kalian yang memburuk.”

“Mungkin. Tetapi bisa saja karena sesuatu yang berkaitan dengan Dongman.”

“Mengapa kau bilang begitu?”

“Tolong berikan obeng itu lagi.”

“Yang gagang merah atau kuning?”

“Merah. Karena pagi tadi, ketika dia mengeluarkan kuda untukku, Dongman kelihatan pendiam sekali.”

“Mungkin kau mengintimidasinya.”

“Ya Tuhan, aku ingin melakukan hal itu.” Jimin mengharapkan argumentasi.

Meskipun kelihatan tidak suka dengan apa yang dikatakan-nya, Yeorin tidak memberi komentar.

Karena lantai pabrik sangat berdebu, Yeorin duduk di bangku dekat Jimin — terlalu dekat. Meskipun kepala Jimin ada di kolong mesin, meskipun tidak langsung melihat wajah Yeorin, dia tetap menyadari keberadaan Yeorin.

Aroma tubuhnya seperti memenuhi seluruh ruangan, seperti hawa panas petang itu. Di balik pakaiannya, butir-butir keringat mengucur deras. Tetapi ketika tangannya bersentuhan dengan tangan Yeorin, rasanya sejuk dan kering. Ingin Jimin menempelkan tangan itu ke wajah, leher, dan dadanya.

Sambil mengumpat karena teringat peristiwa sore itu, Jimin menyeruput minumannya lagi. Itu baru sebagian dari tubuhnya yang dia ingin disentuh tangan Yeorin.

Dalam perjalanan pulang, Yeorin banyak bicara. Ketika hampir tiba di pintu gerbang, Yeorin menoleh ke arahnya dan berkata, “Silakan mandi lama-lama. Aku akan minta Mina-ssi menunda makan malam supaya kau sempat mendinginkan badan dan beristirahat. Kusiapkan minuman untukmu. Apa yang kau suka?”

Yang dia inginkan dari Yeorin saat itu adalah penjelasan mengapa mendadak dia bersikap ramah padanya.

Apakah Ayahnya meminta Yeorin melakukan hal itu?

Atau ini memang gagasan Yeorin sendiri?

Mengapa tiba-tiba Yeorin bersikap seperti ibu tiri yang berusaha mengambil hati anak tirinya?

Hmmm, apa pun siasatnya, dia takkan berhasil, batin Jimin sambil melangkah ke bawah pancuran air.

Dia takkan pernah menganggap Yeorin sebagai ibu tirinya, dan andai Yeorin menganggap dia bisa berperilaku seperti itu, berarti dia tidak ingat sama sekali pengalaman di musim panas tiga belas tahun lalu.

Sweet RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang