Satu

71 16 77
                                    

Pov.

Banyak hal yang harus diselesaikan malam itu, banyak orang yang harus diberitahu.

Choi Junyeol tidak punya sanak saudara kecuali putra dan putrinya, karena itu masalah kerabat tak perlu dipikirkan. Tetapi penduduk kota, juga warga Daegok, ingin tahu penyakit Junyeol. Yeorin berbagi tugas dengan Hoseok untuk menghubungi mereka lewat telepon.

“Mina-ssi, sebaiknya segera siapkan kamar Jimin. Dia akan datang malam ini.”

Mendengar berita itu, pengurus rumah tangga tersebut tampak seperti ingin menangis.

“Puji Tuhan. Aku sudah lama berdoa agar anakku yang satu itu mau pulang. Ibunya yang di surga pasti menari-nari hari ini. Pasti dia senang sekali. Yang dibutuhkan kamar itu hanya seprai baru. Aku selalu membersihkannya, kalau-kalau suatu hari dia kembali menempatinya, aku ingin sekali segera berjumpa dengannya.”

Yeorin berusaha tidak memikirkan saat ketika dia harus berjumpa anak kesayangan itu, berbicara dengannya. Dia menyibukkan diri dengan setumpuk tugas yang harus diselesaikannya.

Yeorin juga tidak memikirkan kematian Junyeol yang semakin dekat. Itu akan dipikirkannya nanti, saat dia sendirian. Tidak juga waktu dia berkunjung ke rumah sakit petang hari ini dan duduk di samping ranjang suaminya, dia tidak membiarkan benaknya dipenuhi pikiran Junyeol takkan pernah meninggalkan tempat itu.

Suaminya masih di bawah pengaruh obat bius, tetapi Yeorin merasa tangannya ditekan pelan waktu dia menggenggam tangan Junyeol dan meremasnya sebelum pamit.

Saat makan malam, dia memberitahu Jihan tentang kabar kepulangan Jimin. Gadis itu melompat dari kursi, menyambar tangan Mina, dan menari-nari mengelilingi ruangan.

“Oppa memang berjanji suatu hari akan pulang, bukan, bibi? Sekarang Oppa pulang. Aku ingin memberitahu Dongman-ssi.” Jihan langsung lari keluar lewat pintu belakang menuju kandang kuda, ke tempat tinggal Dongman.

“Gadis itu akan mempermalukan dirinya sendiri bila dia tidak membiarkan pemuda itu sendirian.”

Yeorin tersenyum penuh arti. “Aku tidak berpendapat begitu.”

Mina menengadah dan menaikkan alis karena penasaran, tetapi Yeorin tidak meneruskan kata-katanya. Dia mengambil gelas es teh lalu berjalan ke teras depan.

Waktu duduk di kursi goyang bercat putih, dia menyandarkan kepala pada bantalan kursi bersarung kain bermotif bunga dan memejamkan mata.

Inilah saat yang paling dia sukai ketika menghuni rumah ini, waktu hari menjelang malam, ketika sinar lampu di dalam rumah menyelinap ke luar dari celah-celah jendela, yang kelihatan seperti kemilau permata.

Bayang-bayang memanjang dan berwarna-warni, saling menyatu sehingga tak ada sudut atau bentuk yang jelas. Warna langitnya sangat khas, gradasi ungu yang cantik. Pepohonan menjulang di latar depannya.

Kodok mengorek di sungai. Suara jangkrik menggema di udara tak berangin dan lembap dengan nada tinggi melengking. Tanah di itu menyebarkan bau yang subur. Setiap kuntum bunga menghamburkan harum yang unik dan memabukkan.

Setelah lama beristirahat, Yeorin membuka mata. Ketika itulah dia melihat pria tersebut.

Pria yang berdiri tak bergerak di bawah dahan pohon ek yang menjulur. Jantung Yeorin seperti berhenti berdetak dan pandangannya kabur. Dia tidak tahu apakah sosok pria itu sungguhan atau hanya ilusi. Kepalanya pening, saat Yeorin cengkeram gelas es teh erat supaya tidak lolos dari jemarinya yang kaku dan dingin.

Pria itu bergerak menjauh dari dahan pohon dengan gerakan seperti harimau dalam diam, makin lama makin dekat sampai akhirnya dia tiba di anak tangga batu yang menuju teras.

Sweet RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang